☪ At-Taubah

Arti: Pengampunan | Jumlah ayat: 129

Tafsir

Ayat 1

Banyak masalah pokok yang diterangkan di dalam Surah al-Anfal, diterangkan pula dalam surah ini dengan pengungkapan yang lebih luas dan mendalam, ada kalanya lebih terperinci, sehingga surah ini dalam beberapa hal banyak menambah kesempurnaan surah al-Anfal. Allah mengutus Nabi Muhammad saw ke dunia ini sebagai rasul yang terakhir untuk mengembangkan agama Islam dengan dakwah yang berlandaskan dalil-dalil yang dapat meyakinkan kebenarannya, tidak ada paksaan yang berlandaskan kekuatan senjata dan harta benda. Akan tetapi kaum musyrikin terus menentangnya dengan segala macam cara, mulai dari perkataan sampai kepada perbuatan yang di luar batas-batas perikemanusiaan, sehingga banyak kaum Muslimin terpaksa hijrah ke negeri Habsyah (Ethiopia) dan tempat-tempat lain. Oleh karena Nabi Muhammad saw dan sebagian sahabatnya masih bertahan di Mekah, untuk melanjutkan dakwah, maka kaum musyrikin Quraisy mengadakan musyawarah di suatu tempat yang bernama "Darun Nadwah" untuk mengambil suatu keputusan apakah Muhammad harus dibunuh atau dibuang saja. Akhirnya mereka memutuskan bahwa Muhammad harus dibunuh. Di dalam keadaan yang gawat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw hijrah ke Medinah, yang kemudian diikuti oleh para sahabatnya yang mampu datang ke Medinah. Di Medinah, Nabi dan para sahabatnya yang turut hijrah disambut penduduknya yang Muslim dengan sambutan luar biasa, seperti yang diterangkan Allah dalam firman-Nya: Dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. (al-hasyr/59: 9) Selanjutnya, Nabi saw mengadakan perjanjian damai dan tolong-menolong dengan orang-orang Yahudi, tetapi mereka berkhianat dan melanggar janji dengan menolong orang musyrikin yang selalu memusuhi Nabi di Mekah. Sehingga permusuhan dari kaum musyrikin bertambah meningkat, bahkan mereka bermaksud hendak menghancurkan agama Islam, maka perang disyariatkan dalam Islam. Kemudian Nabi mengadakan perjanjian damai dengan kaum musyrikin di Hudaibiyah untuk masa sepuluh tahun dengan syarat-syarat yang sangat lunak, yang seakan-akan menguntungkan kaum musyrikin, tetapi kaum musyrikin melanggar perjanjian itu, sehingga tidak ada pilihan lain bagi Nabi Muhammad dan kaum Muslimin, selain menghadapi tantangan itu dengan penuh keimanan dan keberanian. Akhirnya pada tahun ke-8 Hijri, kota Mekah dapat ditaklukkan oleh kaum Muslimin. Dengan demikian kekuatan kaum musyrikin menjadi lemah, akan tetapi mereka masih mengadakan perlawanan dengan segala cara yang masih bisa mereka lakukan, sehingga turunlah surah ini yang menyatakan pembatalan perjanjian perdamaian dan pemutusan hubungan dengan kaum musyrikin. Ayat ini menyatakan pembatalan berbagai perjanjian damai dengan kaum musyrikin dengan cara yang lebih tegas dan positif dari yang sudah diterangkan Allah dalam firman-Nya: Dan jika engkau (Muhammad) khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berkhianat. (al-Anfal/8: 58) Banyak pendapat ahli tafsir tentang perjanjian yang dibatalkan dalam ayat ini. Menurut Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir bahwa pendapat yang terbaik dan terkuat ialah perjanjian yang ditentukan waktunya, sedang perjanjian yang masih berlaku, harus ditunggu sampai habis waktunya, sesuai dengan ayat keempat dari surah yang akan diterangkan kemudian ini.

Ayat 2

Pada ayat ini Allah menerangkan agar kaum Muslimin memberi kesempatan kepada kaum musyrikin yang selalu mengkhianati janji, untuk berjalan di muka bumi selama empat bulan dengan bebas dan aman tanpa diganggu oleh siapa pun, agar mereka dapat berpikir lebih tenang untuk menentukan sikap mereka, apakah mau masuk Islam atau tetap menentang kaum Muslimin. Adapun mulai berlakunya masa empat bulan itu, menurut pendapat yang masyhur, ialah dari tanggal 10 Zulhijjah tahun ke-9 Hijri sampai dengan tanggal 10 Rabiul Akhir tahun ke-10 Hijri. Sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Masyar al-Madani dari Muhammad bin Ka'ab al-Qurazi dan lain-lain yang maksudnya: Rasulullah saw mengutus Abu Bakar sebagai Amir Haji tahun ke-9 Hijri dan mengutus pula Ali bin Abi thalib dengan membawa 30 atau 40 ayat Baraah untuk dibacakan kepada manusia di Mina. Pendapat yang lain mengatakan, agar tidak bersimpang siur perlu dibedakan antara empat bulan yang dimaksud di sini dengan empat bulan yang diharamkan berperang secara umum seperti yang disebut dalam hadis yang sahih yang berbunyi: Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaan (bentuknya) pada hari yang diciptakan langit dan bumi. Setahun ada dua belas bulan, empat bulan daripadanya diharamkan berperang, tiga bulan berturut-turut yaitu Zulkaidah, Zulhijjah, Muharam dan Rajab bulan yang terjepit, yang terletak di antara Jumadil (Akhir) dan Syaban. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Bakhirah) Bulan yang empat di dalam hadis ini pulalah yang dimaksud dalam surah-surah al-Baqarah/2: 217, al-Maidah/5: 2, dan lain-lainnya yang dilarang berperang secara umum. Selanjutnya pada ayat ini Allah menerangkan bahwa jika orang-orang musyrikin itu masih menentang dan memusuhi Allah dan Rasul-Nya, maka mereka harus mengerti bahwa mereka tidak akan dapat melemahkan Allah, tapi mereka sendirilah yang akan memikul segala akibatnya. Hal serupa itu sudah menjadi sunnatullah yang berlaku bagi orang-orang kafir sebagaimana yang diterangkan dalam firman Allah: Orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasul), maka datanglah kepada mereka azab dari arah yang tidak mereka sangka. Maka Allah menimpakan kepada mereka kehinaan pada kehidupan dunia. Dan sungguh, azab akhirat lebih besar, kalau (saja) mereka mengetahui. (Az-Zumar/39: 25-26)

Ayat 3

Pada ayat ini Allah menerangkan satu pernyataan pada hari Haji Akbar yang isinya menyatakan bahwa Allah dan Rasul-Nya memutuskan hubungan dan perjanjian dengan orang musyrik serta membersihkan agama mereka dari semua khurafat dan kesesatan. Banyak hadis-hadis sahih yang diriwayatkan bertalian dengan permasalahan ini, antara lain bahwa Abu Hurairah berkata: Saya (Abu Hurairah) diutus oleh Abu Bakar pada hari raya haji bersama dengan orang-orang yang ditugaskan untuk memaklumkan di Mina bahwa orang musyrik tidak diperbolehkan naik haji sesudah tahun ini dan tidak dibolehkan tawaf di Baitullah dengan telanjang. Kemudian Rasulullah saw menyusuli dengan mengutus Ali bin Abi thalib dan memerintahkannya untuk memaklumkan (membaca ayat) Baraah dan orang musyrik tidak dibolehkan haji lagi sesudah tahun itu dan tidak dibolehkan tawaf di Baitullah dengan telanjang (sebagaimana kebiasaan kaum musyrikin). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah) Abu Hurairah berkata lagi: Saya bersama-sama dengan Ali bin Abi thalib ketika ia diutus Rasulullah saw kepada penduduk Mekah dengan (membacakan) ayat Baraah lalu ia bertanya, "Apakah yang kamu serukan (umumkan)." Ali menjawab, "Kami serukan, bahwa tidak ada yang masuk surga melainkan orang-orang mukmin, tidak dibolehkan tawaf di Baitullah dengan telanjang, barang siapa yang ada janji dengan Rasulullah saw maka temponya atau masanya sampai empat bulan dan apabila selesai empat bulan, maka Allah dan Rasul-Nya membebaskan diri dari orang musyrikin, dan tidak dibolehkan orang musyrikin naik haji ke Baitullah ini sesudah tahun kita ini (tahun ke-9 Hijri)." (Riwayat Ahmad dari Abu Hurairah) Para ulama banyak mengemukakan pendapat tentang apa yang dimaksud dengan haji akbar, antara lain sebagai berikut: a. Menurut Abdullah bin Harits, Ibnu Sirin dan Asy-Syafii bahwa yang dimaksud dengan haji akbar ialah hari Arafah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ibnu Majah. b. Menurut Ibnu Qayyim dan lain-lainnya bahwa yang dimaksud dengan haji akbar ialah hari Nahar atau hari menyembelih kurban (10 Zulhijjah) berdasarkan hadis yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim. c. Al-Qadzi (Iyadz) mengatakan, "Apabila kita meneliti pendapat-pendapat itu maka pendapat yang terpilih adalah haji akbar itu ialah hari-hari mengerjakan manasik haji sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid. Tetapi apabila kita membahas tentang hari raya Haji Akbar, maka tidak diragukan lagi ialah wukuf di Arafah karena haji adalah Arafah. Barang siapa yang dapat wukuf di Arafah, maka ia benar-benar melakukan ibadah haji, dan barang siapa yang tidak wukuf di Arafah, maka ia tidak memperoleh haji. Maka yang dimaksud dengan haji akbar dalam surah ini dan diucapkan Nabi saw dalam khutbahnya, ialah hari Nahar." Adapun sebab dinamakan haji akbar yang berarti haji besar, maka sebagian ulama mengatakan ialah untuk membedakannya dengan umrah yang disebut haji kecil. Ada pula yang mengatakan, karena amal-amal yang dikerjakan pada masa haji itu lebih besar pahalanya jika dibandingkan dengan amal-amal yang dikerjakan pada masa-masa yang lain. Ada pula yang mengatakan, karena pada waktu itulah nampak kemuliaan yang lebih besar bagi kaum Muslimin dan kehinaan bagi orang-orang musyrikin dan masih banyak lagi pendapat lain yang berbeda. Menurut ayat ini kelanjutan dari pemberitahuan itu ialah jika kaum musyrikin bertobat, menyesali kesesatan mereka dari perbuatan syirik, melanggar janji, dan sebagainya, dan kembali kepada jalan yang benar, yaitu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan menghilangkan permusuhan dengan kaum Muslimin, maka itulah yang paling baik bagi mereka untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Akan tetapi, jika mereka berpaling, tidak mau menerima kebenaran dan petunjuk dan tetap membangkang, maka mereka tidak akan dapat melemahkan kekuasaan Allah dan tidak akan dapat menghilangkan pertolongan yang dijanjikan Allah kepada Rasulullah saw dan kepada orang-orang mukmin, yaitu kemenangan mereka dalam mengalahkan orang-orang musyrik dan munafik. Mereka bukan saja menderita kekalahan dan kehinaan di dunia bahkan Rasulullah pun diperintahkan Allah untuk menyampaikan berita bahwa mereka akan mendapat siksa yang sangat pedih di akhirat.

Ayat 4

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa waktu yang diberikan kaum Muslimin kepada kaum musyrikin untuk menentukan sikap, tidak boleh lebih dari empat bulan, kecuali terhadap mereka yang mengadakan perjanjian dengan kaum Muslimin, dan terhadap mereka yang tidak mengurangi isi perjanjian itu dan tidak membantu orang-orang yang memusuhi kaum Muslimin, maka perjanjian itu harus dipelihara dan disempurnakan sesuai dengan isinya sampai kepada batas waktunya. Ibnu Abi hatim meriwayatkan bahwa Nabi menyempurnakan janjinya dengan suku Bani amrah dan Bani Kinanah. Ayat-ayat ini dan ayat-ayat yang lainnya menunjukkan bahwa setiap perjanjian yang masih berlaku, wajib dipenuhi dan disempurnakan sesuai dengan syarat-syarat perjanjian itu, walaupun perjanjian itu dengan kaum musyrikin, selama mereka masih memenuhi semua syarat-syarat perjanjian itu. Akhir ayat ini menerangkan bahwa Allah swt menyukai orang-orang yang bertakwa. Hal ini menunjukkan bahwa memelihara dan menyempurnakan janji termasuk takwa. Karena memelihara perjanjian artinya memelihara pertanggung jawaban terhadap keadilan antara manusia yang membawa kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Ayat 5

Apabila telah selesai bulan-bulan yang diharamkan memerangi kaum musyrikin Mekah yaitu selama empat bulan terhitung mulai tanggal 10 Zulhijjah sampai dengan tanggal 10 Rabiul Akhir tahun 9 Hijriah, maka diperintahkan kepada kaum Muslimin untuk mengerjakan salah satu dari empat hal yang lebih bermanfaat bagi mereka, yaitu: 1. Memerangi kaum musyrikin di mana saja mereka berada, baik di tanah suci maupun di luarnya. 2. Menawan mereka. 3. Mengepung dan memenjarakan mereka. 4. Mengintai gerak gerik mereka dimana saja mereka berada. Adapun membunuh atau memerangi mereka di mana saja, menurut Ibnu Katsir, pendapat yang masyhur ialah bahwa ayat ini umum dan ditakhsiskan dengan firman Allah: Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. (al-Baqarah/2: 191) Adapun tentang menawan mereka, telah diperbolehkan pada ayat ini, sedang pada surah sebelumnya belum diperbolehkan seperti firman Allah: Tidaklah pantas, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di bumi. (al-Anfal/8: 67) Ayat ini sesuai dengan hadis sahih antara lain sabda Nabi saw: Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah rasul Allah, dan mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari 'Abdullah bin Umar). Ayat ini adalah salah satu dari empat ayat yang dinamakan "ayatul qital" artinya "ayat-ayat perang", karena empat ayat ini diturunkan untuk membunuh atau berperang dengan memakai kekuatan senjata. Pertama: ayat ini untuk membunuh atau memerangi kaum musyrikin. Kedua: untuk memerangi Ahli Kitab yang disebutkan dalam firman Allah: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (at-Taubah/9: 29) Ketiga: ialah memerangi orang-orang munafik yang disebut dalam firman Allah: Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik. (At-Tahrim/66: 9) Keempat: ialah memerangi orang-orang bugat (yang membuat kerusuhan) yang disebutkan dalam firman Allah: Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. (al-hujurat/49: 9) Di antara ulama tafsir ada yang berpendapat bahwa ayat ini dinasakhkan oleh firman Allah: Setelah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang selesai. (Muhammad/47: 4) Di antara ulama ada yang berpendapat sebaliknya, yaitu ayat inilah yang menasakhkan ayat 4 Surah Muhammad tersebut, karena ayat ini turunnya kemudian. Dan ada pula yang berpendapat bahwa ayat ini tidaklah bertentangan dengan ayat 4 Surah Muhammad dan ayat-ayat lainnya, karena semua ulama berpendapat tentang kewajiban memberantas kekufuran dan kesesatan yang semuanya tidak harus dengan peperangan tetapi hendaknya disesuaikan dengan faktor-faktor lainnya, seperti kemampuan dan keadaan. Apabila kaum musyrikin itu bertobat dan kembali ke jalan yang benar dengan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mengucapkan dua kalimah syahadat, mengerjakan salat dan menunaikan zakat, maka kepada mereka harus diberi kebebasan yang luas, tidak diperangi, tidak ditawan, tidak dikurung, dan tidak diintai gerak geriknya lagi. Sebagai kesaksian lahiriyah beriman itu harus dengan mengucapkan dua kalimah syahadat setelah menyatakan masuk Islam. Dan yang dimaksud dengan salat di sini ialah salat fardzu lima waktu yang menjadi rukun Islam dan menunjukkan kepatuhan beriman yang dituntut bagi setiap mukmin tanpa perbedaan dari segi apa pun, salat ini membersihkan jiwa dan memperbaiki akhlak: Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar. (al-'Ankabut/29: 45) Dan karena salat itu mempunyai daya kekuatan mengadakan hubungan manusia dengan Tuhan. Dan laksanakanlah salat untuk mengingat Aku. (thaha/20: 14) Tentang zakat di sini ialah zakat fardu (wajib) dalam Islam bagi orang-orang yang telah memenuhi syarat-syaratnya, karena zakat ini selain membersihkan jiwa orang yang berzakat dari sifat-sifat tidak terpuji seperti cinta harta dan bakhil atau kikir, juga sangat diperlukan untuk fakir miskin dan untuk kepentingan umum. Tegasnya, orang-orang musyrik tidak boleh diperangi jika mereka masuk Islam dengan memenuhi tiga syarat yaitu: 1. Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. 2. Melaksanakan salat fardu lima waktu. 3. Menunaikan wajib zakat apabila telah memenuhi syarat-syaratnya. Sabda Rasulullah saw: Saya diperintahkan memerangi orang-orang hingga mereka bersyahadat bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka apabila mereka telah berbuat demikian, niscaya darah dan harta benda mereka terpelihara dari saya, kecuali dengan hak Islam dan hisab mereka terserah kepada Allah. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari 'Abdullah bin 'Umar) Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka sebagian ulama berpendapat bahwa orang-orang yang tidak melaksanakan salat lima waktu yang difardzukan tanpa udzur atau alasan yang dibolehkan syariat, dan orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat yang sudah cukup syarat-syaratnya, maka hukumnya wajib dibunuh. Sedang pendapat ulama lain mengatakan tidak wajib dibunuh, hanya ditazir oleh imam (penguasa) dengan memberikan hukuman penjara dan sebagainya menurut pertimbangannya, dan orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat, maka imam berhak mengambil zakatnya dengan paksa.

Ayat 6

Jika ada orang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepada Nabi Muhammad saw, untuk mendengarkan kalam Allah agar ia dapat mengetahui hakikat dakwah Islami yang disampaikan oleh Nabi, maka Nabi harus melindunginya dalam jangka waktu tertentu. Kalau ia mau beriman, berarti ia akan aman untuk seterusnya, dan kalau tidak, maka Nabi hanya diperintahkan untuk menyelamatkannya sampai kepada tempat yang diinginkannya untuk keamanan dirinya, selanjutnya keadaan kembali seperti semula yaitu seperti keadaan perang. Dalam hal ini para ulama tafsir berbeda pendapat antara lain bahwa perlindungan (pengamanan) yang diberikan itu hanyalah kepada kaum musyrikin yang telah habis masa perjanjian damainya dengan kaum Muslimin selama ini, dan mereka tidak pernah melanggarnya. Dan apabila perjanjian itu masih berlaku, kaum Muslimin diperintahkan menyem-purnakannya sebagaimana telah dijelaskan pada ayat empat. Bahkan orang-orang musyrikin yang sudah habis tempo empat bulan yang diberikan kepada mereka untuk menentukan sikap, karena waktunya sudah cukup dan tidak perlu ditambah lagi, berlaku hukum perlindungan ini jika mereka memintanya. Tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa kepada mereka yang ingin beriman masih diberi kesempatan yang lamanya empat bulan. Namun, menurut pendapat yang terkuat, hal ini diserahkan kepada imam. Dalam persoalan ini Ibnu Katsir berpendapat bahwa orang kafir yang datang dari negeri harb (kafir) ke kawasan Islam untuk menunaikan suatu tugas seperti dagang, minta berdamai, minta menghentikan pertempuran, membawa jizyah (upeti) dan minta pengamanan kepada mereka, diberikan perlindungan selama dia berada di kawasan Islam sampai dia kembali ke negerinya.

Ayat 7

Allah dan Rasul-Nya tidak dapat meneruskan dan memelihara perjanjian dengan orang-orang musyrikin kecuali dengan mereka yang mengindahkan perjanjian di dekat Masjidilharam. Oleh karena itu, sebagai patokan umum yang harus dilaksanakan oleh kaum Muslimin terhadap kaum musyrikin dijelaskan, bahwa jika mereka mematuhi syarat-syarat perjanjian, maka kaum Muslimin pun berbuat demikian pula terhadap mereka, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa, sedang orang-orang yang tidak mengindahkan syarat-syarat perjanjian adalah orang-orang yang berkhianat dan tidak bertakwa kepada Allah swt. Yang dimaksud dengan perjanjian Masjidilharam di sini ialah perjanjian Hudaibiyah yang terjadi pada waktu Nabi Muhammad saw dan sejumlah besar para sahabat pada tahun ke-6 Hijri berangkat dari Medinah menuju Mekah untuk mengerjakan ibadah umrah setelah mereka sampai di suatu tempat yang bernama Hudaibiyah, 13 mil sebelah barat kota Mekah, mereka dicegat dan dihalang-halangi oleh orang-orang kafir Quraisy sehingga terjadilah perjanjian damai yang dinamakan dengan tempat itu. Menurut riwayat Ibnu Abi hatim bahwa di antara suku Arab musyrik yang mengindahkan perjanjian Hudaibiyah itu adalah suku Bani amrah dan suku Kinanah, sehingga menurut sebagian mufasir, Nabi dan kaum Muslimin menyempurnakan perjanjian Hudaibiyah dengan dua suku ini, meskipun telah habis jangka masa empat bulan yang diberikan kepada kaum musyrikin.

Ayat 8

Di antara sebab pembatalan perjanjian itu ialah apabila kaum musyrikin memperoleh kemenangan terhadap kaum Muslimin, kemudian mereka tidak peduli lagi dengan hubungan kekerabatan dan ikatan perjanjian damai. Mereka pandai menarik simpati kaum Muslimin dengan kata-kata yang manis, padahal hati mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka ucapkan. Mereka berbuat demikian karena kebanyakan mereka orang fasik yang tidak mengenal akidah yang benar dan akhlak yang baik, sehingga mereka berbuat menurut dan mengikuti hawa nafsunya. Jadi kaum musyrikin yang sudah demikian bencinya terhadap Nabi Muhammad saw dan kaum Muslimin, tentu tidak ada gunanya mengadakan perjanjian dengan mereka, bagaimanapun corak dan bentuknya. Mereka pada umumnya telah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Akhir ayat ini menerangkan bahwa kebanyakan mereka adalah orang fasik.

Ayat 9

Kaum musyrikin menukar ayat-ayat Allah yang mengandung ajaran-ajaran tauhid, iman dan lain-lain dengan sesuatu yang sangat rendah mutu dan nilainya, agar mereka dapat terus menikmati keberuntungan duniawi yang mereka kehendaki dan untuk mempertahankan tradisi, kedudukan, kekuasaan, dan pengaruh yang membawa keberuntungan duniawi yang mereka nikmati. Pada hakikatnya, keberuntungan itu sangat sedikit dibandingkan dengan keberuntungan bila mereka beriman kepada ayat-ayat Allah yang membawa kebahagiaan akhirat yang kekal abadi. Tetapi kaum musyrikin itu tidak mempedulikan semuanya itu. Maka pada akhir ayat ini Allah menerangkan bahwa perbuatan itu sangat buruk. Terutama jika semua tindakan itu dimaksudkan untuk menghalangi tersiarnya agama Islam.

Ayat 10

Karena kekufuran mereka, lenyaplah dari jiwa mereka hubungan kekerabatan dan ikatan-ikatan perjanjian, sehingga mereka tidak segan-segan menghantam orang mukmin dengan segala macam cara yang dapat mereka lakukan. Mereka berusaha mengambil setiap kesempatan untuk menghancurkan kaum Muslimin secara kelompok atau perorangan, secara terang-terangan atau sembunyi pada setiap kesempatan. Maka akhir ayat ini menyatakan bahwa berbagai perbuatan itu benar-benar telah melampaui batas.

Ayat 11

Kaum musyrik yang seharusnya dibunuh atau diperangi, jika mereka bertobat yakni beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, melaksanakan salat lima waktu dan menunaikan kewajiban zakat, maka Allah menyatakan bahwa mereka adalah saudara-saudara seagama dengan orang-orang mukmin yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama tanpa ada perbedaan. Ikatan persaudaraan yang demikian adalah ikatan yang sangat kuat dan luas yang dapat menghilangkan segala macam perselisihan dan permusuhan yang ditimbulkan oleh perbedaan suku, bangsa dan sebagainya. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda: Saya diperintahkan memerangi manusia hingga bersyahadat bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah, maka apabila mereka bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah, mereka menghadap kiblat kita, memakan sembelihan kita dan salat seperti kita, maka haramlah atas kita darah mereka dan harta-harta mereka, kecuali menurut haknya. Mereka mempunyai hak dan kewajiban seperti orang-orang Islam. (Riwayat Muslim dari Anas bin Malik) Ayat-ayat itu ditujukan kepada orang yang mau mengerti, terutama mengenai kaum musyrikin yang bertobat ataupun yang tidak dan bagaimana seharusnya mereka itu diperlakukan.

Ayat 12

Kaum musyrikin, apabila melanggar perjanjian yang sudah mereka buat dengan orang mukmin dan mereka mencerca agama Islam, maka Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk memerangi pemimpin-pemimpin mereka, karena tidak menepati janjinya untuk menghentikan permusuhan dengan kaum Muslimin dan tidak mau bertobat. Para mufasir menerangkan bahwa yang dimaksud dengan mencerca agama Islam ialah mencerca Nabi, Al-Qur'an, dan lain-lain, sedang yang dimaksud membunuh atau memerangi pemimpin-pemimpin kafir di sini termasuk juga para pengikutnya. Memerangi kaum musyrikin itu diperkenankan bila mereka melanggar perjanjian damai dan menyerang Islam dan kaum Muslimin.

Ayat 13

Ayat ini mendorong semangat orang-orang mukmin untuk melaksanakan dengan sungguh-sungguh perintah memerangi kaum musyrikin. Allah menyebutkan tiga sebab utama yang membuktikan bahwa orang-orang musyrik tidak bisa didiamkan dan dibiarkan saja, yaitu: 1. Mereka melanggar perjanjian Hudaibiyah yang telah mereka sepakati bersama Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya untuk tidak berperang selama 10 tahun dan tidak boleh saling mengganggu antara kedua belah pihak dan sekutu-sekutunya. Tetapi tidak lama berselang, pihak musyrikin Quraisy telah membantu sekutunya dari Bani Bakar untuk menyerang suku Khuzaah sekutu Nabi yang tinggal di Mekah. Oleh karena itu Nabi merasa berkewajiban membela kaum Muslimin. Akhirnya pada tanggal 20 Ramadzan tahun ke-8 Hijri, Mekah dapat dibebaskan oleh kaum Muslimin. 2. Sebelum Nabi Muhammad saw hijrah ke Medinah, kaum musyrikin telah berusaha keras untuk mengusir Nabi Muhammad saw dari Mekah, memenjarakan atau membunuhnya dengan mempergunakan kekuatan dari suku Quraisy agar keluarga Nabi Muhammad saw sukar menuntut bela. Inilah yang diisyaratkan oleh firman Allah: Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu (Muhammad) untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya. (al-Anfal/8: 30) 3. Mereka yang memulai lebih dahulu memerangi kaum Mukminin di Badar, Uhud, Khandaq, dan lain-lain. Setelah menerangkan tiga sebab utama tersebut, semangat dan perhatian orang mukmin dibangkitkan agar tidak takut menghadapi kaum musyrikin, karena Allah yang lebih berhak untuk ditakuti jika benar-benar mereka beriman. Orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya harus berani berkorban demi kepentingan agama dan kebenaran tanpa dibayangi oleh suatu keraguan yang menimbulkan ketakutan dan kemunduran semangat yang sangat merugikan mereka sendiri.

Ayat 14

Ayat ini memerintahkan kaum Muslimin agar memerangi orang musyrik karena mereka telah melanggar janji dan memerangi Rasul dan kaum Muslimin. Jika mereka melaksanakan perintah itu, pasti Allah akan menyiksa kaum musyrikin dengan kekuatan kaum mukmin. Allah menjadikan mereka hina dan Allah menolong orang-orang mukmin menghilangkan kesedihan mereka yang menderita akibat pengkhianatan pihak musyrikin. Yang dimaksud dengan Allah menyiksa orang-orang musyrik dengan kekuatan kaum Muslimin ialah membunuh dan menghancurkan mereka dalam peperangan. Yang menjadikan mereka hina ialah karena kekalahan mereka dan mereka dijadikan tawanan dan budak. Menurut riwayat Ikrimah dan ulama lain, orang mukmin yang hilang kesedihan hatinya, ialah suku Khuzaah, sedangkan menurut Ibnu 'Abbas suku Yaman dan Saba' yang telah masuk Islam yang pernah mendapat siksaan yang berat dari orang-orang musyrik Mekah. Mereka mengirimkan utusan mengadukan penderitaan mereka kepada Rasulullah di Medinah, maka Rasulullah menyampaikan salam dan kabar gembira, untuk menggembirakan hati mereka, sebab pertolongan Allah akan datang dalam waktu yang dekat.

Ayat 15

Kekalahan kaum musyrikin itu akan melegakan hati dan menghilangkan kesedihan orang-orang mukmin yang banyak menderita siksaan dan penganiayaan dari kaum musyrik selama ini, karena mereka tidak mampu membela diri di Mekah dan tidak mampu pindah ke Medinah atau ke tempat lain yang aman. Selanjutnya pada akhir ayat ini diterangkan bahwa Allah menerima tobat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana. Ayat ini memberi isyarat bahwa kaum musyrikin banyak yang telah bertobat dan Allah telah menerima tobat mereka. Mereka menjadi orang-orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan pembela agama Islam yang tangguh. Allah yang Maha mengatur hamba-Nya dan mengatur kepentingan perkembangan agama-Nya di kemudian hari.

Ayat 16

Ayat ini memberikan peringatan yang sangat penting kepada kaum Muslimin untuk memerangi kaum musyrik. Allah juga mengajak mereka agar introspeksi diri berpikir dengan penuh kesadaran tentang hal-hal berikut: a. Apakah selama ini mereka sudah sungguh-sungguh melaksanakan jihad sebagaimana mestinya? b. Apakah orang musyrik tidak akan memerangi mereka lagi dan tidak akan melanggar perjanjian sebagaimana yang biasa mereka lakukan? c. Apakah orang musyrik tidak akan mencerca agama Islam lagi dan menghalang-halangi orang untuk menganutnya, seperti yang mereka lakukan semenjak lahirnya agama Islam. d. Apakah kaum Muslimin sudah lupa tingkah laku orang-orang munafik yang menikam Nabi dan kaum Muslimin dari belakang? e. Apakah Muslimin dibiarkan saja tanpa mendapat cobaan dan ujian sehingga diketahui siapa yang benar-benar beriman dan berjihad di jalan Allah dan tidak mengambil orang musyrikin menjadi teman kepercayaan dan siapa yang berbuat sebaliknya? Kaum Muslimin harus tabah menghadapi segala macam cobaan dan ujian, tidak boleh merasa cepat puas dengan hasil yang sudah dicapai dan tidak boleh pula malas dan bosan untuk meneruskan jihad. Mereka juga harus mengetahui kewajiban menjaga diri dan waspada terhadap segala tipu daya musuh, dan tidak boleh menjadikan mereka teman akrab. Hal ini sudah banyak diperingatkan di dalam Al-Qur'an, antara lain firman Allah: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang di luar kalanganmu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka mengharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat. (Ali 'Imran /3: 118) Allah Maha Mengetahui apa yang dikerjakan kaum Muslimin dalam melaksanakan perintah berjihad dan apa yang tersimpan dalam hati mereka, oleh karena itu diperintahkan agar mereka mematuhi petunjuk dan perintah Allah sebaik-baiknya.

Ayat 17

Ayat ini menerangkan bahwa tidak pantas bagi kaum musyrikin memakmurkan Masjidilharam dan mesjid-mesjid lainnya. Memakmurkan mesjid Allah hanyalah dengan menjadikan tempat itu untuk mengesakan dan mengagungkan Allah serta menaati-Nya. Hal ini dilakukan hanya oleh orang-orang mukmin. Memakmurkan mesjid, ialah membangunnya, mengurusnya, menghidupkannya dengan amal ibadah yang diridai Allah. Memakmurkan yang dilarang untuk orang bukan Muslim, ialah penguasaan terhadap mesjid, seperti menjadi pengurusnya. Adapun mempergunakan tenaga orang bukan Muslim untuk membangun mesjid, seperti memakai tukang bangunan dan sebagainya tidak dilarang. Begitu juga kaum Muslimin boleh menerima mesjid yang dibangun oleh orang bukan Muslim atau yang membangunnya diwasiatkan oleh orang bukan Muslim, atau memperbaiki-nya selama tidak mengandung tujuan yang membikin mudarat kepada kaum Muslimin. Sekalipun para mufasir berbeda pendapat tentang mesjid yang dimaksud dalam ayat ini, apakah Masjidilharam saja, sesuai dengan turunnya ayat ini, seperti tersebut pada permulaan tafsir ayat ini, dan sesuai pula dengan bacaan sebagian ulama qira'at yang membacakan dengan masjid artinya lafal mufrad (tunggal) yaitu Masjidilharam, atau yang dimaksud semua mesjid Allah, sesuai dengan lafal jamak masajid. Tetapi semua pendapat, baik Masjidlharam ataupun mesjid-mesjid lainnya, tidak pantas dan tidak boleh bagi musyrikin untuk memakmurkannya. Selanjutnya pada ayat ini Allah menerangkan bahwa amal dan pekerjaan orang-orang kafir yang mereka bangga-banggakan, yaitu memakmurkan Masjidilharam, memberi minum orang-orang haji, dan lain-lain akan sia-sia selama mereka di dalam kesyirikan. Firman Allah: Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan. (al-Anam/6: 88) Akhir ayat ini menerangkan bahwa orang-orang musyrik itu kekal dalam neraka, karena tidak ada amal mereka di dunia yang berguna dan dapat menolong mereka di hari akhirat.

Ayat 18

Ayat ini menerangkan bahwa yang patut memakmurkan mesjid-mesjid Allah hanyalah orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan berserah diri kepada-Nya serta percaya akan datangnya hari akhirat tempat pembalasan segala amal perbuatan, melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak takut kepada siapa pun selain kepada Allah. Orang-orang inilah yang diharapkan termasuk golongan yang mendapat petunjuk untuk memakmurkan mesjid-mesjid-Nya. Banyak hadis yang menjelaskan tentang keutamaan memakmurkan mesjid, antara lain sabda Rasulullah saw: Barang siapa membangun mesjid bagi Allah untuk mengharapkan keridaan-Nya, niscaya Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah dalam surga. (Riwayat al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi dari 'Utsman bin Affan) Sabda Rasulullah saw: Apabila kamu melihat seseorang membiasakan diri (beribadah) di mesjid, maka bersaksilah bahwa ia orang yang beriman. (Riwayat Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-hakim dari Abi Said al-Khudri) Dan sabdanya yang lain: Sesungguhnya ada seorang perempuan yang biasa menyapu mesjid lalu meninggal dunia, Rasulullah saw menanyakannya, dan ketika dikatakan kepadanya bahwa perempuan itu sudah meninggal, Rasulullah berkata, "Mengapa kamu tidak memberitahukan kepada saya, agar saya salatkan ia. Tunjukkanlah kepadaku di mana kuburnya." Maka Rasulullah mendatangi kuburan itu, lalu ia salat di atasnya. (Riwayat al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah) Dalam hadis lain: Barang siapa menyalakan penerangan lampu dalam mesjid, niscaya para malaikat dan para pembawa arasy senantiasa memohon ampun kepada Allah agar diampuni dosanya selama lampu itu bercahaya dalam mesjid. (Riwayat Salim ar-Razi dari Anas r.a.)

Ayat 19

Pertanyaan yang terkandung dalam ayat ini ditujukan kepada orang-orang mukmin yang berselisih tentang amal saleh yang lebih utama seperti tersebut di atas. Sebagai jawaban diterangkan bahwa mengurus Masjidil-haram dan menyediakan minuman bagi orang-orang yang mengerjakan haji tidak dapat disamakan keutamaannya dengan beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah. Amal-amal yang tersebut pada bagian pertama meskipun termasuk amal kebajikan tetapi derajatnya tidak sebanding dengan derajat amal-amal yang tersebut kemudian, yaitu iman dan jihad di jalan Allah sebagaimana tersebut dalam ayat ini. Menganggap dua macam amal tersebut sama adalah suatu anggapan yang tidak pada tempatnya, dan bertentangan dengan petunjuk Allah apalagi kalau dianggap bahwa amal pertama lebih utama dari amal kedua.

Ayat 20

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang beriman dengan iman yang kokoh yang mendorongnya rela hijrah meninggalkan kampung halamannya, harta kekayaan dan karya usahanya, berpisah dengan anak istrinya, orang tua dan sanak saudaranya, mereka adalah orang-orang yang melaksanakan amal perbuatan yang berat dan membutuhkan banyak pengorbanan. Apalagi jika amal-amal yang tersebut diikuti dengan jihad di jalan Allah yaitu dengan mengorbankan harta kekayaan dan jiwa raganya. Untuk orang-orang yang berbuat demikian Allah akan memberikan penghargaan yang tinggi serta keberuntungan dan kebahagiaan. Adapun orang-orang mukmin yang tidak hijrah dan tidak jihad di jalan Allah, meskipun mereka menyediakan minumam bagi para jemaah haji dan memakmurkan Masjidilharam, penghargaan Allah kepada mereka dan pahala yang diberikan kepada mereka tidak sebesar apa yang diterima oleh orang-orang yang hijrah dan berjihad. Tentang amal seseorang yang tidak didasari dengan iman kepada Allah akan sia-sialah amal itu. Karena orang kafir tidak akan memperoleh pahala di akhirat.

Ayat 21

Ayat ini menerangkan bahwa Allah memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang hijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka akan mendapat balasan rahmat yang luas, keridaan yang sempurna dan surga yang menjadi tempat tinggal mereka selama-lamanya. Pahala terbesar adalah memperoleh rida Allah sebagaimana firman-Nya: Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat yang baik di surga 'Adn. Dan keridaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang agung. (at-Taubah/9: 72) Hal ini disebutkan juga dalam hadis Nabi Muhammad saw: Allah berkata kepada ahli surga, "Wahai ahli surga." Mereka menjawab, "Kami patuh kepada Engkau ya Tuhan kami." Allah berkata, "Apakah kamu sekalian telah rida." Mereka menjawab, "Bagaimanakah kami tidak akan rida sedangkan kami telah Engkau karuniakan sesuatu yang belum pernah Engkau karuniakan kepada siapapun." Allah berkata lagi, "Aku akan memberikan kepadamu sesuatu yang lebih utama dari apa yang telah Kuberikan." Mereka bertanya, "Ya Tuhan kami pemberian apakah yang lebih utama itu?" Allah berkata, "Aku telah meridai kamu sekalian dan tidak akan memurkaimu sesudah itu selama-lamanya." (Riwayat al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan an-Nasa'i dari Abi Said al-Khudri)

Ayat 22

Di ayat ini Allah menjelaskan bahwa orang yang memperoleh karunia tersebut akan tetap tinggal di surga untuk selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah telah tersedia pahala yang sangat besar bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, terutama bagi orang-orang yang beriman, hijrah, dan berjihad dengan harta dan jiwa raganya.

Ayat 23

Ayat ini diturunkan sehubungan dengan sikap sebagian kaum Muslimin sewaktu diperintahkan hijrah ke Medinah, mereka menjawab, "Jika kami hijrah, putuslah hubungan kami dengan orang-orang tua kami, anak-anak dan famili kami, hancurlah perdagangan kami dan akhirnya kami menjadi orang yang sia-sia." Ayat ini melarang orang yang beriman menjadikan ibu bapak dan saudara mereka yang masih kafir, menjadi pemimpin karena dikhawatirkan mereka akan mengetahui keadaan kaum Muslimin dan kekuatannya. Perbuatan seperti itu akan sangat bermanfaat bagi pihak kafir untuk menyerang kaum Muslimin. Orang mukmin yang tidak menaati larangan itu dan dalam keadaan perang, mereka masih membantu orang-orang kafir, karena yang dibantu itu ada hubungan kekeluargaan, maka dia adalah orang yang zalim, terhadap diri, pengikut-pengikut, dan agamanya.

Ayat 24

Ayat ini memberikan peringatan bahwa jika orang beriman lebih mencintai bapaknya, anak-anaknya, saudara-saudaranya, istri-istrinya, kaum keluarganya, harta kekayaan, perniagaan dan rumah-rumahnya, daripada mencintai Allah dan Rasul-Nya serta berjihad menegakkan syariat-Nya, maka Allah akan mendatangkan siksa kepada mereka cepat atau lambat. Mereka yang bersikap demikian itu adalah orang-orang fasik yang tidak akan mendapat hidayah dari Allah swt. Berikut ini beberapa alasan mengapa orang mencintai anak, suami, istri, ibu, bapak, keluarga, dan sebagainya: 1. Bahwa cinta anak terhadap ibu bapak adalah naluri yang ada pada tiap-tiap diri manusia. Anak sebagai keturunan dari ibu bapaknya mewarisi sebagian sifat-sifat dan tabiat-tabiat ibu bapaknya. 2. Bahwa cinta ibu bapak kepada anaknya adalah naluri juga, bahkan lebih mendalam lagi, karena anak merupakan jantung hati yang diharapkan melanjutkan keturunan dan meneruskan sejarah hidupnya. Dalam hal ini ibu bapak rela menanggung segala macam pengorbanan untuk kebahagiaan masa depan anaknya. 3. Bahwa cinta kepada saudara dan karib kerabat adalah cinta yang lumrah dalam rangka pelaksanaan hidup dan kehidupan tolong-menolong, bantu-membantu dan bela-membela dalam kehidupan rumah tangga, dan kehidupan bermasyarakat. Cinta yang demikian akan menumbuhkan perasaan hormat-menghormati dan sayang-menyayangi. 4.Bahwa cinta suami istri adalah cinta yang terpadu antara dua jenis makhluk yang membina keturunan dan membangun rumah tangga untuk kebahagiaan hidup dan kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karena itu keutuhan hubungan suami istri yang harmonis menjadi pokok bagi kerukunan dan kebahagiaan hidup dan kehidupan yang diidam-idamkan. 5. Bahwa cinta terhadap harta dengan segala jenis bentuknya baik harta usaha, warisan, perdagangan maupun rumah tempat tinggal dan lain-lain adalah cinta yang sudah menjadi kodrat manusia. Semua yang dicintai merupakan kebutuhan yang tidak terpisahkan bagi hidup dan kehidupan manusia yang diusahakannya dengan menempuh segala jalan yang dihalalkan Allah. 6.Cinta perdagangan, merupakan naluri manusia, karena ia merupakan sumber pengembangan harta benda. 7.Cinta tempat tinggal, karena rumah merupakan tempat tinggal dan tempat istirahat sehari-hari. Adapun cinta kepada Allah wajib didahulukan daripada segala macam cinta tersebut di atas karena Dialah yang memberi hidup dan kehidupan, dengan segala macam karunia-Nya kepada manusia dan Dialah yang bersifat sempurna dan Mahasuci dari segala kekurangan. Begitu juga cinta kepada Rasulullah saw, haruslah lebih diutamakan karena Rasulullah saw diutus Allah swt untuk membawa petunjuk dan menjadi rahmat bagi alam semesta. Firman Allah: Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutlah aku niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (Ali-'Imran/3: 31) Dan sabda Rasulullah saw: Tidaklah sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai Aku lebih daripada mencintai orang tuanya, anak-anaknya dan manusia seluruhnya. (Riwayat al-Bukhari, Muslim dari Anas)

Ayat 25

Ayat ini menerangkan bahwa kaum Mukminin mendapat banyak pertolongan dari Allah dalam peperangan menghadapi kaum musyrik yang menghalang-halangi tersiarnya agama Islam. Pertolongan itu berupa kemenangan yang sempurna, cepat maupun lambat, seperti Perang Badar yang mendapat kemenangan yang besar, dan Perang Hunain yang pada mulanya kalah kemudian menang. Pada Perang Hunain itu jumlah tentara kaum Muslimin sangat banyak, sedang tentara orang kafir dalam jumlah yang lebih kecil dari tentara kaum Muslimin. Dengan jumlah tentara yang banyak itu kaum Muslimin merasa bangga, dan merasa tidak akan dapat dikalahkan, tetapi kenyataan tidak demikian. Kaum Muslimin dipukul mundur oleh orang kafir, seolah-olah tentara yang banyak, harta, serta persiapan perang yang demikian lengkapnya tidak berguna sedikit pun, sehingga bumi yang luas ini terasa sempit dan menyebabkan mereka mundur dan lari dalam keadaan bercerai-berai. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-Baihaqi dan lain-lain dari Aktsam bin Aljan bahwa Perang Hunain itu terjadi pada tahun kedelapan Hijri, sesudah pembebasan Mekah, di suatu tempat yang bernama Hunain, suatu lembah terletak antara Mekah dengan Taif. Tentara kaum Muslimin berjumlah 12.000 orang, sedang tentara orang kafir 4.000 orang saja. Pada peperangan ini kaum Muslimin mengalami kekalahan dan terpaksa mundur, tetapi akhirnya turunlah pertolongan Allah dan kaum Muslimin memperoleh kemenangan. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari al-Barra' bin 'Azib r.a. yang menggambarkan suasana Perang Hunain, yaitu: Seorang laki-laki dari Qais bertanya, "Hai Abu 'Imarah, apakah kamu turut meninggalkan Rasulullah pada Perang Hunain?" Abu 'Imarah menjawab, "Rasulullah tidak lari sekalipun orang-orang Hunain dengan para pemanah yang jitu, dapat melancarkan serangannya, tetapi masih dapat kami lumpuhkan. Pada waktu kaum Muslimin sedang memperebutkan harta rampasan, maka musuh menghujani mereka dengan anak panah, sehingga kaum Muslimin menderita kekalahan dan musuh mendapat kemenangan. Pada waktu itu aku lihat Rasulullah saw. berkuda tampil kemuka sambil mengatakan dengan gagah berani, "Akulah Nabi, anak Abdul Muthalib, jangan ragu, Ya Allah turunkanlah pertolongan-Mu."

Ayat 26

Ayat ini menerangkan bahwa sesudah kaum Muslimin merasa sedih dan duka cita akibat kekalahan dalam Perang Hunain, maka Allah menurunkan pertolongan kepada mereka berupa kemantapan hati dan mendatangkan bala bantuan yang tidak dapat mereka lihat. Bala bantuan itu terdiri dari malaikat-malaikat. Perasaan sedih dan duka cita bagi kaum Muslimin berubah menjadi tenang, berani, dan semangat maju ke depan. Akhirnya orang-orang kafir menderita kekalahan, dibunuh, ditawan dan hartanya menjadi rampasan. Kekalahan itu adalah merupakan azab bagi mereka dan itulah balasan atas kekafiran mereka dan balasan atas permusuhan mereka terhadap kaum Muslimin. Firman Allah swt: Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Dia akan menghinakan mereka dan menolongmu (dengan kemenangan) atas mereka. (at-Taubah/9: 14)

Ayat 27

Ayat ini menjelaskan bahwa terhadap orang-orang yang sudah mendapat azab dari Allah di dunia ini, karena kekafiran, mereka dapat diberi ampunan dan diterima tobatnya bilamana mereka telah mendapat petunjuk dari Allah untuk memeluk Islam. Bilamana mereka telah menjadi muslim dan tidak lagi mempersekutukan Allah, maka kesalahannya diampuni oleh Allah dan segala dosanya dihapus, karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat 28

Setelah Rasulullah saw menunjuk Abu Bakar menjadi amirul hajj, Rasulullah memberi tugas kepada Ali bin Abi thalib agar mendampingi Abu Bakar membacakan ayat-ayat permulaan surah at-Taubah di hadapan orang banyak. Timbullah kecemasan di kalangan kaum Muslimin karena khawatir akan menghadapi kesulitan makanan akibat orang-orang musyrik tidak dibolehkan masuk ke Mekah untuk melakukan ibadah haji. Pada akhir ayat ini, Allah menjamin orang-orang mukmin dari kemelaratan. Mereka tidak perlu khawatir akan kekurangan makanan dan barang-barang dagangan akibat larangan Allah terhadap kaum musyrik tersebut yang biasanya datang ke tanah suci membawa barang dagangan. Jaminan Allah kepada orang mukmin untuk mendapat kehidupan yang baik tergantung kepada kegiatan usaha dan ikhtiar seseorang. Namun demikian, tidak terlepas dari kehendak Allah, kepada siapa Allah memberikan karunia-Nya. Oleh karena itu, orang mukmin hendaklah mempertebal keimanan dan tawakalnya kepada Allah di samping melakukan usaha dan ikhtiar. Allah mengetahui urusan yang akan datang, baik mengenai kemakmuran atau kemelaratan yang menimpa penduduk suatu negeri. Allah Mahabijaksana dalam segala hal terutama mengenai ketentuannya, baik berupa perintah maupun larangan. Allah telah memenuhi janji-Nya karena kenyataannya penduduk Mekah tidak mengalami kesulitan kehidupan. Setelah tersiar larangan tersebut, semakin banyak orang musyrik masuk Islam, bukan saja mereka yang berada di sekitar Jazirah Arab, malahan hampir sampai ke segenap penjuru. Mereka tentulah berkewajiban menunaikan ibadah haji di samping mereka bebas mengunjungi tanah suci. Hal ini merupakan salah satu jalan bagi penduduk Mekah untuk memperoleh kemakmuran hidup. Dengan adanya larangan Allah terhadap orang-orang musyrik memasuki Masjidilharam, terjadilah perselisihan pendapat antara ulama fiqih sebagai berikut: 1. Orang musyrik dan Ahli Kitab tidak dibolehkan memasuki Masjidilharam, sedang mesjid lainnya dibolehkan terhadap Ahli Kitab. Demikian menurut mazhab Imam Syafii. 2. Orang-orang musyrik termasuk Ahli Kitab tidak dibolehkan memasuki semua mesjid. Demikian menurut mazhab Maliki. 3. Yang dilarang memasuki Masjidilharam adalah orang musyrik saja, (tidak termasuk Ahli Kitab). Demikian menurut mazhab Hanafi. 4. Sebagian Ulama berpendapat bahwa orang musyrik dilarang memasuki tanah haram dan jika dia datang secara diam-diam (menyamar) kemudian ia mati dan dikuburkan maka setelah diketahui, wajiblah digali kuburnya dan dikuburkan di luar tanah haram.

Ayat 29

Pada hakikatnya, ayat ini merupakan langkah awal agar Nabi Muhammad saw mengalihkan perhatiannya kepada Perang Tabuk yang akan dihadapinya. Perang Tabuk merupakan perang yang terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, sesudah kaum Muslimin dapat menguasai kota Mekah. Tabuk terletak di sebelah utara Medinah, berbatasan dengan Yordania/Syam (Damaskus) yang ketika itu dikuasai oleh kerajaan Romawi yang beragama Nasrani. Ketika berita sampai kepada Nabi Muhammad saw, bahwa pihak Romawi mempersiapkan pasukan dalam jumlah yang besar untuk menguasai daerah perbatasan tersebut, maka Nabi Muhammad saw, mengumumkan kepada seluruh kaum Muslimin melalui kabilah-kabilah agar bersiap-siap mengumpulkan segala kekuatan untuk turut bersama Nabi memerangi pasukan Romawi. Seruan Nabi Muhammad tersebut segera mendapat sambutan dari kaum Muslimin yang kuat imannya, kecuali kaum munafik yang mencari helah sebagaimana telah menjadi kebiasaan mereka terutama dalam menghadapi Tabuk, di samping jaraknya sangat jauh juga panas matahari sangat terik. Setelah Nabi Muhammad saw dan pasukan kaum Muslimin sampai di Tabuk, didapatinya pasukan Romawi telah lebih dahulu mengosongkan daerah Tabuk untuk mundur kembali ke daerah pedalaman. Maka Ahli Kitab yang berada di sana meminta perdamaian dan menyerahkan jizyah kepada Nabi Muhammad saw sebagai tanda pengakuan mereka untuk tunduk kepada kekuasaan Islam, karena mereka belum bersedia menganut agama Islam. Setiap peperangan pada masa Nabi hanya untuk mempertahankan diri atau untuk membalas serangan. Pada ayat ini Allah memerintahkan kaum Muslimin agar memerangi Ahli Kitab, karena mereka memiliki empat unsur yang menyebabkan mereka memusuhi Islam. Empat unsur itu ialah: 1. Mereka tidak beriman kepada Allah, karena mereka telah menghancurkan asas ketauhidan. Mereka menjadikan pendeta-pendeta selaku orang suci yang berhak menentukan sesuatu, baik mengenai peraturan yang berkenaan dengan ibadah maupun yang berhubungan dengan halal dan haram. Demikian juga orang Nasrani menganggap Isa anak Allah, sedangkan orang Yahudi menganggap pula Uzair sebagai anak Allah. Hal itu dengan tegas menunjukkan bahwa mereka semua mempersekutukan Allah dalam membuat peraturan agama. 2. Mereka tidak beriman kepada hari kemudian, karena mereka menganggap bahwa kehidupan di akhirat sekedar kehidupan rohaniyah belaka. Kesesatan anggapan mereka seperti ini karena tidak ada ketegasan, baik dalam Taurat maupun dalam Injil tentang adanya hari kebangkitan dan pembalasan sesudah mati, saat manusia bangkit kembali sebagaimana kejadiannya semula, yaitu terdiri dari jasad dan roh, yang masing-masing akan merasakan kenikmatan karunia Allah sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an. 3. Mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Orang Yahudi tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah pada syariat yang dibawa oleh Musa dan yang sebagiannya dinasakhkan oleh Isa, yakni dinyatakan tidak berlaku lagi hukumnya. Mereka memandang halal memakan harta dengan jalan yang tidak halal (batil), seperti riba dan sebagainya dan mereka mengikuti cara-cara orang musyrik dalam keganasan berperang dan memperlakukan tawanan. Sedangkan orang Nasrani memandang halal apa yang diharamkan oleh Allah pada syariat Musa yang belum dinasakh oleh Injil. Dalam Taurat Allah mengharamkan lemak daging atau harga penjualannya. Orang-orang Nasrani tidak memandangnya haram. 4. Mereka tidak berpegang kepada agama yang benar yaitu agama yang diwahyukan kepada Musa dan Isa a.s. Apa yang mereka anggap agama sebenarnya adalah suatu cara yang dibuat oleh pendeta-pendeta mereka berdasarkan pikiran dan kepentingan. Yang menyebabkan perbuatan tersebut karena Taurat yang diturunkan kepada Musa, dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa, ditulis jauh setelah keduanya wafat. Sehingga Taurat dan Injil ditulis berdasarkan pemahaman pengikut-pengikutnya. Bahkan beberapa abad sesudah kenaikan Isa mereka memilih empat Injil yang masing-masing saling bertentangan. Demikianlah keadaan mereka, sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah: (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sekelompok kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (al-Ma'idah/5: 13) Allah memerintahkan orang mukmin agar memerangi Ahli Kitab karena mereka menunjukkan permusuhan dan mengancam keamanan Muslimin, baik dalam kehidupan beragama maupun kehidupan sosial. Jika mereka menerima Islam sebagai pengganti agamanya, maka mereka telah kembali kepada agama yang benar, dan jika mereka tunduk, tidak lagi mengganggu dan mengancam kehidupan umat Islam maka hendaklah mereka membayar jizyah (kecuali mereka yang miskin dan para pendeta) sebagai tanda bahwa mereka berada dalam posisi yang rendah. Kewajiban Muslimin seluruhnya menjamin keamanan mereka, membela mereka, memberikan kebebasan kepada mereka terutama dalam menjalankan ibadah menurut agama mereka dan memperlakukan mereka dengan adil dalam kehidupan sosial sebagaimana kaum Muslimin sendiri diperlakukan. Dengan membayar jizyah mereka disebut ahli zimmah atau kafir zimmi.

Ayat 30

Ayat ini menjelaskan keyakinan Ahli Kitab yang salah, baik orang Yahudi ataupun orang Nasrani. Mereka berkeyakinan bahwa Allah mempunyai anak, kaum Yahudi menganut kepercayaan bahwa "Uzair itu putera Allah". Kepercayaan ini bertentangan sekali dengan pengertian iman yang sebenarnya kepada Allah, karena iman yang benar ialah Allah itu Esa, tunggal, tidak berbapak dan tidak bersekutu dengan apa dan siapa pun. Dia Mahasempurna, Mahakuasa, dan tidak ada satu pun yang serupa dan sama dengan-Nya. Uzair adalah seorang pendeta bangsa Yahudi, penduduk negeri Babilon, hidup di sekitar tahun 457 sebelum Masehi. Dia seorang pengarang ulung, pendiri suatu perhimpunan besar, dan rajin mengumpulkan naskah-naskah Kitab Suci dari berbagai daerah. Dialah yang memasukkan huruf-huruf Kaldea atau Arami sebagai pengganti huruf-huruf Ibrani kuno. Dia juga yang menulis hal-hal yang terkait dengan peredaran matahari, dan menyusun kembali kitab-kitab bermutu yang telah berantakan. Semasa hidupnya, ia dianggap sebagai masa kesuburan agama Yahudi, karena dialah penyair syariat Taurat yang terkemuka, menghidupkan syariat itu kembali sesudah sekian lama dilupakan orang. Oleh karena itu kaum Yahudi menganggapnya sebagai orang suci yang lebih dekat kepada Allah, bahkan sebagian dari mereka yang fanatik menganggap dan memanggilnya dengan "anak Allah". Meskipun hanya sebagian dari kaum Yahudi yang berkeyakinan demikian tetapi dapat dianggap bahwa keyakinan itu adalah kepercayaan mereka seluruhnya karena ucapan yang salah itu tidak dibantah dan tidak diingkari oleh golongan yang lain. Firman Allah: Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. (al-Anfal/8: 25) Demikian juga halnya kaum Nasrani terhadap Isa Almasih. Mereka beritikad bahwa Isa itu anak Allah. Kepercayaan inipun sangat bertentangan dengan iman kepada Allah swt. Sekalipun pada mulanya kata-kata "Isa itu anak Allah" hanyalah merupakan ucapan nenek moyang mereka yang menganggap Isa adalah orang yang mulia, dikasihi Allah dan terhormat, dan ucapan itu tidak berarti anak Allah yang sebenarnya. Namun demikian, lambat laun terutama ketika kepercayaan agama Hindu menyusup masuk ke dalam kaum Nasrani dan kedua agama itu berdampingan, bahu membahu, tertanamlah di dalam hati mereka kepercayaan bahwa Isa Almasih itu adalah benar-benar anak Allah. Kemudian setelah berlalu beberapa waktu lamanya, timbullah perubahan dalam kepercayaan mereka, bahwa anak Allah dan Allah juga Rohulkudus (Roh Suci), yang kemudian dikenal dengan "Bapak, anak dan ruh suci", hakekatnya menyatu pada diri Allah. Menurut keyakinan mereka, tiga unsur tersebut yaitu: Anak Allah, Allah dan Roh Suci pada hakikatnya hanya satu. Ajaran ini sudah menjadi ketetapan dalam agama Nasrani, tiga abad sepeninggal Isa Almasih. Meskipun kepercayaan ini ditentang oleh sebagian dari mereka yang tidak sedikit jumlahnya, tetapi gereja-gereja Katolik, Ortodok, dan Protestan tetap pada pendiriannya. Bahkan orang-orang yang tidak membenarkan kepercayaan itu, dianggap tidak lagi termasuk kaum Nasrani dan telah murtad dari agamanya. Mengatakan Isa Almasih anak Allah dan meyakini bahwa tiga oknum suci itu adalah hakikat Tuhan Yang Maha Esa, tidak dibenarkan oleh Allah swt dan tidak dapat diterima oleh akal yang sehat dan belum ada satu juga agama nabi-nabi sebelum itu menganut kepercayaan demikian, Allah swt menandaskan bahwa ucapan mereka seperti itu, tidak mempunyai hakikat kebenaran sedikit juga dan tidak ada satu dalil dan bukti yang nyata dapat menguatkannya. Sejalan dengan ini Allah swt berfirman: Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka hanya mengatakan (sesuatu) kebohongan belaka. (al-Kahf/18: 5) Di dalam kitab-kitab Perjanjian Baru sendiri tidak terdapat keterangan yang menyatakan bahwa Isa Almasih itu anak Allah. Sesungguhnya mereka sudah sesat jauh dari ajaran yang sebenarnya. Mereka meniru-niru ucapan orang-orang kafir sebelumnya, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang mengatakan bahwa malaikat-malaikat itu adalah puteri-puteri Allah. Sejarah mencatat bahwa kepercayan "Tuhan beranak, Tuhan menjelma dalam tiga unsur berhakikat satu" adalah kepercayaan kaum Brahma dan Budha di India, kepercayaan bangsa-bangsa Jepang, Persia, Mesir, Yunani, dan Romawi zaman dahulu. Keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani mempercayai bahwa Allah swt itu beranak, belum pernah ada seorang pun dari bangsa Arab yang mengetahuinya, begitu pula orang-orang yang berada di sekitarnya. Dan baru dengan turunnya Al-Qur'an, diketahui kerancuan pemahaman mereka terhadap hakikat Nabi Isa, Tuhan, dan Roh Kudus. Kalaulah tidak ayat yang mengoreksi kesalahan pemahaman ini, tentu kesalahan itu belum disadari sampai saat ini. Ini adalah salah satu mukjizat Al-Qur'an. Allah swt mengutuk mereka karena mereka belum mau menginsafi dan menyadari kekeliruan dan kesesatannya. Meskipun Rasul-rasul Allah telah menjelaskan bahwa Allah itu Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan, namun mereka tidak mau kembali ke akidah tauhid, bahkan tetap bertahan pada itikadnya yang keliru, yaitu menganggap bahwa Uzair dan Isa Almasih adalah anak Allah. Padahal keduanya adalah manusia biasa dan hamba-Nya, seperti juga manusia-manusia lain, sekalipun diakui bahwa keduanya adalah manusia yang saleh, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mulia dan dihormati, sebagaimana firman Allah: Dan mereka berkata, "Tuhan Yang Maha Pengasih telah menjadikan (malaikat) sebagai anak." Mahasuci Dia. Sebenarnya mereka (para malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan. (al-Anbiya'/21: 26)

Ayat 31

Pada ayat ini dijelaskan bentuk kesesatan Ahli Kitab, kaum Yahudi, dan kaum Nasrani, masing-masing mengambil dan mengangkat Tuhan selain Allah swt. Orang Yahudi menjadikan pendeta agama mereka sebagai Tuhan yang mempunyai hak menetapkan hukum menghalalkan dan mengharam-kan. Sedang orang-orang Nasrani menjadikan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan yang harus ditaati dan disembah. Dalam Islam, kedudukan pemuka agama, tidak lebih sebagai seorang ahli yang mempunyai pengetahuan mendalam tentang seluk beluk syariat. Segala pendapat dan fatwa yang dikemukakan, hanyalah sebagai penjelasan dari hukum-hukum Allah yang harus disertai dan didasarkan atas dalil-dalil yang nyata dari firman Allah swt, atau sunnah Rasul. Mereka tidak berhak sedikit pun membuat syariat, karena syariat adalah hak Allah semata. Menurut penganut agama Nasrani, di samping Isa Almasih dianggap sebagai Tuhan yang disembah, ada juga yang menyembah ibunya, yaitu Maryam, padahal Isa adalah seorang rasul seperti rasul-rasul sebelumnya dan Maryam ibunya, hanya seorang perempuan yang salehah dan tekun beribadah sehingga mendapat gelar Maryam Al-Butul, dan keduanya makan dan minum sebagaimana halnya manusia-manusia yang lain. Firman Allah swt: Almasih putra Maryam hanyalah seorang Rasul. Sebelumnya pun sudah berlalu beberapa rasul. Dan ibunya seorang yang berpegang teguh pada kebenaran. Keduanya biasa memakan makanan. (al-Ma'idah/5: 75) Pemeluk Kristen, Katolik dan orang-orang Ortodok menyembah murid-murid Isa dan pesuruh-pesuruhnya, begitu juga kepala-kepala dan pemuka-pemuka agamanya, yang dianggap suci, dan dijadikannya perantara yang akan menyampaikan ibadah mereka kepada Allah. Mereka juga menganggap pendeta-pendeta mereka mempunyai hak mengampuni ataupun tidak mengampuni sesuai dengan keinginannya, padahal tidak ada yang berhak mengampuni dosa kecuali Allah swt, sebagaimana firman-Nya: Dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? (Ali-Imran/3: 135) Adapun kaum Yahudi, mereka menambahkan hukum lain kepada syariat agamanya. Mereka tidak mencukupkan dan membatasi diri pada hukum yang terdapat dalam Taurat sebagai pedoman hidupnya, tetapi menambah dan memasukkan hukum-hukum lain yang didengarnya dari kepala-kepala agama mereka sebelum hukum-hukum itu dibukukan menjadi peraturan yang harus dituruti dan ditaati oleh pemeluk Yahudi. Demikianlah kesesatan-kesesatan yang telah diperbuat Ahli Kitab, padahal mereka itu tidak diperintahkan, kecuali menyembah Tuhan Yang Satu, Tuhan Seru sekalian alam, yaitu Allah swt, karena tidak ada Tuhan Yang berhak disembah kecuali Dia. Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya baik mengenai zat-Nya, sifat-sifat-Nya maupun afal-Nya. Mahasuci Allah swt dari apa yang mereka persekutukan. Apabila mereka percaya bahwa pemimpin-pemimpin mereka itu berhak menentukan suatu hukum, berarti mereka mempunyai kepercayaan bahwa ada Tuhan yang disembah selain Allah swt yang dapat menimpakan penyakit dan menyembuhkan, menghidupkan dan mematikan tanpa izin Allah. Semua itu timbul dari kehendak hawa nafsu dan akal pikirannya, tidak bersumber dari wahyu Ilahi.

Ayat 32

Ayat ini menjelaskan keinginan jahat Ahli Kitab. Mereka ingin melenyapkan agama tauhid, yaitu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, agama yang penuh dengan bukti-bukti yang menunjukkan keesaan Allah swt, agama yang mensucikan-Nya dari hal-hal yang tidak wajar bagi-Nya. Umat Islam yakin bahwa ajaran Islam tinggi, seperti sabda Nabi saw: Islam itu tinggi dan tidak ada (agama) yang melebihi ketinggiannya. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim) Segala macam usaha dan ikhtiar dilakukan oleh mereka, baik dengan jalan halus maupun dengan jalan kasar, berupa kekerasan, penganiayaan, peperangan dan lain sebagainya, untuk menghancurkan agama Allah, yang diumpamakan nur atau cahaya yang menyinari alam semesta ini. Tetapi Allah tidak merestui maksud jahat itu. Semua usaha mereka tidak berhasil, sedang agama Islam hari demi hari semakin meluas sampai ke pelosok-pelosok, sehingga dunia mengakui kemurniannya, sekalipun belum semua umat manusia memeluknya. Meskipun bukti-bukti telah cukup dan kenyataan-kenyataan telah jelas menunjukkan kebenaran agama Islam, namun mereka tetap memungkirinya. Mereka bekerja keras dengan segala macam usaha dan cara, agar kaum Muslimin rela meninggalkan agamanya atau memeluk agama mereka. Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. (al-Baqarah/2: 120) Dan firman-Nya: Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat. (Ali 'Imran/3: 118)

Ayat 33

Ayat ini menerangkan bahwa sebagai jaminan atas kesempurnaan agama, maka diutuslah seorang rasul yaitu Nabi Muhammad saw dan dibekali sebuah kitab suci yaitu Al-Qur'an yang berisi petunjuk yang menjelaskan segala sesuatunya dan mencakup isi kitab-kitab sebelumnya. Agama Islam telah diridai Allah untuk menjadi agama yang dianut oleh segenap umat manusia. Firman Allah swt: Dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. (al-Ma'idah/5: 3) Agama Islam sesuai dengan segala keadaan dan tempat serta berlaku sepanjang masa sejak disyariatkan sampai akhir zaman. Oleh karena itu, tidak heran kalau agama Islam mendapat sambutan dari segenap umat manusia dan jumlahnya bertambah dengan pesat, sehingga dalam waktu yang singkat sudah tersebar ke segala penjuru dunia, menempati tempat yang mulia dan tinggi. Meskipun orang musyrik tidak senang atas kenyataan itu, bahkan tetap menghalang-halangi dan kalau dapat menghancurkannya, tetapi kodrat iradat Allah juga yang akan berlaku, tak ada suatu kekuatan apa pun yang dapat menghambat dan menghalanginya. Firman Allah: (Demikianlah) hukum Allah, yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan pada hukum Allah itu. (al-Fath/48: 23)

Ayat 34

Pada ayat ini diterangkan bahwa kebanyakan pemimpin dan pendeta orang Yahudi dan Nasrani telah dipengaruhi oleh cinta harta dan pangkat. Oleh karena itu mereka tidak segan-segan menguasai harta orang lain dengan jalan yang tidak benar dan dengan terang-terangan menghalang-halangi manusia beriman kepada agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Sebab kalau mereka membiarkan pengikut mereka membenarkan dan menerima dakwah Islam tentulah mereka tidak dapat bersikap sewenang-wenang terhadap mereka dan akan hilanglah pengaruh dan kedudukan yang mereka nikmati. Pemimpin-pemimpin dan pendeta-pendeta Yahudi dan Nasrani itu telah melakukan berbagai cara untuk mengambil harta orang lain, diantaranya: 1. Membangun makam nabi-nabi dan pendeta-pendeta dan mendirikan gereja-gereja yang dinamai dengan namanya. Dengan demikian, mereka dapat hadiah nazar dan wakaf yang dihadiahkan kepada makam dan gereja itu. Kadang-kadang mereka meletakkan gambar-gambar orang suci mereka atau patung-patungnya, lalu gambar, patung itu disembah. Agar permintaan mereka dikabulkan, mereka juga memberikan hadiah uang dan sebagainya. Dengan demikian, terkumpullah uang yang banyak dan uang itu dikuasai sepenuhnya oleh pendeta. Ini adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan agama yang dibawa oleh para rasul karena membawa kepada kemusyrikan dan mengambil harta orang dengan memakai nama nabi dan orang-orang suci. 2. Pendeta Nasrani menerima uang dari jamaahnya sebagai imbalan atas pengampunan dosa yang diperbuatnya. Seseorang yang berdosa dapat diampuni dosanya bila ia datang ke gereja menemui pendeta dan mengakui di hadapannya semua dosa dan maksiat yang dilakukannya. Mereka percaya dengan penuh keyakinan bahwa bila pendeta telah mengampuni dosanya, berarti Tuhan telah mengampuninya karena pendeta adalah wakil Tuhan di bumi. Kepada mereka yang telah memberikan uang tebusan dosa, diberikan kartu pengampunan, seakan-akan kartu itu nanti yang akan diperlihatkan kepada Tuhan di akhirat di hari pembalasan yang menunjukkan bahwa mereka sudah bersih dari segala dosa. 3. Imbalan memberikan fatwa baik menghalalkan yang haram maupun mengharamkan yang halal sesuai dengan keinginan raja, penguasa dan orang-orang kaya. Bila pembesar dan orang kaya itu ingin melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan kebenaran seperti membalas dendam dan bertindak kejam terhadap golongan yang mereka anggap sebagai penghalang bagi terlaksananya keinginan mereka atau mereka anggap sebagai musuh, mereka minta kepada pendeta agar dikeluarkan fatwa yang membolehkan mereka bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang itu, meskipun fatwa itu bertentangan dengan ajaran agama mereka seakan-akan ajaran agama itu dianggap sepi dan seakan-akan kitab Taurat itu hanya lembaran kertas yang boleh diubah-ubah semau mereka. Hal ini sangat dicela oleh Allah dalam firman-Nya: Katakanlah (Muhammad), "Siapakah yang menurunkan Kitab (Taurat) yang dibawa Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan Kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu memperlihatkan (sebagiannya) dan banyak yang kamu sembunyikan, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang tidak diketahui, baik olehmu maupun oleh nenek moyangmu." (al-An'am/6: 91) 4. Mengambil harta orang lain yang bukan sebangsa atau seagama dengan melaksanakan kecurangan, pengkhianatan, pencurian, dan sebagainya dengan alasan bahwa Allah mengharamkan penipuan dan pengkhianatan hanya terhadap orang-orang Yahudi saja. Adapun terhadap orang-orang yang tidak sebangsa dan seagama dengan mereka dibolehkan. Hal ini dijelaskan Allah dengan firman-Nya: Dan di antara Ahli Kitab ada yang jika engkau percayakan kepadanya harta yang banyak, niscaya dia mengembalikannya kepadamu. Tetapi ada (pula) di antara mereka yang jika engkau percayakan kepadanya satu dinar, dia tidak mengembalikannya kepadamu, kecuali jika engkau selalu menagihnya. Yang demikian itu disebabkan mereka berkata, "Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang buta huruf." Mereka mengatakan hal yang dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (Ali 'Imran/3: 75) 5. Mengambil rente (riba). Orang-orang Yahudi sangat terkenal dalam hal ini, karena di antara pendeta-pendeta mereka ada yang menghalalkannya meskipun dalam kitab mereka riba itu diharamkan. Ada pula di antara pendeta-pendeta itu yang memfatwakan bahwa mengambil riba dari orang-orang Yahudi adalah halal. Demikian pula pendeta-pendeta Nasrani ada yang menghalalkan sebagian riba meskipun mengharamkan sebagian yang lain. Demikian cara-cara yang mereka praktekkan dalam mengambil dan menguasai harta orang lain untuk kepentingan diri mereka sendiri dan untuk memuaskan nafsu dan keinginan mereka. Adapun cara-cara mereka menghalangi manusia dari jalan Allah, ialah dengan merusak akidah dan merusak ajaran agama yang murni. Orang-orang Yahudi pernah menyembah patung anak sapi, pernah mengatakan Uzair adalah anak Allah, dan sering sekali mereka memutarbalikkan ayat-ayat Allah dan mengubahnya, sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu mereka sebagaimana telah dijelaskan pada ayat-ayat yang lalu seperti dalam surah al-Baqarah, Ali 'Imran, an-Nisa' dan al-Ma'idah. Mereka secara terang-terangan mengingkari Nabi Musa a.s sebagai nabi, padahal dialah pembawa akidah yang murni yang kemudian dirusak oleh pendeta-pendeta Yahudi. Demikian pula orang-orang Nasrani telah menyelewengkan akidah yang dibawa oleh Nabi Isa a.s, sehingga mereka menganggapnya sebagai Tuhan. Oleh karena itu mereka baik kaum Yahudi maupun Nasrani selalu menentang ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, bahkan menghinanya dengan berbagai cara serta menentang dan mendustakan Al-Qur'anul Karim. Mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk memadamkan cahaya Allah tetapi Allah sudah menetapkan bahwa Dia akan menyempurnakan cahaya itu. Segala usaha dan daya upaya mereka menemui kegagalan tetapi pastilah hanya kehendak Allah-lah yang berlaku dan terlaksana. Allah berfirman: Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyem-purnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai. (At-Taubah/9: 32) Demikianlah perilaku kebanyakan dari pendeta Yahudi dan Nasrani. Mereka karena sifat serakah dan tamak akan harta benda, mengumpulkan sebanyak-banyaknya dan mempergunakan sebagian dari harta itu untuk menghalangi manusia mengikuti jalan Allah. Oleh sebab itu, Allah akan melemparkan mereka kelak di akhirat ke dalam neraka dan akan menyiksa mereka dengan azab yang sangat pedih. Mengenai pengumpulan harta ini dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, walaupun ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi para mufassirin berpendapat bahwa ayat ini mencakup juga kaum Muslimin. Maka siapa saja yang karena tamak dan serakahnya berusaha mengumpulkan harta kemudian menyimpannya dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka ia diancam Allah akan dimasukkan ke dalam neraka baik dia beragama Yahudi, Nasrani, maupun beragama Islam. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud, dan al-hakim dari Ibnu 'Abbas bahwa setelah turun ayat ini, kaum Muslimin merasa keberatan dan berkata, "Kami tidak sampai hati bila kami tidak meninggalkan untuk anak-anak kami barang sedikit dari harta kami." Umar berkata, "Saya akan melapangkan hartamu," lalu beliau pergi bersama sauban kepada Nabi dan mengatakan kepadanya, "Hai Nabi Allah, ayat ini amat terasa berat bagi sahabat engkau." Rasulullah menjawab, "Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan zakat, melainkan agar harta yang tinggal di tanganmu menjadi bersih. Allah hanya menetapkan hukum warisan terhadap harta yang masih ada sesudah matimu." Umar mengucapkan takbir atas penjelasan Rasulullah itu, kemudian Nabi berkata kepada Umar, "Aku akan memberitahukan kepadamu sesuatu yang paling baik untuk dipelihara, yaitu perempuan saleh yang apabila seorang suami memandangnya dia merasa senang, dan apabila disuruh dia mematuhinya dan apabila dia berada di tempat lain perempuan itu menjaga kehormatannya."

Ayat 35

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang mengumpulkan harta dan menyimpannya tanpa sebagian diinfakkan di jalan Allah (dibayarkan zakat), mereka akan dimasukkan ke dalam neraka. Semua harta itu akan dipanaskan dengan api lalu disetrikakan pada dahi pemiliknya begitu pula lambung dan punggungnya, lalu diucapkan kepadanya, "Inilah harta bendamu yang kamu simpan dahulu." Sehubungan dengan ini ada hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: Tidak ada seseorang yang tidak menunaikan zakat hartanya melainkan hartanya itu pada hari Kiamat akan dijadikan kepingan-kepingan api lalu disetrikakan pada lambung, dahi, dan punggungnya. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah) Demikianlah nasib orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengumpulkan harta dan menumpuknya serta mempergunakan sebagian harta itu untuk menghalangi dari jalan Allah. Demikian pula nasib seorang muslim yang tidak menunaikan zakat hartanya. Harta itu sendirilah yang akan dijadikan alat penyiksanya. Bagaimana caranya apakah harta yang mereka peroleh di dunia itu dijadikan kepingan-kepingan api atau sebagai gambaran saja. Allah Yang Maha Mengetahui, karena hal itu termasuk urusan gaib yang tidak diketahui kecuali oleh Allah saja.

Ayat 36

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah menetapkan jumlah bulan itu dua belas, semenjak Dia menciptakan langit dan bumi. Yang dimaksud dengan bulan di sini ialah bulan Qamariah karena dengan perhitungan Qamariah itulah Allah menetapkan waktu untuk mengerjakan ibadah yang fardzu dan ibadah yang sunat dan beberapa ketentuan lain. Maka menunaikan ibadah haji, puasa, ketetapan mengenai 'iddah wanita yang diceraikan dan masa menyusui ditentukan dengan bulan Qamariah. Di antara bulan-bulan yang dua belas itu ada empat bulan yang ditetapkan sebagai bulan haram yaitu bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab. Keempat bulan itu harus dihormati dan pada waktu itu tidak boleh melakukan peperangan. Ketetapan ini berlaku pula dalam syariat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sampai kepada syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Salah satu hikmah diberlakukannya bulan-bulan haram ini, terutama bulan Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam adalah agar pelaksanaan haji di Mekah bisa berlangsung dengan damai. Rentang waktu antara Zulkaidah dan Muharam sudah cukup untuk mengamankan pelaksanaan ibadah haji. Kalau ada yang melanggar ketentuan ini, maka pelanggaran itu bukanlah karena ketetapan itu sudah berubah, tetapi semata-mata karena menuruti kemauan hawa nafsu sebagaimana yang telah dilakukan oleh kaum musyrikin. Biasanya orang-orang Arab amat patuh kepada ketetapan ini sehingga apabila seseorang terbunuh, baik saudara atau bapaknya bertemu dengan pembunuhnya pada salah satu bulan haram ini, maka dia tidak berani menuntut balas, karena menghormati bulan haram itu. Padahal orang Arab sangat terkenal semangatnya untuk menuntut bela dan membalas dendam. Itulah ketetapan yang harus dipenuhi, karena pelanggaran terhadap ketentuan ini sama saja dengan menganiaya diri sendiri, sebab Allah telah memuliakan dan menjadikannya bulan-bulan yang harus dihormati. Kecuali kalau kita dikhianati atau diserang pada bulan haram itu, maka dalam hal ini wajib mempertahankan diri dan membalas kejahatan dengan kejahatan pula. Firman Allah: Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar. Tetapi menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) Masjidilharam, dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) dalam pandangan Allah. Sedangkan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup. Barang siapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (al-Baqarah/2: 217) Ayat ini memerintahkan kepada kaum Muslimin agar memerangi kaum musyrikin karena mereka merusak perjanjian yang sudah disepakati dan memerangi kaum Muslimin. Mereka memerangi kaum Muslimin bukan karena balas dendam, fanatik kesukuan, atau merampas harta benda sebagaimana biasa mereka lakukan pada masa yang lalu terhadap kabilah lain, tetapi maksud utama adalah menghancurkan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan memadamkan cahayanya. Maka wajiblah bagi setiap muslim bangun serentak memerangi mereka sampai agama Islam itu tegak dan mereka hancur binasa. Hendaklah ditanamkan ke dalam dada setiap muslim semangat jihad serta tekad dan keyakinan bahwa mereka pasti menang karena Allah selamanya menolong orang-orang yang bertakwa kepada-Nya.

Ayat 37

Ayat ini menerangkan bahwa pengunduran keharaman (kesucian) bulan kepada bulan berikutnya seperti pengunduran bulan Muharam ke bulan Safar dengan maksud agar pada bulan Muharam itu diperbolehkan berperang, adalah suatu kekafiran karena mengganggap dirinya sama dengan Tuhan dalam menetapkan hukum. Telah jelas dan diakui semenjak Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail bahwa pada bulan-bulan haram itu tidak dibolehkan berperang. Tetapi karena orang-orang musyrikin itu tidak dapat menguasai dirinya untuk tidak berperang selama tiga bulan berturut-turut yaitu pada bulan Zulkaidah, Zulhijah dan Muharam, maka kesucian pada bulan itu digeser ke bulan lain sehinggga mereka mendapat kesempatan untuk berperang pada bulan Muharam. Hal ini biasa mereka lakukan ketika mereka berada di Mina. Ketika para jamaah berkumpul di sana berdirilah seorang pemimpin dari Bani Kinanah dan berkata, "Sayalah orang yang tak dapat ditolak keputusannya." Para jamaah menjawab, "Benarlah apa yang engkau katakan itu dan tangguhkanlah untuk kami bulan Muharam ke bulan Safar." Lalu pemimpin itu menghalalkan bagi mereka bulan Muharam dan mengharamkan bulan Safar, dan menamakan bulan Muharam itu dengan nama lain yaitu Nasiah. Demikianlah watak orang musyrik, karena didorong oleh keinginan dan hawa nafsu, mereka berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan telah berani pula mengharamkan apa yang dihalalkan, karena mereka telah dipengaruhi nafsu setan, dan tentu saja orang yang berwatak itu tidak akan mendapat petunjuk dari Allah.

Ayat 38

Pada tahun ke-9 Hijri, Nabi Muhammad saw memerintahkan kaum Muslimin agar bersiap-siap menghadapi serangan orang-orang Nasrani di Tabuk, suatu tempat yang terletak antara Medinah dengan Damaskus, lebih kurang 610 km dari Medinah dan 692 km dari Damaskus. Pada saat sekarang berada di wilayah Kerajaan Saudi Arabia, daerah perbatasan dengan Yordania. Perintah persiapan ini didasarkan atas berita yang sampai kepada kaum Muslimin dari kaum Nibthi yang membawa dagangan minyak negeri Syam, bahwa bangsa Romawi bersama kaum Nasrani Arab yang terdiri dari kaum Lakhm, Judzam dan lain-lain yang jumlahnya kira-kira 40 ribu orang, lengkap dengan persenjataan dan perbekalan serta dipimpin seorang panglima besar bernama Qubaz telah siap untuk menyerbu kota Medinah, memerangi kaum Muslimin. Barisan perintis mereka sudah sampai di perbatasan yang bernama Baqlas. Merupakan kebiasaan Nabi Muhammad saw apabila akan menghadapi perang, demi kemaslahatan ia merahasiakan hal-hal yang berhubungan dengan peperangan. Tetapi kali ini Nabi Muhammad saw secara terbuka memberi tahu kaum Muslimin tentang keadaan yang serba sulit dan susah, serta kekurangan, jauhnya jarak yang ditempuh, dan jumlah bala tentara dan kekuatan musuh yang akan dihadapi, agar mereka benar-benar mengadakan persiapan yang mantap. Kaum Muslimin yang imannya teguh, kuat membaja, tanpa memikir keadaan yang serba sulit serta menyedihkan, bersiap-siap menunggu komando pemberangkatan. Para dermawan tidak segan-segan menyumbang-kan kekayaannya untuk kepentingan jihad fisabilillah. Utsman bin Affan menyumbang 10.000 dinar, 300 unta, lengkap dengan persenjataannya dan 50 kuda. Abu Bakar as-Siddiq menyumbangkan semua kekayaannya yaitu 4.000 dirham. Nabi Muhammad saw bertanya, "Apakah masih ada sesuatu yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?" Beliau menjawab, "Yang saya tinggalkan untuk keluargaku ialah Allah dan Rasul-Nya." Umar bin Khathab menyumbang seperdua dari harta kekayaannya. Ashim bin 'Adi menyumbangkan 70 wasaq kurma (satu wasaq = 60 gantang, 150 liter). Kaum ibu juga tidak mau ketinggalan: perhiasan emas mereka berupa gelang, anting-anting, kalung, dan lain sebagainya, disumbangkan dengan penuh keikhlasan demi suksesnya perjuangan kaum Muslimin. Setelah segala sesuatunya dianggap siap, berangkatlah Nabi Muhammad saw memimpin sebuah ekspedisi bersama 30.000 orang menuju Tabuk. Muhammad bin Maslamah ditunjuk oleh Rasulullah saw untuk mengurus kota Medinah dan beliau mempercayakan kepada Ali bin Abi thalib mengurus rumah tangganya. Di samping itu ada beberapa tentara Muslimin yang bermalas-malasan dan enggan ikut serta pergi ke Tabuk dengan dalih antara lain, bahwa belum lama mereka kembali dari Perang hunain dan thaif. Juga pada waktu itu musim panas sedang sangat teriknya, musim paceklik, sukar memperoleh kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan lain sebagainya. Karena sulitnya mendapat makanan sebiji kurma dibagikan untuk makanan dua orang, sedang pada waktu itu buah-buahan di Medinah seperti kurma sudah mulai masak, dan tak lama lagi bisa dipetik. Ayat ini mencela dan mengutuk perbuatan orang-orang yang enggan berperang meskipun situasi memang sangat sulit. Dari kejadian ini dapat diketahui dengan jelas, siapa di antara kaum Muslimin yang benar-benar beriman, dan siapa di antara mereka yang munafik, yang hanya pura-pura beriman. Salah satu tanda bahwa iman seseorang itu benar ialah dia rela mengorbankan harta dan kalau perlu jiwanya untuk jihad di jalan Allah, sebagaimana firman Allah swt: Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (al-hujurat/49: 15) Sedangkan orang-orang munafik yang hanya pura-pura beriman, lebih mengutamakan kesenangan hidup di dunia daripada kebahagiaan di akhirat kelak yang sifatnya kekal abadi. Padahal kesenangan di dunia bagaimanapun hebatnya tidaklah mempunyai arti apa-apa jika dibandingkan dengan kebahagiaan di akhirat. Sabda Rasulullah saw: Demi Allah tiadalah dunia ini (jika dibandingkan) dengan akhirat kecuali (hanya) seperti salah seorang kamu yang mencelupkan jarinya ke dalam laut, kemudian diangkatnya. Maka lihatlah apa yang hanya terbawa oleh jarinya. (Riwayat Muslim, Ahmad dan at-Tirmidzi dari al-Miswar)

Ayat 39

Ayat ini mengancam orang-orang yang tidak patuh memenuhi anjuran dan perintah Nabi Muhammad saw untuk pergi berperang menghadapi ancaman musuh. Pembangkangan mereka terhadap perintah Nabi Muhammad saw agar pergi berperang untuk menegakkan agama, tidaklah akan memberi mudarat kepada Allah swt sedikit pun, dan tidak pula memberikan manfaat, sebagaimana firman Allah yang disabdakan Rasulullah saw: "Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kamu tidak akan bisa menyampaikan mudarat kepada-Ku hingga kamu dapat menyusahkan Aku, begitu juga kamu tidak akan dapat memberikan manfaat kepada-Ku hingga kamu dapat memberikan pertolongan kepada-Ku." (Riwayat Muslim dari Abi dzar al-Gifari)

Ayat 40

Ayat ini tidak membenarkan sangkaan orang-orang musyrik, bahwa perjuangan Nabi Muhammad saw tidak akan berhasil, apabila mereka tidak ikut membantunya. Nabi akan tetap menang karena Allah akan membantunya. Hal ini telah dibuktikan ketika rumah Nabi Muhammad dikepung rapat-rapat oleh orang-orang Quraisy yang akan membunuhnya. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mencegah dan menghentikan dakwah Islami yang mereka khawatirkan, akan makin meluas pengaruhnya. Atas pertolongan dan bantuan Allah swt Nabi Muhammad saw dapat lolos dari kepungan mereka yang ketat, sehingga dengan perasaan aman beliau keluar dari rumahnya menuju gua di gunung sur, tempat persembunyiannya untuk sementara, ditemani oleh sahabat setianya Abu Bakar. Melihat situasi gawat itu Abu Bakar merasa cemas dan berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah andaikata ada salah seorang di antara mereka mengangkat kakinya, pasti dia dapat melihat kita berada di bawah kakinya." Nabi Muhammad saw menjawab, "Wahai Abu Bakar, janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." Nabi Muhammad saw bersama Abu Bakar selama berada di dalam gua sur, senantiasa berada di bawah pertolongan dan lindungan Allah. Allah memberi ketenangan hati kepada Nabi saw dan Abu Bakar, serta memberikan bantuan tentara yang tidak dilihatnya, sehingga selamatlah keduanya di dalam gua sur, dan niat jahat orang-orang itu gagal. Firman Allah swt: Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu (Muhammad) untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya. (al-Anfal/8: 30) Dan firman-Nya: Sesungguhnya Kami akan menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia. (Gafir/40: 51) Allah swt selalu menempatkan orang-orang kafir itu di tingkat yang rendah, selalu kalah. Dan kalimah Allah yaitu agama yang didasarkan atas tauhid, jauh dari syirik, selalu ditempatkan di tempat yang tinggi, mengatasi yang lain. Allah swt Mahakuasa dan Mahaperkasa, tidak ada yang dapat mengalahkannya, Mahabijaksana, menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dialah yang selalu menolong memenangkan Rasulullah saw dengan kekuasaan-Nya, memenangkan agama-Nya dari agama-agama yang lain, dengan kebijaksanaan-Nya, sebagaimana firman Allah swt: Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur'an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (at-Taubah/9: 33)

Ayat 41

Pada ayat ini diterangkan bahwa apabila keselamatan kaum Muslimin terancam, berperang bukan lagi anjuran, tetapi wajib, sehingga tidak seorang Muslim pun yang dibenarkan untuk tidak ikut dalam ekspedisi itu. Setiap orang yang sehat, dewasa, kaya, dan miskin wajib tampil ke medan juang untuk membela Islam dan menegakkan kebenaran. Orang-orang yang uzur yang dibenarkan syarat tidak diwajibkan, seperti terlalu tua, lemah fisik, cacat, tak berdaya, sakit keras dan lain-lain, karena mereka akan menjadi beban apabila diikutsertakan. Firman Allah swt: Tidak ada dosa (karena tidak pergi berperang) atas orang yang lemah, orang yang sakit dan orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. (at-Taubah/9: 91) Mereka diperintahkan berjihad berjaga-jaga dari serangan musuh, mempertahankan tanah air, mendermakan harta dan dirinya untuk menegakkan keadilan, dan meninggikan kalimah Allah, tampil ke medan perang maupun berjihad dengan harta, dengan maksud menjunjung tinggi derajat umat dan agama, jika dilakukan dengan ikhlas akan memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat kelak.

Ayat 42

Ayat ini menjelaskan latar belakang tidak ikutnya orang-orang munafik ke medan perang sekalipun sudah diumumkan perintah wajib perang. Di antara alasan dari keengganan mereka, karena pergi berperang akan menempuh jarak yang jauh, pada musim panas, dalam keadaan serba kekurangan, dan belum tentu menang serta memperoleh rampasan perang (ganimah). Mereka bersikap pesimis, karena yang dihadapi adalah tentara Romawi yang terlatih, kuat, dan banyak jumlahnya. Jika mereka diperintahkan ke tempat yang dekat yang tidak mengharus-kan mereka bersusah payah dalam perjalanan, pasti mendapatkan kemenang-an, dan memperoleh keuntungan dengan mudah, tentunya mereka mau dan tidak akan enggan berperang. Untuk menyembunyikan kemunafikannya, mereka tidak segan bersumpah dengan nama Allah bahwa jika mereka sanggup dan ada kemampuan, tentunya mereka ikut berangkat bersama. Sumpah ini mereka ucapkan sebagai alasan ketika kaum Muslimin sudah kembali dari perang Tabuk dengan selamat dan berada sudah di tengah-tengah mereka, sebagaimana firman Allah: Mereka (orang-orang munafik yang tidak ikut berperang) akan mengemukakan alasannya kepadamu ketika kamu telah kembali kepada mereka. (at-Taubah/9: 94) Mereka menduga bahwa sumpah palsu yang mereka ucapkan itu menguntungkan mereka dan dapat menutupi kemunafikannya, padahal sebenarnya tindakan itu hanya mencelakakan mereka. Di samping itu, sumpah palsu termasuk salah satu dosa besar, sebagaimana sabda Rasulullah saw: Dosa besar itu ialah, menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua ibu bapak, membunuh diri seseorang, dan bersumpah palsu. (Riwayat al-Bukhari dari 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash) Allah swt mengetahui kebohongan dan kepalsuan sumpah mereka dan Allah akan membalas semuanya itu.

Ayat 43

Menurut riwayat Mujahid, ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik yang minta izin kepada Rasulullah dengan berbagai alasan untuk tidak pergi berperang. Padahal diizinkan atau tidak, mereka tetap saja akan tinggal di Medinah, dan tidak akan ikut ke medan perang. Allah telah memaafkan Nabi Muhammad saw karena telah memberikan izin kepada beberapa orang munafik tidak turut bersama ke medan perang, setelah mereka mengemukakan alasan yang dibuat-buat, sebelum ada wahyu dari Allah swt yang memberikan persetujuan atas permintaan mereka itu. Andaikan Nabi Muhammad saw tidak memenuhi permintaan mereka dan tidak mengizinkan mereka, tentulah rahasia mereka terbuka, sebab diizinkan atau tidak, mereka tidak akan pergi bersama ke medan perang.

Ayat 44

Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tentu tidak akan mencari-cari alasan untuk tidak ikut berperang membela agama dan menegakkan kebenaran. Mereka juga tidak akan meminta izin kepada Rasulullah saw untuk tidak berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, bahkan sebaliknya mereka selalu siap sedia mengorbankan hartanya, sesuai dengan kemampuannya, bahkan jiwanya pun siap dikorbankan. Allah swt mengetahui orang-orang yang bertakwa kepada-Nya yaitu orang-orang yang selalu menghindari hal-hal yang menyebabkan kemurkaan Allah, dan mengerjakan apa-apa yang diridai-Nya.

Ayat 45

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang minta izin kepada Rasulullah saw untuk tidak turut berjihad tanpa alasan yang dapat diterima, adalah orang-orang munafik yang tidak beriman kepada Allah swt, tidak mengakui keesaan-Nya, dan tidak percaya kepada hari akhir. Mereka menyangka bahwa membelanjakan harta kekayaan di jalan Allah, adalah suatu kebodohan dan kerugian serta berjihad dengan mengorbankan jiwa adalah semata-mata kerugian dan penderitaan saja. Di dalam hati mereka tersimpan perasaan ragu kepada kebenaran agamanya. Mereka selalu bingung dan bimbang. Mereka mau bekerja sama dengan orang-orang mukmin dalam urusan yang mudah, tetapi dalam hal yang agak sulit dan berat seperti berperang, mereka mengelak dan mencari berbagai alasan yang dibuat-buat untuk menghindar atau membebaskan diri dari kewajiban tersebut.

Ayat 46

Ayat ini menerangkan bukti kepalsuan sumpah mereka dan kebohongan ucapan mereka, yaitu tidak terdapatnya tanda-tanda bahwa mereka akan ikut berperang. Kalau benar mereka mau berangkat ke medan perang tentunya mereka menyiapkan peralatan yang diperlukan seperti bekal, kendaraan, senjata, dan sebagainya. Tidak berangkatnya orang-orang munafik ke medan perang merupakan keuntungan bagi kaum Muslimin, karena kalau mereka ikut bersama ke medan perang, mereka tentu akan mengadu domba antara kaum Muslimin dan mengacaukan barisan. Itulah sebabnya Allah menjadikan niat mereka lemah, khawatir, dan ragu-ragu di dalam hatinya, menyebabkan mereka merasa enggan dan tidak mau berangkat, seakan ada yang mengatakan kepada mereka dengan nada marah, "Tinggal sajalah kamu sekalian bersama anak-anak, perempuan, orang lemah, orang sakit, dan tak usah berangkat ke medan perang." Perkataan ini menyenangkan orang-orang munafik karena dianggapnya kata-kata itu sesuai dengan kehendak dan keinginannya, sekalipun kata-kata itu diucapkan dengan nada yang kurang menyenangkan.

Ayat 47

Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa kalaupun orang-orang munafik yang meminta izin itu berangkat juga bersama kaum Muslimin, mereka tidak akan menambah ketenangan dan semangat kaum Muslimin, tetapi sebaliknya mereka akan mengacaukan konsentrasi kaum Muslimin dan merusak persatuan, serta melemahkan sikap tegar mereka. Allah swt mengetahui orang-orang yang zalim dan memberi balasan yang setimpal di hari kemudian nanti.

Ayat 48

Pada ayat ini Allah swt menerangkan bahwa usaha mengacaukan barisan yang dilakukan orang-orang munafik itu sudah berlangsung sejak Perang Uhud. Dalam Perang Uhud pemimpin orang-orang munafik, yaitu 'Abdullah bin Ubay, telah membujuk sepertiga pasukan kaum Muslimin di tengah perjalanan menuju Uhud, di tempat yang bernama Syauth antara Medinah dan Uhud untuk menarik diri dari perang. Menurut Ibn Ubay, hanya orang yang bodoh dan tidak waras yang mau ikut berperang dan tewas dengan sia-sia. Lalu ia kembali ke Medinah beserta orang-orang munafik yang dipengaruhinya. Adapun dua golongan, yaitu Banu Salamah dan Banu Haritsah yang hampir terpengaruh dan terpancing oleh propaganda yang disebarkan 'Abdullah bin Ubay, masih dilindungi Allah swt, sehingga mereka tidak terpengaruh dan selamat dari fitnah tersebut. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah: Ketika dua golongan dari pihak kamu ingin (mundur) karena takut. (Ali-'Imran/3: 122) Bagaimanapun gigihnya usaha orang-orang munafik melumpuhkan perjuangan Rasulullah saw dan pengikut-pengikutnya, namun akhirnya kebenaran jugalah yang menjadi kenyataan. Janji Allah swt datang tepat pada waktunya dan agama Allah mendapat kemenangan, menjulang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripadanya. Negeri Mekah dapat dibebaskan, orang-orang yang masuk Islam berbondong-bondong, sekalipun semuanya itu tidak disenangi oleh musuh-musuh Allah. Firman Allah swt: Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai. (at-Taubah/9: 32)

Ayat 49

Sabab Nuzul: Diriwayatkan oleh al-Wahidi dalam kitabnya Asbab an-Nuzul bahwa Rasulullah berkata kepada Jad bin Qais salah seorang pembesar orang munafik, "Wahai Jad, adakah kamu mempunyai kemampuan untuk menghadapi Bani Ashfar (orang-orang Romawi)?" Jad menjawab, "Sebaiknya Rasulullah mengizinkan saya tinggal (di Medinah) dan tidak ikut berperang, karena saya sebagaimana diketahui oleh kaumku mudah tergoda oleh wanita. Saya khawatir kalau saya melihat wanita-wanita mereka, lalu tertarik dan tidak dapat menahan gejolak nafsuku, sehingga akhirnya terjerumuslah saya ke dalam fitnah." Dengan perasaan berat Rasulullah memalingkan mukanya dan berkata, "Saya izinkan kamu tinggal," maka turunlah ayat ini. Ayat ini menerangkan bahwa di antara orang-orang munafik yang tidak malu membuat-buat alasan meminta kepada Rasulullah, agar mereka tidak ikut berperang dan diizinkan tinggal di Medinah. Mereka seakan-akan lupa bahwa berbagai alasan yang dibuat-buat dan mereka perlihatkan itu diketahui oleh Allah, dan Allah akan membuka rahasia yang disembunyikan di dalam hati mereka. Mereka tidak sadar bahwa alasan palsu yang dikemukakan dan tipu daya itu menjerumuskan dirinya ke lembah bencana dan dosa yang besar. Tindak-tanduk mereka menunjukkan kelemahan iman mereka dan menampakkan kemunafikannya. Mereka akan dijerumuskan ke dalam neraka, karena dosa yang telah mereka lakukan, yaitu ingkar kepada Allah, membantah ayat-ayat-Nya dan mendustakan rasul-rasul-Nya. Firman Allah: Bukan demikian! Barang siapa berbuat keburukan, dan dosanya telah menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. (al-Baqarah/2: 81)

Ayat 50

Sabab Nuzul: Diriwayatkan, bahwa orang-orang munafik yang tetap tinggal di Medinah dan tidak pergi berperang selalu menyiarkan berita-berita bohong yang menyangkut diri Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Mereka berkata, "Muhammad dan sahabat-sahabatnya mendapat kesulitan dalam perjalanan dan mereka dalam keadaan bahaya." Tetapi tidak lama kemudian ternyata bahwa apa yang disiarkan orang-orang munafik itu bohong belaka. Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya tetap dalam keadaan baik, tidak kurang suatu apa pun. Berdasarkan kenyataan yang tidak dapat disangkal itu, timbullah kebencian orang-orang munafik itu dan turunlah ayat ini. (Fath al-Qadir 2/370). Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu kebohongan orang munafik itu apabila Rasulullah dan sahabat-sahabatnya memperoleh hal-hal yang menyenangkan seperti ganimah, kemenangan, dan lainnya, sebagaimana yang telah diperolehnya dalam Perang Badar, mereka menggerutu merasa kecewa dan gelisah, karena kebencian dan iri hati. Sebaliknya jika Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya mendapat kesulitan dan kekalahan, sebagaimana yang dialami dalam Perang Uhud, mereka senang dan memuji diri sendiri karena telah mengambil keputusan untuk menghindar dari perang. Mereka berkata, "Memang setiap menghadapi sesuatu, kami sangat hati-hati dan mempertimbangkan masak-masak jauh sebelumnya." Masing-masing membanggakan pikiran dan pertimbangan yang telah dikemukakannya. Memuji-muji perbuatannya, merasa beruntung tidak ikut pergi berperang dan tidak mengalami kesulitan dan kebinasaan. Akhirnya mereka bubar dalam keadaan senang dan merasa gembira atas bencana yang telah menimpa Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya.

Ayat 51

Ayat ini memerintahkan kepada Rasulullah agar menjawab tantangan orang munafik yang merasa senang ketika Rasulullah dan para sahabatnya ditimpa kesulitan dan merasa sesak dada ketika Rasulullah dan para sahabatnya memperoleh kenikmatan dengan ucapan, "Apa yang menimpa diri kami dan apa yang kami peroleh dan kami alami adalah hal-hal yang telah diatur dan ditetapkan oleh Allah, yaitu hal-hal yang telah tercatat di Lauh Mahfudh sesuai dengan sunatullah yang berlaku pada hamba-Nya, baik kenikmatan kemenangan maupun bencana kekalahan, segala sesuatunya terjadi sesuai dengan qadza dan qadar dari Allah dan bukanlah menurut kemauan dan kehendak manusia mana pun. Allah pelindung kami satu-satunya, dan kepada Dialah kami bertawakal dan berserah diri, dengan demikian kami tidak pernah merasa putus asa di kala ditimpa sesuatu yang tidak menggembirakan dan tidak merasa sombong dan angkuh di kala memperoleh nikmat dan hal-hal yang menjadi cita-cita dan idaman." Firman Allah: Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu (Ath-thalaq/65: 3) Dan firman Allah: Maka apakah mereka tidak pernah mengadakan perjalanan di bumi sehingga dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Allah telah membinasakan mereka, dan bagi orang-orang kafir akan menerima (nasib) yang serupa itu. Yang demikian itu karena Allah pelindung bagi orang-orang yang beriman; sedang orang-orang kafir tidak ada pelindung bagi mereka. (Muhammad/47: 10 dan 11)

Ayat 52

Ayat ini menerangkan bagaimana orang-orang munafik itu menunggu-nunggu kehancuran dan kebinasaan Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya, namun mereka tidak akan menyaksikannya, kecuali salah satu dari dua hal yang menguntungkan bagi Rasul dan kaum Muslimin, yaitu kemenangan atau mati syahid. Sedangkan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya menunggu salah satu dari dua hal yang merugikan dan membinasakan mereka, karena mereka tetap saja terpengaruh oleh bisikan berbisa dan ajakan setan, sehingga mereka selalu ingkar dan membangkang. Dua hal yang dimaksud ialah bahwa pada suatu saat nanti Allah mengizinkan Rasul-Nya memerangi mereka sampai bertekuk lutut atau mengalami kehancuran. Orang-orang munafik yang jahil itu menunggu-nunggu apa gerangan yang akan dialami Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Sebaliknya Nabi Muhammad menanti-nanti azab apa yang akan menimpa mereka selama mereka tetap saja ingkar dan tidak mau sadar.

Ayat 53

Ayat ini menerangkan bahwa bagaimana pun juga orang-orang munafik menginfakkan harta bendanya untuk membantu perjuangan orang-orang mukmin, baik karena harta benda itu diserahkan dengan sepenuh hatinya, sesuai dengan perintah Allah untuk keselamatan dirinya, maupun secara terpaksa, karena takut kepada azab yang akan menimpanya, namun Allah tidak akan menerimanya, karena mereka tetap ragu-ragu kepada agama yang dibawa oleh Nabi Besar Muhammad dan tidak percaya akan adanya pembalasan di akhirat nanti atas segala perbuatan yang mereka lakukan di dunia ini. Allah akan menerima baik amalan apa saja apabila amalan itu dikerjakan bukan karena ria tetapi karena keikhlasan dan takwa kepada Allah. Sabda Nabi Muhammad: Sesungguhnya Allah swt tidak akan menerima amalan kecuali apabila dikerjakan dengan ikhlas dan dimaksudkan semata-mata karena Allah. (Riwayat an-Nasa'i dari Abu Umamah) Firman Allah: Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa. (al-Ma'idah/5: 27)

Ayat 54

Ayat ini menerangkan bahwa yang menyebabkan infak orang-orang munafik itu tidak diterima oleh Allah ialah karena mereka tetap ingkar kepada Allah dan sifat-sifat-Nya, ingkar kepada Rasulullah dan petunjuk-petunjuk serta penjelasan-penjelasan yang dibawanya. Orang-orang munafik itu kalaupun melakukan salat, mereka lakukan dengan malas. Kalau di hadapan orang mereka salat, tetapi kalau mereka hanya sendirian, salat ditinggalkan dan tidak dikerjakan. Mereka tidak mengharapkan pahala dari salatnya itu, mereka tidak takut kepada siksaan karena meninggalkannya. Salat yang dilaksanakan bukanlah karena percaya akan kewajibannya, tetapi karena ria dan ingin dilihat dan diketahui bahwa ia juga turut melakukan salat. Apabila mereka meninfakkan harta bendanya untuk membantu perjuangan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, atau hal-hal lain, mereka mengeluarkannya dengan rasa terpaksa, tidak dengan rela dan ikhlas hati, karena mereka menganggap bahwa bantuannya itu akan merugikan dirinya sendiri, sebaliknya akan menguntungkan orang-orang mukmin, sedang dia bukanlah termasuk golongan orang-orang mukmin.

Ayat 55

Ayat ini mengisyaratkan bahwa janganlah orang mukmin terpengaruh dan terpesona oleh harta benda yang melimpah dan keturunan yang menjadi kebanggaan mereka, karena semua yang mereka banggakan itu hanya akan menambah siksa yang mereka derita di dunia dan di akhirat kelak. Mereka dengan susah payah mengumpulkan harta benda, tanpa menghiraukan cara-cara yang ditempuhnya. Yang penting baginya harta benda dapat dikumpulkan sebanyak-banyaknya dengan cara apa saja, sekalipun dengan cara yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama, karena disangkanya bahwa harta benda yang berlimpah-limpah itulah yang akan memberi kebahagiaan kepada mereka di dunia dan di akhirat. Selain dari siksa yang dialami di dunia, mereka juga merasakan azab yang amat pedih pada akhir hayatnya, karena nyawanya akan dicabut dengan susah payah dan dalam keadaan kafir. Orang yang meninggal dunia dalam keadaan kafir, semua amal dan usahanya akan sia-sia dan binasa, sebagaimana firman Allah: Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka. (al-Kahf/18: 106)

Ayat 56

Ayat ini menerangkan kepada Nabi Muhammad tentang kegelisahan dan kecemasan orang-orang munafik karena takut rahasia mereka diketahui oleh orang-orang mukmin. Oleh karena itu mereka bersumpah dengan nama Allah untuk menutupi kedustaan ucapan mereka bahwa mereka berada di pihak orang-orang mukmin. Sedangkan mereka itu pada hakikatnya tidak beriman, bahkan mereka selalu diliputi oleh keragu-raguan dan kegelisahan. Mereka selalu menyatakan sesuatu yang berlainan dengan apa yang dikandung dalam hati mereka karena mereka selalu berada dalam ketakutan. Demikianlah tingkah laku orang-orang munafik ketika bertemu dengan orang-orang mukmin, sebagaimana diterangkan Allah dalam firman-Nya: Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, "Kami telah beriman." Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, "Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok." (al-Baqarah/2: 14)

Ayat 57

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang munafik itu tidak ingin bergaul dengan orang mukmin karena takut dan khawatir kemunafikan mereka akan diketahui, lebih-lebih lagi bilamana mereka diajak turut berperang bersama orang-orang mukmin. Oleh sebab itu, sekiranya mereka memperoleh tempat perlindungan berupa benteng gua-gua di bukit atau parit untuk melindungi diri mereka dari pembalasan orang-orang mukmin, tentulah mereka lari bersembunyi ke tempat-tempat itu karena mereka sadar bahwa kemunafikan mereka pada suatu saat akan diketahui juga.

Ayat 58

Sabab Nuzul: Abu Said al-Khudri meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah saw membagi sedekah, datang Ibnu Zi al-Khawaisirah at-Tamimi, dia berkata, "Berbuat adillah wahai Rasulullah." Nabi menjawab, "Celaka kamu! Siapa lagi yang akan berbuat adil kalau saya tidak adil?" Umar berkata, "Izinkan aku penggal lehernya!" Nabi menjawab, "Biarkan, dia banyak teman. Sebagian kamu menghina salatnya dengan salat kamu, puasanya dengan puasa mereka. Meninggalkan agama seperti anak panah menginggalkan busurnya." Maka turunlah ayat ini. (Riwayat al-Bukhari). Ayat ini menerangkan adanya beberapa orang munafik yang mencela Nabi Muhammad mengenai kebijaksanaan beliau membagi-bagi zakat kepada orang-orang yang patut menerimanya. Dalam usaha untuk menghambat perkembangan Islam, mereka mengada-adakan tuduhan palsu yang mereka tujukan kepada Nabi Muhammad dengan maksud mempengaruhi orang-orang Islam yang masih lemah imannya. Mereka menuduh bahwa Nabi Muhammad tidak berlaku adil, berat sebelah, pilih kasih dalam membagikan zakat. Orang-orang munafik itu jika mereka diberi zakat oleh Nabi, mereka menerimanya dan diam seribu bahasa meskipun mereka tidak termasuk golongan yang patut menerimanya disebabkan mereka hanya berpura-pura miskin dan manakala tidak diberi oleh Nabi karena tidak termasuk golongan yang berhak menerima zakat, mereka segera menjadi marah dan membuat tuduhan terhadap Nabi. Sikap demikian menunjukkan bahwa mereka hanyalah memikirkan kepentingan diri sendiri. Demikianlah antara lain kelakuan orang-orang munafik itu.

Ayat 59

Jika mereka beriman kepada Allah dengan sebenarnya tentulah mereka tidak akan mencela atau membuat tuduhan terhadap Rasul. Seharusnya mereka rida dan bersyukur kepada Allah terhadap pembagian harta itu, baik mengenai pembagian harta rampasan maupun zakat. Mereka meyakini bahwa Allah merupakan tempat memohon dan yang akan memberikan rahmat dan rezeki kepada makhluk-Nya.

Ayat 60

Sadaqah yang dimaksud dalam ayat ini ialah sadaqah wajib yang dikenal dengan zakat sebagai kewajiban dari Allah terhadap kaum Muslimin yang telah memenuhi syarat-syaratnya untuk mengeluarkan kewajiban zakat, demi untuk memelihara kemaslahatan umat. Mengenai pensyariatan zakat ini diutarakan dalam firman Allah: Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka. (at-Taubah/9: 103) Dengan demikian jelaslah bahwa zakat disyariatkan untuk membersihkan diri dari harta yang mungkin didapat dengan cara yang kurang wajar, mendorong pemiliknya agar bersyukur kepada Allah atas rezki yang diberikan-Nya. Yang berhak menerima zakat dalam ayat ini ada 8 golongan sebagai berikut: Pertama: Orang fakir, yaitu orang yang mempunyai harta dan mata pencaharian yang tidak mencukupi dan tidak meminta-minta, demikian menurut Imam Syafii. Kedua: Orang miskin, yaitu orang yang mempunyai harta atau mata pencaharian tetapi tidak mencukupi kebutuhan sehingga meminta-minta merendahkan harga diri, demikian menurut Imam Syafii. Menurut Imam Abu Hanifah miskin ialah apa yang dikatakan fakir menurut pengertian Imam Syafii, dan yang dikatakan miskin menurut Imam Syafii adalah fakir menurut Imam Abu Hanifah. Ketiga: Orang-orang yang menjadi amil zakat, yaitu orang-orang yang ditugaskan untuk mengumpulkan, mengurus dan menyimpan harta zakat itu baik mereka yang bertugas mengumpulkan atau menyimpan harta zakat sebagai bendahara maupun selaku pengatur administrasi pembukuan, baik mengenai penerimaan maupun pembagian (penyaluran). Golongan amil ini menerima pembagian zakat sebagai imbalan pekerjaan mereka. Disebutkan dalam sebuah riwayat: Ibnu as-Sadi al-Maliki berkata, "Umar mengangkat aku selaku petugas pengumpulan zakat. Setelah selesai dan aku serahkan kepadanya zakat yang terkumpul, ia memerintahkan agar aku diberi bagian, kemudian aku berkata, bahwasanya saya mengerjakan itu karena Allah, lalu beliau menjawab, 'Ambillah apa yang telah diberikan kepadamu, bahwasanya aku pernah menjadi amil zakat pada masa Rasulullah, kemudian Rasulullah memberikan kepadaku upah, maka aku jawab sebagaimana jawabanmu, maka berkata Rasulullah kepadaku: "Apabila kamu diberikan sesuatu tanpa kamu minta maka makanlah (terimalah) dan bersedekahlah." (Riwayat Ahmad, al-Bukhari dan Muslim). Keempat: Muallaf, yaitu orang yang perlu dihibur hatinya agar masuk Islam dengan mantap atau orang-orang yang dikhawatirkan memusuhi dan mengganggu kaum Muslimin atau orang yang diharapkan memberi bantuan kepada kaum Muslimin. Muallaf ada tiga golongan: a. Golongan orang-orang kafir yang berpengaruh dan diharapkan (masuk Islam) sebagaimana perlakuan Nabi Muhammad terhadap shafwan bin Umayah pada ketika penaklukan kota Mekah. Nabi memberi keamanan kepada shafwan dengan maksud agar ia dapat merasakan kebaikan agama Islam. Nabi memberikan pula kepadanya seekor unta beserta yang ada di punggung unta itu sehingga akhirnya shafwan tertarik masuk Islam dengan kesadaran. Dia berkata, "Sesungguhnya Muhammad banyak memberiku ketika aku memandangnya sebagai manusia yang paling kubenci, sehingga dengan perlakuan ramah-tamahnya kepadaku jadilah Muhammad menurut pandanganku sebagai manusia yang paling kucintai." Demikianlah shafwan akhirnya menjadi seorang Islam yang baik. b. Golongan orang-orang kafir yang miskin kemudian masuk Islam sampai imannya mantap. Untuk memantapkan dan meneguhkan keimanan mereka Rasulullah pernah memberikan sebagian harta rampasan perang kepada mereka yang masih lemah imannya dari kalangan ahli Mekah meskipun di antara mereka ada yang munafik. c. Golongan Muslimin yang mendiami daerah perbatasan dengan orang kafir. Mereka ini diberi zakat karena diharapkan kewaspadaan mereka dalam mempertahankan kawasan kaum Muslimin dan memperhatikan gerak-gerik musuh. Kelima: Untuk usaha membebaskan perbudakan. Dengan cara yang bijaksana Islam memberantas perbudakan. Dalam rangka pembebasan budak, disediakan dana yang diambil dari zakat yang dipergunakan untuk membeli budak dan membebaskannya atau diberikan kepada seorang budak yang telah mendapat jaminan dari tuannya untuk melepaskan dirinya dengan membayar sebanyak harta yang ditentukan. Budak yang seperti ini dinamakan "mukatab". Seperti orang yang disandera, pekerja yang tertuduh membunuh dapat dibebaskan dengan uang. Al-Bara' bin 'Azib berkata, "Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata: "Tunjukilah aku kepada amalan yang mendekatkan aku ke surga dan menjauhkan aku dari api neraka." Maka Rasulullah menjawab, "Merdekakanlah budak atau berusahalah melepaskannya." Laki-laki itu berkata, "Hai Rasulullah, tidakkah kedua hal itu satu (serupa)?" Nabi menjawab, "Tidak, memerdekakan budak ialah engkau sendirian yang memerdekakannya, sedang melepaskan budak adalah engkau membantu membayar harganya (uang tebusannya)." (Riwayat Ahmad dan al-Bukhari dari al-Barra' bin 'Azib). Keenam: Orang yang berhutang. Golongan ini terdiri dari dua tingkatan: a. Orang yang berhutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pada jalan yang bukan maksiat. Mereka ini berhak menerima zakat jika mereka tidak mempunyai kesanggupan untuk membayar hutang yang menjadi tanggungannya. b. Golongan yang berhutang untuk kepentingan umum. Mereka ini berhak menerima zakat meskipun mereka orang-orang mampu (orang kaya). Ketujuh: Sabilillah. Perkataan "sabilillah" mempunyai dua arti. Pertama, arti khusus, yaitu orang-orang yang secara suka-rela menjadi tentara melakukan jihad, membela agama Allah terhadap orang-orang kafir yang mengganggu keamanan kaum Muslimin. Kedua, arti umum, yaitu segala perbuatan yang bersifat kemasyarakatan yang ditujukan untuk mendapatkan keridaan Allah seperti: pengadaan fasilitas umum, beasiswa untuk pendidikan, dan untuk dakwah. Para ulama empat mazhab berpegang kepada arti yang pertama, tetapi sebagian ulama mempunyai pendirian yang mencakup pengertian khusus dan pengertian umum atas dasar kaidah ushul fiqh Yang menjadi pegangan ialah umumnya pengertian lafaz (sesuatu nash) tidak pada kekhususan sebab (nash diucapkan/diturunkan)." Atas dasar ini, pembangunan atau pemeliharaan mesjid dan madrasah demikian juga untuk kegiatan ulama dan para mubalig dapat diambil dari harta zakat. Kedelapan: Ibnu Sabil. Orang yang sedang musafir yang memerlukan pertolongan meskipun ia mempunyai kekayaan di negerinya. Kepada musafir yang seperti ini dapat diberikan bantuan dari harta zakat meskipun perjalanannya selaku turis selama ia tidak bertujuan maksiat dari perjalanannya itu. Kedelapan golongan tersebut adalah ketentuan Allah yang wajib dipedomani oleh umat Islam. Allah Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui siapa di antara mereka yang mampu dan yang memerlukan pertolongan. Allah Mahabijaksana dalam mengatur ketentuan-ketentuan dan petunjuk-petunjuk yang ditujukan kepada orang-orang yang mampu sehingga jiwa mereka menjadi bersih dan bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan kepada mereka. Kedelapan golongan yang telah diterangkan dalam ayat ini dapat dibagi atas dua golongan: a. Pertama, golongan yang menerima zakat langsung menjadi milik pribadi, mereka ialah fakir miskin, amil, orang-orang yang menanggung hutang, muallaf dan musafir. Zakat yang diberikan kepada mereka ini adalah menjadi hak milik mereka. b. Kedua, golongan yang menerima zakat untuk kepentingan umum. Golongan ini berupa instansi dan badan, terdiri dari: 1. Fi ar-Riqab, yaitu usaha membebaskan budak. Badan amil zakat secara langsung atau dengan perantaraan organisasi tertentu dapat membeli semua budak yang akan dijual oleh pemiliknya atau yang ada di pasar-pasar budak untuk dimerdekakan. 2. Fi Sabilillah, yaitu segala kepentingan agama yang bersifat umum sebagaimana diterangkan di atas. Sebagian mufasir yang didukung oleh ulama Fiqih memandang hanya dari delapan golongan tersebut, empat golongan termasuk golongan pertama yaitu: fakir, miskin, amil, dan muallaf. Sedangkan empat golongan yang terakhir yaitu: pembebasan budak, pembebasan hutang untuk kepentingan umum, fi sabilillah dan ibnu sabil adalah termasuk golongan kedua yaitu untuk kemaslahatan umum.

Ayat 61

Sabab Nuzul: Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari as-Suddi, pada suatu ketika terjadilah pertemuan antara sesama orang munafik, di antara mereka adalah Jullas bin Suwaid bin Samit, Mikhasi bin Umar dan Wadiah bin sabit. Di antara mereka ada yang hendak menggunjingkan Nabi maka beberapa orang di antara mereka melarangnya dengan alasan khawatir akan sampai kepada Nabi, dan ini akan menyusahkan mereka, lalu di antara mereka ada yang berkata, "Muhammad itu terlalu percaya pada apa saja yang didengarnya asalkan saja kita bersumpah meyakinkannya," maka turunlah ayat ini. Ayat ini menerangkan bahwa di antara golongan munafik terdapat orang-orang yang menyakiti Nabi Muhammad. Mereka menggunjingkannya dan mengatakan bahwa Nabi itu terlalu cepat terpengaruh tanpa memikirkan dan meneliti kebenaran sesuatu yang didengarnya. Tuduhan mereka ini atas dasar bahwa perlakuan Nabi Muhammad kepada mereka serupa dengan perlakuan beliau kepada orang-orang mukmin secara umum. Hal mana menunjukkan bahwa Nabi itu dapat dipengaruhi sebagaimana beliau terpengaruh oleh ucapan-ucapan mereka. Atas dasar ini mereka memandang adanya kelemahan pada Nabi Muhammad dan kelemahan seperti ini jika terdapat pada penguasa seperti raja, tentu akan sangat membahayakan raja tersebut dan akan berkumpullah di sekeliling raja orang-orang yang pandai menjilat untuk mempengaruhinya keputusan yang diambilnya. Setelah Allah menerangkan anggapan yang berkembang di kalangan orang munafik itu, Nabi Muhammad diperintahkan untuk mendengarkan semua yang disampaikan kepadanya, tetapi kemudian dilanjutkan dengan penelitian tentang kebenarannya. Perintah ini bertujuan agar Nabi Muhammad tidak teperdaya oleh orang-orang yang ingin menjilat atau yang mencari muka. Pada akhir ayat ini, Allah menerangkan azab yang sepedih-pedihnya yang akan menjadi hukuman bagi orang-orang munafik yang menuduh Nabi dengan tuduhan-tuduhan yang tidak pada tempatnya. Dari segi hukum, ayat ini melarang menyakiti Rasul, baik pada masa hidupnya maupun sesudah wafatnya. Menyakiti Rasul pada masa hidupnya dapat berbentuk: a. Meragukan kerasulannya atau menganggapnya ahli sihir. Orang-orang yang menyakiti Rasul seperti ini hukumnya kafir karena mereka mengingkari kerasulannya. b. Mengganggu ketenangan rumah tangganya seperti bertamu terlalu lama atau berkata di hadapannya dengan suara keras. Pekerjaan seperti ini hukumnya haram sebagaimana diutarakan dalam Al-Qur'an. Firman Allah: Sesungguhnya yang demikian itu adalah mengganggu Nabi sehingga dia (Nabi) malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar). (al-Ahzab/33: 53) Dan firman-Nya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari. (al-hujurat/49: 2) Menyakiti Rasul setelah wafatnya sama halnya dengan menyakitinya pada masa hidupnya seperti menggunjingkan ibu bapaknya dan keluarganya atau menghina dan menjelek-jelekkannya. Keimanan seseorang kepada Rasul menimbulkan rasa cinta kepadanya. Orang yang cinta kepada sesuatu, tentulah sesuatu yang dicintainya itu selalu dipandang dengan rasa hormat karena dianggap mulia.

Ayat 62

Sabab Nuzul: Diriwayatkan Ibnu Mundzir dari Qatadah tentang sebab nuzul ayat ini, Qatadah berkata, "Kepada kami diberitahukan bahwa seorang lelaki dari kalangan munafik berkata tentang golongan yang tidak turut Perang Tabuk dimana turun ayat khusus mengenai mereka. Lelaki itu berkata, "Demi Allah bahwa sesungguhnya mereka yang tidak ikut berperang itu adalah orang-orang pilihan dan orang-orang yang mulia. Jika sekiranya benar apa yang dikatakan Muhammad tentulah mereka lebih jahat daripada keledai." Ucapan lelaki itu didengar oleh seorang lelaki dari kalangan muslim, lalu ia berkata (sebagai jawaban terhadap orang-orang munafik itu), "Demi Allah, bahwa apa yang dikatakan Muhammad itu adalah benar dan engkau adalah lebih jelek daripada himar (keledai)." Orang muslim itu pergi kepada Rasulullah untuk menceritakan kejadian itu maka orang-orang munafik itu didatangkan menghadap Nabi dan Nabi berkata, "Apakah yang mendorong engkau berkata demikian?" Orang munafik itu mengingkari ucapannya dan melaknati dirinya dengan bersumpah bahwa ia tidak pernah berkata demikian. Orang muslim itu berkata, "Hai Tuhanku benarkanlah orang yang benar dan dustakanlah orang yang dusta," maka turunlah ayat ini. Ayat ini menerangkan tentang kebiasaan orang-orang munafik sebagaimana halnya dengan orang-orang yang berbuat suatu kesalahan, seperti: mencuri, dan membunuh. Mereka selalu merasa dalam kesulitan karena mereka selalu dibayang-bayangi oleh akibat perbuatan mereka yang buruk yang mereka lakukan, dan mereka takut kebohongan mereka diketahui oleh orang-orang muslim. Mereka sering bersumpah sebagai cara untuk menutupi kejahatan dan kebohongan mereka. Demikian perbuatan orang munafik, mereka bersumpah untuk meyakinkan orang-orang mukmin bahwa apa yang disampaikannya tentang kelakuan buruk mereka baik menentang maupun memburukkan Rasulullah adalah tidak benar. Hal ini dimaksudkan agar orang mukmin mengakui bahwa mereka adalah orang-orang yang bersih dari segala tuduhan. Mereka sering bersumpah dengan maksud menyenangkan Rasul dan mendapat kepercayaan dari orang-orang mukmin sehingga mereka mendapat perlindungan dari orang-orang mukmin; semestinya mereka berusaha mendapat keridaan Tuhan dan Rasul-Nya dengan iman yang sungguh-sungguh yang jauh dari kemunafikan dan keraguan jika benar-benar mereka ingin menjadi orang mukmin. Meskipun orang-orang mukmin dapat diyakinkan dengan jalan bersumpah, dan kebohongan mereka tidak terungkap, namun Allah swt, tetap mengetahui segala sesuatu yang mereka perbuat dan sesuatu yang masih tersimpan di hati mereka. Ketika kemaslahatan menghendaki, Allah menurunkan kepada Rasul wahyu yang menjelaskan tentang semua yang mereka lakukan.

Ayat 63

Semestinya orang munafik segera sadar karena tidak mungkin mereka tidak mengetahui bahwa membuat-buat tuduhan terhadap Rasul seperti tuduhan berlaku curang dalam membagi zakat atau menuduh Rasul dengan sifat senang mendengar laporan tanpa meneliti kebenarannya adalah termasuk perbuatan menentang Allah dan Rasul-Nya. Orang yang demikian halnya akan mendapat ganjaran api neraka, kekal di dalamnya. Azab seperti ini adalah suatu kehinaan yang besar yang tentunya harus ditakuti dan dijauhi.

Ayat 64

Ayat ini menggambarkan tentang tingkah laku orang-orang munafik yang pernah diungkapkan dalam Perang Tabuk. Mereka merasa khawatir seandainya diturunkan ayat atau surah yang menerangkan segala sesuatu yang mereka lakukan. Karena itu Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada mereka agar meneruskan ejekan-ejekan yang mereka lakukan. Orang-orang munafik adalah manusia yang tidak mempunyai pendirian, mereka berada di antara iman dan kufur, mereka tidak percaya kepada kebenaran wahyu yang diturunkan kepada Rasul, mereka berada di antara cemas dan harap. Andaikata mereka mengingkari Rasul secara tegas tentulah mereka tidak akan cemas. Demikian pula jika mereka beriman kepada Rasul secara tegas. Karena posisi mereka di antara iman dan kufur dan selalu mencela dan mengejek Nabi dan orang-orang mukmin, timbullah kekhawatiran dan kecemasan mereka kalau-kalau Allah menurunkan lagi ayat-ayat yang mengungkap keaiban mereka dan menerangkan segala sesuatu yang ada pada mereka meskipun mereka menyimpannya dalam hati mereka.

Ayat 65

Sabab Nuzul: Turunnya ayat ini erat hubungannya dengan Perang Tabuk sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dari Qatadah, ketika Rasulullah pada Perang Tabuk melihat sekelompok manusia di hadapannya mengatakan, "Apakah laki-laki ini (Muhammad) mengharapkan akan memperoleh istana dan benteng di negeri Syam, tidak mungkin, tidak mungkin." Allah memberitahukan kepada Nabi-Nya apa yang dibicarakan oleh kelompok manusia tersebut, maka Muhammad berkata, "Kamu telah berkata begini-begitu." Mereka menjawab, "Hai Nabi Allah, kami hanya bersenda-gurau dan main-main," maka turunlah ayat ini. Ayat ini menggambarkan kepada Nabi Muhammad tentang tingkah laku orang-orang munafik manakala Nabi Muhammad bertanya kepada mereka tentang ucapan-ucapan mereka yang berupa tuduhan yang sengaja dilontarkan kepada Muhammad yang menyatakan bahwa Nabi itu mencari pengaruh, kekuasaan dan kekayaan, niscaya mereka akan menjawab bahwa ucapan mereka hanya senda gurau belaka. Mereka mengira bahwa Nabi Muhammad dapat memaafkan dan menerima dalih yang mereka kemukakan. Tetapi Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada kaum munafik bahwa tidak patut mereka mengejek Allah dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya. Perbuatan demikian itu melampaui batas dan tidak ada yang melakukannya kecuali orang-orang yang ingkar kepada Allah.

Ayat 66

Ayat ini menerangkan bahwa tak ada gunanya mereka meminta maaf dengan mengemukakan dalih seperti tersebut pada ayat 65 karena sesungguhnya orang-orang munafik itu telah menjadi kafir sesudah beriman, mereka mengejek Nabi dan memandang rendah beliau. Sikap demikian itu terhadap Rasul menunjukkan kekosongan jiwa mereka dari keimanan. Mereka telah melakukan dosa yang sangat besar karena dengan sengaja menghina Nabi dan mengingkari Allah. Namun sekiranya orang-orang munafik itu mau bertobat atas dorongan iman yang sesungguhnya, seperti Makhsyi bin Humair, tentulah Allah menerima tobatnya dan Allah tetap mengazab orang-orang munafik yang masih terus bergelimang dalam kemunafikan.

Ayat 67

Ayat ini menerangkan tentang adanya persamaan di antara orang-orang munafik, baik pria maupun wanita, baik mengenai sifat-sifat mereka maupun mengenai akhlak dan perbuatan mereka. Masing-masing saling menganjurkan kepada yang lainnya untuk berbuat kemungkaran seperti yang diterangkan oleh Nabi: Tanda orang munafik itu ada tiga: Apabila ia berbicara berdusta, apabila ia berjanji mungkir, dan apabila ia dipercayai berkhianat. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Orang munafik itu masing-masing saling melarang antara sesamanya berbuat baik seperti melakukan jihad dan mengeluarkan harta untuk amal-amal sosial terutama perang sabil sebagaimana firman Allah: Mereka yang berkata (kepada orang-orang Ansar), "Janganlah kamu bersedekah kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah sampai mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)." (al-Munafiqun/63: 7) Semua itu disebabkan mereka lupa kepada kebesaran Allah, lupa kepada petunjuk-petunjuk agama-Nya dan siksaan-Nya. Lebih tegasnya mereka lupa mendekatkan diri kepada Allah dengan menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sebagaimana tidak terlintas di hati sanubari mereka kewajiban berterima kasih atas nikmat-nikmat yang diberikan Tuhan sehingga mereka mengikuti kehendak nafsu mereka dan godaan setan. Sudah sewajarnya jika Allah melupakan mereka dengan menjauhkan mereka dari karunia taufik-Nya di dunia dan ganjaran pahala di akhirat. Sesungguhnya orang-orang munafik yang tetap dalam kemunafikannya itu merupakan manusia yang paling fasik di dunia ini bahkan mereka lebih rendah dari orang-orang kafir biasa, karena orang kafir menutupi hati mereka terhadap keesaan atau adanya Tuhan secara terang-terangan. Berlainan halnya dengan orang-orang munafik yang sengaja menutupi kesalahan baik mengenai akidah atau pun mengenai akhlak dan tindak-tanduk perbuatan yang jauh menyimpang dari fitrah manusia yang murni dengan berpura-pura menjadi mukmin.

Ayat 68

Ayat ini menerangkan ancaman Tuhan kepada orang-orang munafik baik pria maupun wanita dan ancaman-Nya kepada orang-orang kafir. Allah mengancam mereka dengan azab api neraka dan mereka kekal abadi di dalamnya. Mereka mendapat kutukan Tuhan di dunia dan di akhirat serta mereka tidak berhak mendapat rahmat Allah. Azab Tuhan terus-menerus menimpa mereka baik azab fisik maupun siksaan batin yang tak habis-habisnya. Mereka tidak dapat melihat wajah Allah karena melihat wajah Allah itu tidak diizinkan bagi orang-orang yang mengingkarinya.

Ayat 69

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang munafik yang menyakiti Nabi Muhammad dan orang-orang mukmin tidak berbeda dengan orang-orang munafik yang hidup pada masa dahulu. Jika pada masa Nabi Muhammad mereka teperdaya oleh harta kekayaan dunia dan terpengaruh oleh anak-anak mereka, maka serupa itu pulalah orang-orang munafik pada masa dahulu ketika menghadapi utusan-utusan Allah. Mereka memiliki kekuatan, kekayaan harta benda yang cukup dan anak-anak yang banyak yang menyebabkan mereka teperdaya oleh kelezatan hidup dunia. Mereka selalu dipengaruhi oleh keinginan hidup mewah dan ingin bebas berbuat semaunya untuk kepuasan hawa nafsunya. Orang-orang munafik pada masa dahulu memang wajar berlaku demikian karena faktor-faktor yang membawa mereka kepada kejahatan lebih banyak karena mereka mempunyai kekuatan dan kekayaan. Berlainan halnya dengan orang-orang munafik pada zaman Nabi Muhammad di samping berkurangnya kekuatan dan harta kekayaan, faktor-faktor yang membawa mereka untuk berbuat kebaikan lebih banyak. Semua perbuatan orang munafik meskipun berupa perbuatan yang baik adalah menjadi sia-sia di dunia dan akhirat karena mereka melakukannya tanpa keikhlasan. Seharusnya mereka menjadi orang-orang yang beruntung karena mereka juga turut melakukan amal sosial, tetapi mereka lupa bahwa untuk diterimanya suatu amalan yang baik harus disertai dengan kejujuran dan keikhlasan. Kekeliruan mereka ini digambarkan dalam firman Allah: Katakanlah (Muhammad), "Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?" (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya. (al-Kahf/18: 103-104)

Ayat 70

Pada ayat ini Allah mencela orang-orang munafik mengapa mereka tidak mengetahui kisah tentang umat-umat dahulu kala seperti umat Nabi Nuh, kaum 'Ad dan samud, kaum Ibrahim dan penduduk Madyan dan kaum Luth. Kepada mereka, Allah telah mengutus rasul-rasul-Nya yang membawa petunjuk-petunjuk dari Allah, tetapi mereka sambut rasul-rasul Allah itu dengan sikap menantang, sehingga Allah menurunkan kepada mereka azab seperti topan yang menenggelamkan kaum Nuh, angin yang membinasakan kaum 'Ad, dan petir yang membinasakan kaum samud. Hal itu tidaklah berarti Allah berbuat aniaya terhadap mereka, karena bertentangan dengan sifat keadilan Allah yang tidak pernah menzalimi hamba-Nya, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri disebabkan mereka tidak mengindahkan petunjuk-petunjuk Allah yang dibawa oleh rasul-rasul-Nya. Sunnatullah tidak akan berubah sebagaimana Allah menjatuhkan azab kepada orang-orang yang menentang rasul-Nya pada masa dahulu pasti pada masa sekarang Allah akan mengazab orang-orang yang bersalah jika mereka tidak bertobat.

Ayat 71

Ayat ini menerangkan bahwa orang mukmin, pria maupun wanita saling menjadi pembela di antara mereka. Selaku mukmin ia membela mukmin lainnya karena hubungan agama. Wanita pun selaku mukminah turut membela saudara-saudaranya dari kalangan laki-laki mukmin karena hubungan seagama sesuai dengan fitrah kewanitaannya. Istri-istri Rasulullah dan istri-istri para sahabat turut ke medan perang bersama-sama tentara Islam untuk menyediakan air minum dan menyiapkan makanan karena orang-orang mukmin itu sesama mereka terikat oleh tali keimanan yang membangkitkan rasa persaudaraan, kesatuan, saling mengasihi dan saling tolong-menolong. Kesemuanya itu didorong oleh semangat setia kawan yang menjadikan mereka sebagai satu tubuh atau satu bangunan yang saling menguatkan dalam menegakkan keadilan dan meninggikan kalimah Allah. Sifat mukmin yang seperti itu banyak dinyatakan oleh hadis-hadis Nabi Muhammad antara lain, seperti sabdanya: Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, saling menyantuni dan saling membantu seperti satu jasad, apabila salah satu anggota menderita, seluruh anggota jasad itu merasakan demam dan tidak tidur. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Numan bin Basyir). Sifat saling membela tidak terdapat pada orang-orang munafik karena mereka diliputi oleh keraguan dan sifat pengecut. Persaudaraan ini di kalangan mereka sekadar ucapan permainan lidah sebagaimana diutarakan di dalam firman Allah: Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudaranya yang kafir di antara Ahli Kitab, "Sungguh, jika kamu diusir niscaya kami pun akan keluar bersama kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun demi kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantumu." Dan Allah menyaksikan, bahwa mereka benar-benar pendusta. Sungguh, jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tidak akan keluar bersama mereka, dan jika mereka diperangi; mereka (juga) tidak akan menolongnya; dan kalau pun mereka menolongnya pastilah mereka akan berpaling lari ke belakang, kemudian mereka tidak akan mendapat pertolongan. (al-hasyr/59: 11 - 12) Sifat-sifat yang dimiliki orang mukmin berbeda dari sifat-sifat orang munafik pada hal-hal berikut: a. Orang mukmin selalu mengajak berbuat baik dan melarang perbuatan mungkar, sedang orang munafik selalu menyuruh berbuat mungkar dan melarang berbuat baik. b. Orang mukmin mengerjakan salat dengan khusyuk dengan hati yang ikhlas sedang orang munafik mengerjakan salat dalam keadaan terpaksa dan riya. c. Orang mukmin selain mengeluarkan zakat, tangan mereka selalu terbuka untuk menciptakan kesejahteraan umat dan memberikan sumbangan sosial, sedang orang munafik kikir, jika mereka mengeluarkan zakat atau derma adalah karena ria bukan karena ikhlas kepada Allah, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah: Dan yang menghalang-halangi infak mereka untuk diterima adalah karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak melaksanakan salat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menginfakkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan (terpaksa). (at-Taubah/9: 54) d. Orang mukmin selalu taat kepada Allah dengan cara meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat dan mengerjakan segala perintah menurut kesanggupan mereka sedang orang munafik terus-menerus berbuat maksiat. Akhir ayat ini menegaskan bahwa Allah pasti akan melimpahkan rahmat-Nya baik di dunia maupun di akhirat kepada orang-orang mukmin sedang ayat-ayat yang lalu Allah melaknati orang-orang munafik dan mengancam mereka dengan api neraka. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa, tidak seorang pun yang dapat menolak siksaan-Nya. Dia Mahabijaksana melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada orang-orang yang dikehendaki sesuai dengan amalan-amalan yang telah dikerjakannya.

Ayat 72

Pada ayat ini Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin baik pria maupun wanita untuk mendapatkan surga sebagai balasan terhadap amalan baik mereka. Surga itu ialah taman yang indah yang penuh dengan kenikmatan yang tak pernah dilihat oleh mata dan tak pernah didengar oleh telinga dan malahan tak pernah terlintas di hati, semua yang dilihat dan didengar asing dan baru sehingga sulit diumpamakan karena tak ada bandingannya di dunia. Taman yang dinaungi pohon-pohon dimana mengalir sungai yang tidak menyerupai sungai-sungai di dunia ini baik warna maupun rasanya; orang-orang yang tinggal di dalamnya akan menetap selama-lamanya; sabda Nabi menerangkan tentang surga: Pada surga terdapat seratus tingkatan. Allah menyediakannya untuk orang-orang yang berjihad menegakkan agama Allah. Jarak satu tingkat dengan tingkat yang lainnya sebagaimana jarak antara langit dan bumi. Apabila kamu memohon kepada Allah, mintalah surga Firdaus, karena ini adalah surga yang terbaik dan tertinggi yang daripadanya terpancar sungai-sungai surga dan di atasnya Arasy Tuhan. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Manusia terdiri dari jasad dan ruh. Surga dengan segenap isinya memberikan kenikmatan paling tinggi kepada jasmani, dan keridaan Allah memberikan kenikmatan yang paling tinggi kepada rohani manusia. Kedua macam nikmat ini adalah karunia Tuhan yang dijanjikan-Nya kepada mukmin baik pria maupun wanita. Inilah karunia Allah yang merupakan kemenangan yang besar lagi tak ada taranya yang tak akan dapat dicapai kecuali oleh orang-orang beriman dan beramal saleh.

Ayat 73

Ayat ini mengandung perintah kepada Nabi Muhammad agar melakukan jihad terhadap orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan memperlakukan mereka itu dengan perlakuan yang keras. Melakukan jihad kepada orang-orang kafir adalah dengan pedang, sedang melakukan jihad kepada orang-orang munafik ialah menyadarkan mereka sebaik-baiknya dengan mengemukakan hujjah-hujjah yang diperlukan. Orang kafir seperti orang Yahudi menyakiti Nabi dengan cara yang menyakitkan perasaan; mereka mengucapkan kalimat salam kepada Nabi dengan mengubah kata "Assalamualaikum" dengan "Assamulaikum", ucapan yang berarti "Juga kematian atas kamu" dan Nabi pun tentulah membalasnya dengan ucapan: "Waalaikum" yang berarti "Juga kematian atas kamu". Di samping itu mereka sering pula melanggar perjanjian. Terhadap orang-orang munafik Nabi selalu memperlakukan mereka dengan lemah-lembut sebagaimana halnya memperlakukan orang-orang mukmin. Tetapi sebaliknya orang-orang munafik selalu menyakiti Nabi, misalnya dengan melancarkan tuduhan-tuduhan yang mengutarakan bahwa Nabi itu pilih kasih dalam membagi harta rampasan perang dan zakat. Nabi mudah percaya kepada laporan tanpa diteliti dan sebagainya yang maksudnya mengejek Nabi. Oleh karena itu, Allah memerintahkan agar Nabi Muhammad bertindak keras kepada mereka dengan maksud memberikan pelajaran kepada mereka dengan harapan agar mereka menjadi sadar. Sikap keras yang Nabi jalankan itu suatu siasat yang diatur oleh Allah dan kenyataannya berhasil.Dengan perlakuan seperti itu banyak orang-orang yang kafir dan munafik bertobat dan kembali beriman. Tetapi orang-orang yang masih belum sadar karena hanyut dan tenggelam dalam kemunafikan atau kekufuran, tempat mereka adalah neraka Jahanam untuk selama-lamanya, tempat paling buruk di akhirat.

Ayat 74

Sabab Nuzul: Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-thabari dan ath-thabrani dan Abu Syaikh Ibnu Mardawaihi bahwa ketika Rasulullah sedang duduk di bawah naungan sebuah pohon beliau berkata, "Akan datang kepadamu seorang manusia yang memandang kamu dengan dua matanya seperti mata setan. Apabila ia datang, janganlah kamu berkata-kata." Kemudian tiba-tiba muncullah seorang laki-laki yang warna matanya biru langit lalu Rasulullah memanggilnya dan berkata, "Atas dasar apa engkau dan sahabat-sahabatmu memaki aku?" Lalu laki-laki itu pergi kemudian datang kembali membawa sahabat-sahabatnya, seraya bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak sekali-kali mengucapkan apa yang ditanyakan oleh Nabi; maka Nabi memaafkan mereka kemudian turunlah ayat ini. Orang-orang munafik itu bersumpah dengan nama Allah untuk meyakinkan orang-orang mukmin dan Nabi Muhammad, bahwa apa yang dilaporkan kepada Nabi tentang tipu-muslihat”yang merendahkan martabat Nabi Muhammad saw, atau mengurangi kemahasucian Allah swt”yang mereka ucapkan tidaklah benar dan merupakan fitnah belaka. Mereka tidak mengaku telah mengucapkan kata-kata kufur terhadap Nabi Muhammad. Allah mendustakan pernyataan mereka itu meskipun mereka bersumpah dengan nama Allah. Mereka yang telah mengucapkan kalimat kufur berarti telah murtad dan menjadi kafir kembali sesudah Islam karena mereka telah melampaui batas untuk membinasakan Nabi. Adapun maksud mereka yang gagal untuk menjebak Nabi ketika pulang kembali dari Perang Tabuk adalah ketika Nabi menuju Medinah. Di tengah perjalanan beberapa orang munafik berkomplot untuk mencelakakan Rasulullah. Mereka membuat keputusan rahasia untuk melemparkan Nabi dari salah satu bukit. Ketika mereka sampai di bukit itu mereka menunggu kedatangan Nabi. Ketika Nabi datang kepada mereka (yang sedang menunggu) Nabi diberitahu tentang rencana mereka itu, maka Nabi berkata, "Barang siapa di antara kamu hendak menempuh jalan lembah, hal itu adalah lebih menyenangkan kamu." Rasulullah sendiri menempuh jalan di atas bukit dan rombongan lainnya menempuh jalan lembah kecuali orang-orang yang telah bermaksud melakukan makar terhadap Nabi. Ketika mendengar bahwa Rasul akan menempuh jalan bukit, maka mereka bersiap-siap dan menyamar dengan menutup muka. Sesungguhnya mereka telah membulatkan tekad untuk melakukan perbuatan keji. Rasulullah menyeru Hudhaifah al-Yamani dan Ammar bin Yasir agar berjalan bersama-sama Rasulullah, Ammar ditugaskan memegang tali unta dan Hudhaifah al-Yamani ditugaskan menghalau unta. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba Nabi bersama Ammar dan Hudzaifah mendengar suara kaki orang-orang yang datang dari belakang, maka Rasulullah menjadi marah dan menugaskan Hudzaifah untuk menahan mereka. Setelah Hudzaifah melihat Rasulullah marah, ia berbalik ke belakang, sedang ditangannya ada sebuah tongkat. Hudzaifah menghadapi orang-orang itu dan memukul kendaraan mereka dengan tongkat. Hudzaifah melihat orang-orang itu menyamar yang dianggap oleh Hudzaifah sekedar perbuatan biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang sedang dalam perjalanan (musafir). Ketika orang-orang itu melihat Hudzaifah, Allah menjadikan mereka ketakutan karena menyangka bahwa penyamaran dan niat jahat mereka telah diketahui. Karena itu komplotan tersebut segera bergabung lagi dengan rombongan. Hudzaifah kembali menemui Rasulullah, kemudian Rasul menyuruh Hudzaifah melecut untanya, dan menyuruh Ammar berjalan di belakang sehingga Rasulullah dapat melewati bukit dengan selamat. Kemudian Nabi berkata kepada Hudzaifah, "Adakah engkau mengenal salah seorang dari kalangan pengendara itu?" Dia menjawab, "Aku kenal unta si Fulan. Malam terlalu gelap dan aku datang kepada mereka dimana mereka berpakaian menyamar." Rasulullah berkata, "Mereka itu telah merencanakan suatu makar untuk berjalan bersamaku dan manakala mereka sampai ke bukit, mereka akan melempar aku." Hudzaifah berkata, "Tidakkah engkau (Ya Rasulullah) memberi suatu perintah di mana kami akan cepat memenggal leher mereka itu?" Rasulullah menjawab: Tidak, aku tidak ingin menjadi buah pembicaraan orang bahwa Muhammad telah membunuh sahabat-sahabatnya. (Tafsir Ibnu Kasir, 2/461) Maka Nabi mengemukakan kepada Hudzaifah dan Ammar nama-nama orang yang berkomplot itu agar mereka berdua merahasiakannya. Demikianlah peristiwa jahat yang dilakukan orang-orang munafik yang diungkapkan oleh ayat itu. Orang-orang munafik itu ialah orang-orang Islam yang keimanan mereka hanya secara lahir tidak pada batin. Mereka memusuhi Rasul dan orang-orang mukmin dengan cara yang sangat licik sebagai musuh dalam selimut. Mereka sangat berbahaya bagi Islam. Namun Nabi memperlakukan mereka sebagaimana memperlakukan orang-orang mukmin karena iman tempatnya di hati. Urusan hati hanyalah Allah yang mengetahuinya. Oleh sebab itu satu hukuman hanya bisa diputuskan berdasarkan bukti lahir yang ada. Orang-orang munafik itu diperlakukan sebagaimana orang-orang mukmin. Kepada mereka diberikan zakat demikian juga harta rampasan (ganimah). Kebanyakan mereka dari kalangan orang-orang yang kurang mampu (miskin) sebagaimana orang-orang Anshar. Dengan masuk Islam mereka dapat menikmati harta dunia ini. Semestinya kalau mereka orang yang sadar tentulah mereka akan menanggalkan sifat-sifat kemunafikan mereka dan bersyukur kepada Allah dengan bertobat kepada-Nya. Karena dengan Islamlah mereka mendapat keuntungan duniawi, yang menjadi tujuan hidup mereka. Tetapi mereka tidak menyadari. Bahkan mereka merasa tidak puas menerima keuntungan dan kekayaan yang merupakan karunia Allah dari pembagian harta rampasan (ganimah) atau zakat. Demikianlah keadaan orang yang telah sesat pikirannya. Jika mereka bertobat dari kemunafikan dan perbuatan yang buruk, baik berupa ucapan maupun perbuatan, maka tobat mereka akan membawa kebaikan bagi mereka di dunia dan di akhirat. Di dunia mereka akan menjadi orang Islam sejati dengan iman yang murni. Mereka akan menjadi orang yang bertawakal kepada Allah dan sabar atas cobaan-cobaan-Nya dan banyak beramal kebaikan untuk mencapai kebahagiaan di akhirat dan mereka akan bahu-membahu, bantu membantu, santun menyantuni dengan orang-orang yang lebih dahulu masuk Islam. Di akhirat nanti mereka akan mendapat karunia Allah berupa surga sebagaimana yang dijanjikan Allah kepada orang-orang mukmin. Akan tetapi jika mereka tidak bertobat, berpaling menjauhkan diri dari petunjuk-petunjuk Allah, dan mereka tetap dalam kemunafikan, niscaya Allah akan mengazab mereka di dunia ini seperti hati mereka selalu dalam kecemasan, kegelisahan dan kekhawatiran sebagaimana yang diutarakan di dalam firman Allah: Sekiranya mereka memperoleh tempat perlindungan, gua-gua atau lubang-lubang (dalam tanah), niscaya mereka pergi (lari) ke sana dengan secepat-cepatnya. (at-Taubah/9: 57) Di akhirat nanti mereka memperoleh apa yang diancamkan Allah yaitu api neraka tingkatan yang paling bawah di mana mereka tinggal abadi di dalamnya sebagaimana diutarakan dalam firman Allah: Sungguh, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang bertobat dan memperbaiki diri dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan dengan tulus ikhlas (menjalankan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu bersama-sama orang-orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang yang beriman. (an-Nisa'/4: 145-146) Pada akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa orang-orang munafik itu tidak akan mendapat pembela di dunia dan di akhirat, karena tiap-tiap orang yang telah mendapat kehinaan dari Allah tidak seorang manusiapun sanggup menolongnya.

Ayat 75

Ayat ini menerangkan tentang sifat orang-orang munafik yang suka berjanji dengan janji yang muluk-muluk, berani bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk menguatkan janjinya itu. Mereka berjanji akan menjadi orang pemurah, dermawan dan menjadi orang-orang baik. Akan tetapi mereka dengan mudah saja melanggar janjinya. Perbuatan yang seperti ini akan dijumpai pada diri segelintir manusia pada setiap masa dan di mana saja.

Ayat 76

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa kalau maksud mereka telah berhasil dan apa yang mereka minta sudah terkabul, mereka tidak malu-malu berpaling, memungkiri janjinya, dan mendurhakai Allah. Bila mereka telah kaya, mereka bukan jadi orang pemurah, tetapi mereka bertambah kikir, tidak mau bersedekah, mengeluarkan zakat, membantu orang-orang yang kekurangan, menunjang pembangunan umat dan lain-lain yang masuk amal kebajikan. Mereka lupa akan janji-janji mereka yang diucapkan sebelum Allah memberikan karunia kepada mereka, walaupun sudah diberi peringatan berkali-kali. Padahal menepati janji itu adalah wajib, apalagi kalau janji itu dikuatkan dengan bersumpah dengan nama Allah.

Ayat 77

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa perbuatan orang-orang munafik seperti itu tidaklah akan menguntungkan, tetapi akan mencelakakan diri mereka sendiri. Perbuatan menyalahi janji, kikir, berpaling dari Allah dan mendurhakai-Nya akan membawa akibat menambah dalam penyakit kemunafikan bersarang dalam hati mereka. Penyakit seperti demikian itu akan berlarut-larut sampai akhir hayatnya. Sebab kalau penyakit kemunafikan itu sudah bertambah parah, tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk bertobat. Telah menjadi Sunnah Allah di bumi ini, bahwa seseorang yang telah membiasakan diri mungkir janji dan banyak berdusta, maka penyakit kemunafikan itu semakin terpatri dalam dirinya. Begitu juga bila dia membiasakan dirinya berbuat amal saleh, berakhlak yang baik, serta taat beribadah, maka akan tertanamlah iman yang kuat dalam dirinya. Oleh karena itu, Allah swt menyuruh kaum Muslimin agar berhati-hati terhadap penyakit kemunafikan. Bila berjanji dan dikuatkan dengan menyebut nama Allah maka berusahalah agar janji itu ditepati. Telah bersabda Rasulullah saw. Seseorang itu dianggap munafik, bilamana tiga macam sifat ada padanya, meskipun dia salat, berpuasa dan mengaku mukmin, yaitu apabila berbicara dia berdusta, bila berjanji dia ingkar, dan bila dipercayai dia berkhianat. (Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah)

Ayat 78

Dalam ayat ini Allah swt memperingatkan orang-orang munafik bahwa bagaimanapun pintarnya mereka menyimpan rahasia dalam hati mereka dan bagaimanapun liciknya mereka berbisik-bisik menjelekkan orang-orang yang beriman dan menjelek-jelekkan Rasulullah atau berbisik-bisik sesama mereka untuk mengatur siasat buruk dalam memusuhi orang-orang yang beriman, namun Allah swt akan mengetahuinya. Tidak ada yang tersembunyi bagi Allah sesuatupun juga, baik yang di bumi ataupun yang di langit, demikian pula yang tersembunyi dalam hati, Allah Maha Mengetahui semua yang tersembunyi.

Ayat 79

Sabab Nuzul: Ada beberapa riwayat yang menerangkan sebab turunnya ayat ini, di antaranya ialah seperti yang dinukilkan oleh al-Wahidi dalam kitab Asbab an-Nuzul: diriwiyatkan oleh al-Bazzar dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda, "Bersedekahlah kamu, sesungguhnya aku akan mengirimkan satu pasukan untuk pergi berperang (Perang Tabuk)," maka datanglah Abdurrahman bin Auf menghadap Rasulullah saw lalu berkata, "Ya Rasulullah, saya ada mempunyai 4 ribu dinar, yang dua ribu aku sedekahkan sebagai pinjamanku kepada Tuhan dan dua ribu dinar lagi untuk belanja rumah tanggaku." Rasulullah saw menjawab, "Semoga Allah memberimu berkah atas pemberianmu itu, dan memberi berkat pula terhadap yang engkau tinggalkan." Kemudian datang lagi seorang dari kaum Anshar yang mempunyai dua gantang kurma, seraya berkata, "Ya Rasulullah, saya ada mempunyai dua gantang kurma, yang satu gantang aku sedekahkan dan satu gantang lagi untuk keluargaku." Menyaksikan kejadian itu orang-orang munafik mengejek seraya katanya, "Abdurrahman bin Auf hanya mau memberikan sedekahnya karena ria saja." Sedang yang memberikan satu gantang kurma, mereka mengejek dengan kata, "Allah dan Rasul tidak memerlukan yang segantang ini." Maka turunlah ayat ini. Dalam ayat ini Allah swt menerangkan bagaimana ejekan dan hinaan orang-orang munafik terhadap orang-orang mukmin yang dengan penuh kepatuhan memberikan sedekah mereka kepada Rasulullah untuk dana tentara Islam berperang. Kepada yang memberikan banyak, mereka mengejek dengan perbuatan ria dan kepada yang memberikan sedikit, mereka hina pula, padahal orang-orang mukmin memberikan sedekah itu, adalah dengan hati yang ikhlas semata-mata karena Allah mengharapkan keridaan Allah. Ejekan dan hinaan orang-orang munafik seperti itu tidak mengurangi semangat orang-orang mukmin untuk berjuang, bahkan mereka sendirilah yang akan dicelakakan. Allah swt akan menghina dan mengejek mereka dan bagi mereka disediakan siksa yang pedih nanti di akhirat.

Ayat 80

Sabab Nuzul: Dari Urwah r.a. bahwa 'Abdullah bin Ubay berkata, "Jika kalian tidak memberi infak kepada Muhammad dan sahabatnya, pasti mereka akan meninggalkannya." 'Abdullah berkata, "Orang yang mulia pasti mengusir yang lemah." Maka Allah turunkan, "Kamu memohonkan ampun atau tidak untuk mereka?" Rasul bersabda, "Aku akan lebihkan tujuh puluh kali." Maka Allah turunkan, "Sama saja bagi mereka kamu mohonkan ampun atau tidak, Allah tidak akan mengampuni." Ayat ini mengandung peringatan, khususnya ditujukan kepada Nabi Muhammad saw dan pada umumnya ditujukan kepada orang mukmin. Sikap orang munafik terhadap Rasul saw dan orang mukmin tidak dapat diharapkan. Mereka akan tetap dalam kemunafikan sampai mati. Tidak ada faedahnya, dimintakan ampun bagi mereka atau tidak dimintakan ampun, sebab Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa mereka. Biarpun berulang kali dimintakan ampun, sampai tujuh puluh kali sekalipun, tidak juga akan berhasil, karena yang menyebabkan mereka munafik itu ialah keingkaran mereka kepada Allah dan kepada Rasul. Mereka tidak yakin, bahwa Allah mengetahui semua yang gaib, mereka tidak percaya kepada wahyu Allah yang disampaikan kepada Rasulullah saw, tentang hari Kiamat, hari kebangkitan dan hari pembalasan. Mereka bukan saja tergolong orang-orang munafik, tetapi juga tergolong orang-orang fasik, yaitu tidak mau menerima kebenaran dan terus-menerus membangkang, berbuat apa yang sudah di luar batas. Maka Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada golongan yang fasik.

Ayat 81

Ayat ini menerangkan keadaan orang-orang munafik yang tidak diikutkan oleh Nabi untuk berperang. Peristiwa ini terjadi pada Perang Tabuk, yaitu perang yang terjadi sesudah penaklukan kota Mekah. Perang ini adalah perang yang terakhir dilakukan Rasulullah saw. Ada orang yang menyampaikan berita kepada Rasulullah bahwa kerajaan Romawi telah menyiapkan angkatan perangnya untuk menyerang kaum Muslimin di perbatasan utara tanah Arab. Pada waktu itu sedang musim panas yang sangat terik, jarak perjalanan dari Medinah ke tempat perbatasan itu sangat jauh. Kesulitan dan kesukaran dalam perjalanan sangat banyak. Sedang waktu itu kaum Muslimin berada dalam situasi serba kekurangan. Rasulullah mulai menyiapkan tentara untuk pergi menghadapi angkatan perang kerajaan Romawi itu. Kepada orang-orang kaya Rasulullah saw meminta bantuan untuk bekal dalam peperangan. Maka berdatanganlah bantuan berupa uang dan benda dari hartawan dan dermawan secara ikhlas, karena hendak meninggikan kalimah Allah di atas permukaan bumi. Segenap kabilah yang telah memeluk Islam telah menyatakan ketaatannya untuk turut berperang bersama Rasulullah saw. Mereka telah menyediakan dirinya dan hartanya untuk berperang. Mereka tidak takut panas teriknya matahari, tidak takut lapar dan dahaga dalam perjalanan mengarungi padang pasir yang sangat jauh, untuk menggempur musuh yang angkara murka. Akhirnya Rasulullah dapat mengumpulkan angkatan perangnya dengan sempurna sebanyak 30.000 orang, di antaranya ada kira-kira 10.000 barisan berkuda. Rasulullah saw mengetahui bahwa dalam angkatan itu turut pula 'Abdullah bin Ubay, pimpinan orang munafik, bersama-sama dengan pengikut-pengikutnya. Oleh karena itu, Rasulullah saw meragukan itikad baik orang-orang munafik itu, takut kalau-kalau di tengah perjalanan mereka akan mengacau, maka Rasulullah saw menyuruh mereka tinggal saja di Medinah dan tidak usah ikut berperang. Mereka itulah yang dimaksudkan dalam ayat ini, bahwa mereka merasa gembira dan beruntung tidak diikutsertakan oleh Rasulullah berperang di Tabuk. Sebenarnya hati mereka tidak mau berperang, baik dengan harta ataupun dengan diri mereka untuk menegakkan agama Allah. Tidak tergores sedikitpun dalam hati mereka, bahwa turut berperang itu adalah keuntungan besar. Tetapi mereka berbuat sebaliknya; mereka mengacau dan melemahkan semangat berperang kaum Muslimin. Mereka mengatakan kepada kawan-kawan mereka, tidak usah ikut berperang. Segala kesukaran seperti panas dan terik, jauhnya perjalanan, kurangnya perbekalan dan lain-lainnya, selalu mereka jadikan alat propaganda untuk menghalang-halangi kaum Muslimin berperang dan untuk memadamkan semangat perjuangan. Tetapi semuanya itu tidak melemahkan semangat kaum Muslimin malahan menambah semangat dan kekuatan, sehingga akhirnya kaum Muslimin kembali dari perang Tabuk itu dengan selamat, setelah musuh mundur dengan penuh ketakutan, Rasulullah disuruh menyampaikan kepada orang-orang munafik, bahwa api neraka Jahannam yang akan mereka derita nanti lebih panas jika mereka mau mengerti.

Ayat 82

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang munafik itu sepantasnya lebih banyak menangis daripada tertawa memikirkan nasib dan dosa mereka di dunia dan di akhirat karena mereka akan menerima azab yang pedih, sesuai dengan perbuatan mereka di dunia. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan kerugian karena perbuatan mereka sendiri, yaitu menghina dan mengejek orang-orang mukmin, membuat propaganda busuk untuk menghalang-halangi orang Islam dan mematahkan semangat perjuangan. Sedang di akhirat nanti membawa dosa yang banyak dan tidak dapat ampunan dari Allah swt. Hal ini sesuai pula dengan sabda Rasulullah yang ditujukan kepada orang-orang mukmin. Telah bersabda Rasullah saw: Jika kamu ketahui apa-apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan sedikit tertawa dan banyak menangis, meluaskan kemunafikan dan lenyapnya amanat, dicabutnya rahmat, orang yang jujur dituduh dan orang yang curang dipercayai. Huru-hara mencekam kamu, fitnahpun mencekam keadaan menjadi gelap seperti malam yang gelap gulita. (Riwayat al-hakim dari Abu Hurairah)

Ayat 83

Dalam ayat ini Allah swt memberikan peringatan kepada Rasulullah agar berhati-hati terhadap orang munafik bila telah kembali dari Perang Tabuk. Orang-orang munafik itu akan merencanakan minta maaf kepada Rasulullah saw dan menyatakan penyesalan mereka karena tidak dapat turut berperang bersama Nabi ke Tabuk. Padahal mereka merasa beruntung tidak ikut perang ke Tabuk itu dan terhindar dari bahaya. Tetapi setelah Rasulullah saw bersama kaum Muslimin kembali dari medan perang dengan selamat, mereka merasa malu dan terhina, dan berjanji dalam hati mereka akan turut berperang bersama Rasulullah. Maka Allah swt mengingatkan Nabi agar orang-orang munafik itu jangan diberi izin turut serta berperang karena mereka tetap tidak akan jujur dalam peperangan. Mereka pasti akan melakukan berbagai tindakan untuk merongrong Rasulullah dan kaum Muslimin. Oleh karena itu Rasulullah saw diperintahkan untuk menyatakan dengan tegas bahwa mereka tidak dibenarkan turut berperang bersama Rasulullah saw untuk selama-lamanya. Mereka tidak akan sanggup memerangi musuh bersama Rasulullah seperti halnya kaum Muslimin yang dengan rela mengorbankan harta dan jiwanya untuk berperang fisabilillah. Sikap mereka sewaktu menghadapi Perang Tabuk menunjukkan bahwa mereka lebih senang tidak turut berperang dan tetap tinggal di Madinah bersama orang-orang yang uzur, seperti anak-anak, wanita-wanita, dan orang-orang tua yang sudah lemah.

Ayat 84

Dalam ayat ini Allah swt melarang menyalati jenazah orang-orang munafik. Juga melarang berdoa di atas kuburannya sesudah dikuburkan, seperti yang biasa dilakukan Rasulullah terhadap orang-orang mukmin yang sudah dikubur sebagaimana tersebut dalam hadis berikut: Adalah Nabi apabila sesudah menguburkan seorang mayat, beliau berdiri di kubur itu seraya berkata, "Mintakanlah ampunan bagi saudaramu ini doakanlah agar dia tetap (dalam keimanan) sebab sekarang dia sedang ditanya." (Riwayat Abu Dawud dan al-Bazzar dari 'Utsman) Peristiwa yang terjadi pada 'Abdullah bin Ubay ini cukup menggentarkan orang-orang munafik lainnya, suatu penghinaan yang cukup berat dijatuhkan atas diri mereka. Tetapi mereka masih tetap dalam kemunafikannya. Ini merupakan hukuman bagi mereka di dunia, sebab mereka selalu ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka tergolong orang-orang yang fasik, terlampau berani mempermainkan perintah dan larangan Allah. (85) Ayat ini hampir bersamaan bunyinya dengan ayat 55 dalam surah ini. Maka pada ayat ini Allah swt mengulangi lagi, agar kaum Muslimin jangan sampai terpengaruh oleh kekayaan dan harta benda orang-orang munafik itu. Begitu pula jangan sampai terpengaruh oleh anak-anak mereka. Kalau ada di antaranya mereka yang kaya, banyak harta, banyak anak dan keturunannya, semua itu tidaklah akan membahagiakan mereka dan tidak akan menyelamatkan mereka dari siksa Allah. Semuanya itu akan menyusahkan mereka, menjadikan mereka teraniaya dan sengsara karenanya. Bagaimana mereka bersusah payah dalam mencari harta dan kekayaan itu, begitu pula mereka dibikin susah olehnya. Ada-ada saja peristiwa yang terjadi karena harta dan kekayaannya, dan anak-anak mereka cukup membuat mereka seolah-olah mendapat azab dunia. Maka harta dan kekayaan serta anak-anak mereka itu, bukan lagi menjadi nikmat, tetapi menjadi azab bagi mereka. Mereka tidak akan mendapat pertolongan sedikitpun dari harta dan anak-anaknya. Tidak ada manfaatnya sama sekali, dan akhirnya mereka mati dalam kekafiran.

Ayat 85

Ayat ini hampir bersamaan bunyinya dengan ayat 55 dalam surah ini. Maka pada ayat ini Allah swt mengulangi lagi, agar kaum Muslimin jangan sampai terpengaruh oleh kekayaan dan harta benda orang-orang munafik itu. Begitu pula jangan sampai terpengaruh oleh anak-anak mereka. Kalau ada di antaranya mereka yang kaya, banyak harta, banyak anak dan keturunannya, semua itu tidaklah akan membahagiakan mereka dan tidak akan menyelamatkan mereka dari siksa Allah. Semuanya itu akan menyusahkan mereka, menjadikan mereka teraniaya dan sengsara karenanya. Bagaimana mereka bersusah payah dalam mencari harta dan kekayaan itu, begitu pula mereka dibikin susah olehnya. Ada-ada saja peristiwa yang terjadi karena harta dan kekayaannya, dan anak-anak mereka cukup membuat mereka seolah-olah mendapat azab dunia. Maka harta dan kekayaan serta anak-anak mereka itu, bukan lagi menjadi nikmat, tetapi menjadi azab bagi mereka. Mereka tidak akan mendapat pertolongan sedikitpun dari harta dan anak-anaknya. Tidak ada manfaatnya sama sekali, dan akhirnya mereka mati dalam kekafiran.

Ayat 86

Ayat ini menerangkan bagaimana lemahnya iman orang-orang munafik dan bagaimana pengecutnya mereka. Bukan saja terdapat pada orang-orang biasa, tetapi juga pada orang-orang kaya. Kalau ada surah turun yang ayat-ayatnya memerintahkan agar beriman dan berjihad bersama Rasulullah, orang-orang kaya dari mereka buru-buru datang menghadap Rasulullah, meminta izin agar tidak ikut berjihad dan berperang. Mereka tidak malu membuat alasan yang dibuat-buat untuk menguatkan permohonan mereka kepada Rasulullah saw, padahal mereka mampu dan kuat untuk berjihad dari segi kesehatan dan kemampuan. Dengan enteng, mereka mengatakan biarlah kami tinggal di rumah bersama orang-orang lemah yang tidak ikut berperang. Cara-cara yang demikian itu menunjukkan bahwa mereka lebih mencintai kesenangan dan harta benda mereka daripada mencintai Allah dan Rasul-Nya. Hal yang serupa ini dijelaskan pula oleh Allah swt dalam firman-Nya: Dan orang-orang yang beriman berkata, "Mengapa tidak ada suatu surah (tentang perintah jihad) yang diturunkan?" Maka apabila ada suatu surah diturunkan yang jelas maksudnya dan di dalamnya tersebut (perintah) perang, engkau melihat orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit akan memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati. Tetapi itu lebih pantas bagi mereka." (Muhammad/47: 20)

Ayat 87

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang munafik itu merasa senang tidak ikut berjihad fisabilillah. Mereka lebih senang tinggal bersama orang-orang lemah yang tidak kuat ikut berperang, yaitu perempuan-perempuan yang menjaga rumah tangga. Mereka tidak sedikit pun merasa malu tinggal bersama orang-orang perempuan yang tidak ikut berperang itu. Padahal mereka adalah orang-orang yang kuat, sehat, dan mampu untuk turut berperang. Walaupun banyak yang mengejek dan mentertawakan, namun ejekan itu bagi mereka tidak ada artinya, karena perasaan malu bagi mereka tidak ada lagi. Yang demikian itu adalah pertanda bahwa iman mereka sangat lemah dan hati mereka sudah dipengaruhi kebendaan. Oleh karena itu Allah menutup mati hati mereka, mereka tidak mau menerima kebenaran, pelajaran dan nasihat dari siapapun juga. Penyakit kemunafikan itu telah membalut seluruh hati mereka, sehingga mereka tidak dapat mempergunakan pikiran yang sehat untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan, bahwa ikut berjihad dan berperang itu adalah suatu keuntungan dan tinggal di rumah adalah merugikan dan memalukan.

Ayat 88

Dalam ayat ini Allah menerangkan perbedaan yang sangat jauh antara sifat-sifat Rasul dan orang-orang yang beriman di satu pihak dengan sifat dan tingkah laku orang-orang munafik di pihak lain. Rasul dan orang-orang mukmin, senang dan gembira berjihad dan berperang dengan harta dan dirinya untuk membela dan meninggikan kalimah Allah untuk menyiarkan agama-Nya di permukaan bumi ini. Mereka lebih mencintai Allah daripada mencintai harta kekayaan dan diri mereka. Keyakinan mereka kalau hidup hendaknya hidup mulia dan terhormat dan kalau mati, hendaknya mati syahid di medan perang. Di dalam hati orang-orang mukmin tidak akan ditemui sifat malas, enggan berperang dan bakhil memberikan harta kekayaan dalam berjihad fisabilillah. Mereka percaya bahwa berjihad fisabilillah itu akan mendatangkan kebaikan yang banyak kepada mereka dan umat Islam. Kebaikan-kebaikan yang banyak itu adalah berupa kemenangan, tingginya kalimah Allah, tegaknya keadilan dan kebenaran, di samping mendapatkan harta rampasan, dan luasnya kekuasaan Islam di permukaan bumi. Juga mereka percaya, bahwa mereka akan mendapat kabahagiaan di dunia dan di akhirat. Di dunia menjadi orang yang mulia dan terhormat, sedang di akhirat mendapat balasan surga Jannatunnaim, yang penuh dengan kesenangan dan kenikmatan yang abadi. Di dalamnya mengalir sungai-sungai yang menyejukkan. Kesenangan dan kebahagiaan yang berlimpah-limpah itu diberikan Allah kepada orang-orang mukmin.

Ayat 89

Dalam ayat ini Allah menerangkan perbedaan yang sangat jauh antara sifat-sifat Rasul dan orang-orang yang beriman di satu pihak dengan sifat dan tingkah laku orang-orang munafik di pihak lain. Rasul dan orang-orang mukmin, senang dan gembira berjihad dan berperang dengan harta dan dirinya untuk membela dan meninggikan kalimah Allah untuk menyiarkan agama-Nya di permukaan bumi ini. Mereka lebih mencintai Allah daripada mencintai harta kekayaan dan diri mereka. Keyakinan mereka kalau hidup hendaknya hidup mulia dan terhormat dan kalau mati, hendaknya mati syahid di medan perang. Di dalam hati orang-orang mukmin tidak akan ditemui sifat malas, enggan berperang dan bakhil memberikan harta kekayaan dalam berjihad fisabilillah. Mereka percaya bahwa berjihad fisabilillah itu akan mendatangkan kebaikan yang banyak kepada mereka dan umat Islam. Kebaikan-kebaikan yang banyak itu adalah berupa kemenangan, tingginya kalimah Allah, tegaknya keadilan dan kebenaran, di samping mendapatkan harta rampasan, dan luasnya kekuasaan Islam di permukaan bumi. Juga mereka percaya, bahwa mereka akan mendapat kabahagiaan di dunia dan di akhirat. Di dunia menjadi orang yang mulia dan terhormat, sedang di akhirat mendapat balasan surga Jannatunnaim, yang penuh dengan kesenangan dan kenikmatan yang abadi. Di dalamnya mengalir sungai-sungai yang menyejukkan. Kesenangan dan kebahagiaan yang berlimpah-limpah itu diberikan Allah kepada orang-orang mukmin.

Ayat 90

Ayat-ayat ini menerangkan bagaimana pula keadaan orang-orang munafik yang tinggal di luar kota Medinah yang tinggal di kampung-kampung penduduk padang pasir yang biasa dipanggil orang dengan Arab Badui. Mereka sengaja datang menghadap Rasulullah untuk mengemukakan alasan agar Rasulullah berkenan memberi izin untuk tidak ikut berperang. Kejadian ini diterangkan dalam suatu riwayat yang diceritakan oleh seseorang yang bernama adz-ahhak, yaitu: "Ada suatu kelompok Badui dari golongan Amir bin thufail datang menghadap Rasulullah seraya berkata, "Ya Nabi Allah, kami tidak turut berperang bersama engkau, kami merasa khawatir, kalau-kalau perempuan kami, anak-anak kami, dan binatang-binatang ternak kami habis dirusak dan dirampok oleh penjahat-penjahat." Maka Rasulullah menjawab, "Allah sudah memberitahukan kepadaku tentang keadaanmu; semoga Allah akan memaafkan dan menyelamatkanmu." Bermacam-macam alasan yang mereka kemukakan kepada Rasulullah, ada alasan yang dibuat-buat dan ada alasan yang sebenarnya agar mereka diberi izin untuk tidak turut berperang. Mereka yang datang menghadap Rasulullah dengan mengemukakan alasan yang sebenarnya itu adalah kalangan orang-orang mukmin, dan mereka yang datang dengan alasan yang dibuat-buat adalah dari golongan orang-orang munafik. Ada segolongan lagi, yaitu orang-orang yang tidak datang menghadap Rasulullah untuk minta izin. Mereka itu sengaja duduk dan tinggal di rumahnya, tidak mau turut berjihad dan berperang. Mereka ini jelas termasuk orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Merekalah orang-orang munafik yang sudah parah dan sangat berbahaya. Menurut pendapat Umar bin Ala', baik mereka yang minta izin dengan mengemukakan alasan yang dibuat-buat, maupun yang duduk tinggal di rumah, tidak mau ikut berjihad dan berperang, kedua golongan itu sama-sama jeleknya dan sama-sama berbahaya. Kedua golongan itu sudah termasuk golongan orang kafir yang akan mendapat siksa yang pedih dari Allah, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.

Ayat 91

Sabab Nuzul: Ada beberapa riwayat yang menerangkan sebab turunnya ayat ini. Di antaranya riwayat yang diterangkan oleh Ibnu Abi hatim dari Zaid bin sabit dia mengatakan, "Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Ketika aku menulis surah Baraah, kemudian pena kuletakkan di atas telingaku, maka turunlah wahyu yang memerintah-kan kami berperang. Ketika Rasulullah memperhatikan wahyu yang diturun-kan kepadanya, tiba-tiba datang seorang buta, seraya berkata, "Ya Rasulullah, bagaimana caranya agar saya ikut berperang, sedang saya orang buta," maka turunlah ayat ini." Dalam ayat ini diterangkan, orang-orang yang dibolehkan tidak ikut berperang yakni bebas dari kewajiban ikut berperang. Mereka ini tidak termasuk orang yang bersalah dan tidak berdosa karena meninggalkan kewajiban berperang bilamana mereka benar-benar mempunyai alasan yang dapat dibenarkan, dan alasan itu dikemukakannya dengan jujur dan ikhlas, yaitu: 1. Orang lemah, yaitu orang yang lemah fisiknya yang tidak memungkinkan dia ikut berperang, seperti orang lanjut usia, perempuan dan anak-anak, begitu juga orang cacat, seperti buta, pekak, lumpuh, patah, dan sebagainya. 2. Orang sakit yang tidak mungkin ikut berperang. Tetapi kalau sudah sembuh mereka wajib ikut berperang. 3. Orang miskin yang tidak mempunyai sarana dan bekal untuk perang. Ketiga golongan ini bebas dari kewajiban berperang. Namun demikian karena kejujuran dan keikhlasannya kepada Allah dan Rasul, dia masih merasa berkewajiban untuk mengerjakan tugas-tugas yang lain seperti menjaga rumah dan kampung, mengawasi kalau ada mata-mata dan pengkhianat, memelihara rahasia, menyuruh orang agar tetap tenang, berbuat kebajikan dan berdoa, agar orang mukmin yang pergi berperang dilindungi oleh Allah dan mendapat kemenangan yang gilang-gemilang. Ketiga macam orang-orang yang mempunyai alasan yang dibenarkan syara ini, betul-betul mereka ikhlas, beriman kepada Allah dan taat kepada Rasul, mereka tergolong orang-orang yang berbuat kebajikan. Mereka ini tidak termasuk orang-orang yang bersalah, berdosa dan disiksa. Pada akhir ayat ini dijelaskan, bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Artinya Allah banyak ampunan-Nya dan luas rahmat-Nya, terhadap hamba-hamba-Nya yang lemah dalam menunaikan kewajibannya, selama mereka jujur dan ikhlas kepada Allah dan kepada Rasul-Nya.

Ayat 92

Sabab Nuzul: Di dalam sebuah riwayat yang diterangkan oleh Ibnu Jarir ath -thabari dari Ibnu 'Abbas, dia berkata, "Rasulullah memerintahkan agar orang-orang mukmin bersiap untuk pergi berperang. Maka segolongan dari para sahabatnya yang bernama 'Abdullah bin Saffal al-Muzani berkata, "Ya Rasulullah, sediakanlah untuk kami kendaraan (kami miskin tidak mempunyai kendaraan)." Rasulullah menjawab, "Demi Allah, aku tidak sanggup menyediakan kendaraan yang akan membawa saudara-saudara ke medan perang." Maka turunlah ayat ini, lalu mereka semuanya menangis, karena tidak dapat ikut berperang, karena kendaraan dan alat perlengkapan perang sangat penting apabila medan perang letaknya sangat jauh." Kendaraan itu merupakan perlengkapan perang yang sangat penting untuk setiap masa. Apabila pada masa dahulu kendaraan yang diperlukan hanya unta, keledai dan kuda, maka pada masa-masa berikutnya manusia menciptakan kendaraan yang berkecepatan tinggi yang dapat dipergunakan untuk lalu lintas darat, laut dan udara. Dengan turunnya ayat ini terhiburlah hati mereka yang datang menghadap Rasulullah itu, tetapi air mata mereka bercucuran menangis karena tidak dapat ikut berperang bersama Rasulullah karena mereka dalam keadaan miskin, tidak mempunyai kendaraan. Kalau tempat berperang tidak begitu jauh maulah rasanya mereka berjalan kaki saja, karena keinginan mereka berjihad dan mencari keridaan Allah. Begitulah semangat dan ruh Islam yang berkobar dalam dada setiap muslim yang tidak akan padam buat selama-lamanya. Dengan semangat seperti itulah Islam bisa tegak dan maju dan kalimah Allah akan menjulang tinggi di bumi ini. Dalam ayat ini diterangkan alasan yang lain yang dibenarkan syara bagi seseorang yang tidak ikut berperang. Alasan tersebut ialah karena mereka tidak mempunyai kendaraan yang dapat mengangkut mereka ke medan perang, apalagi kalau tempat yang dituju itu jauh letaknya, yang tidak bisa dicapai dengan jalan kaki, seperti halnya Perang Tabuk yang sangat jauh yang dapat ditempuh hanya dengan mengarungi padang pasir, berhari-hari dan berminggu-minggu, baru sampai di tempat yang dituju. Maka kepada mereka yang tidak mempunyai kendaraan, dibolehkan tidak ikut, mereka ini terhitung tidak besalah dan tidak berdosa bila tinggal di rumahnya.

Ayat 93

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang kaya yang mampu, yang datang menghadap Rasulullah untuk meminta izin tidak akan ikut berperang, tidak dibenarkan meninggalkan kewajiban berperang. Mereka itu dianggap orang-orang yang bersalah dan patut mendapat hukuman karena kesalahannya itu. Berbeda dengan orang-orang yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas, yaitu orang-orang yang mempunyai alasan yang dibenarkan syara dan dikemukakannya dengan ikhlas dan jujur untuk tidak ikut berperang, maka mereka tidak dapat disalahkan sama sekali. Orang-orang yang kaya yang sanggup berperang karena mereka mampu menyediakan perbekalan dan kendaraan, tidak mempunyai alasan untuk minta izin tidak ikut berperang. Itulah sebabnya maka mereka dikatakan orang-orang yang bersalah dan sudah sepantasnya kalau Allah menutup mati hati mereka, karena mereka tidak mau menerima kebenaran sedikit pun juga. Akhirnya mereka bergelimang dalam kesusahan dan dosa, sedang mereka tidak mengetahui akibat dari perbuatan yang mereka lakukan.

Ayat 94

Dalam ayat ini disebutkan hal-hal yang akan dihadapi Nabi dan kaum Muslimin setelah kembali dari Perang Tabuk, yaitu bahwa orang-orang munafik yang tidak ikut dalam peperangan tanpa alasan pasti akan datang menemui Rasulullah dan kaum Muslimin untuk meminta maaf atas ketidakhadiran mereka di medan perang. Maka Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar beliau mengatakan kepada orang-orang munafik itu bahwa mereka tidak perlu meminta maaf, karena Rasulullah dan kaum Muslimin tidak akan mempercayai alasan-alasan palsu yang mereka kemukakan, sebab Allah telah memberitahukan kepada Rasul-Nya dan kaum Muslimin semua hal ikhwal dan sifat-sifat jelek kaum munafik itu. Allah dan Rasul-Nya hanya memperhatikan sikap dan tingkah laku mereka selanjutnya, apakah mereka benar-benar sudah insyaf dan meninggalkan kekufuran mereka serta kembali kepada iman dan taat kepada Allah, ataukah mereka akan tetap dalam kekufuran itu. Kemudian mereka akan dikembalikan kepada Zat Yang Maha Mengetahui semua hal-hal yang gaib dan yang nyata, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka segala apa yang telah mereka perbuat sewaktu hidup di dunia. Dengan perkataan lain, tidak ada gunanya lagi bagi mereka mengemuka-kan bermacam-macam alasan atas ketidakhadiran mereka di medan perang, sebab semua rahasia yang tersimpan dalam hati mereka sudah cukup diketahui oleh Rasulullah dan kaum Muslimin melalui wahyu Allah. Selanjutnya terserah kepada mereka sendiri. Jika benar-benar mereka telah menyadari kesalahan, lalu bertobat dan memohon ampun kepada Allah, maka Allah akan menerima tobat mereka, maka Rasulullah pun akan memberi maaf kepada mereka.

Ayat 95

Dalam ayat ini Allah menjelaskan kepada Rasul-Nya, bahwa apabila beliau dan kaum Muslimin telah kembali nanti dari peperangan itu, maka kaum munafik akan datang kepada beliau seraya bersumpah dengan nama Allah (menguatkan apa yang mereka ucapkan), agar Rasulullah berpaling dari mereka dengan tidak menghiraukan perbuatan mereka yang tidak ikut berperang. Kemudian Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, agar beliau betul-betul memalingkan muka dari kaum munafik sebagai penghinaan kepada mereka. Berikutnya, Allah menjelaskan alasan mengapa Rasulullah harus memalingkan muka dari kaum munafik karena mereka itu najis. Artinya sikap dan perbuatan mereka itu kotor, sehingga mereka harus dijauhi, seperti menjauhkan kain yang bersih dari sesuatu yang najis. Hal ini sejalan dengan apa yang terdapat dalam firman Allah: Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis (kotor jiwa). (at-Taubah/9: 28) Akhirnya Allah menyatakan, bahwa tempat kembali kaum munafik di akhirat kelak adalah neraka Jahanam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka lakukan selama di dunia, yaitu kekufuran yang telah mengotori diri mereka; dan kekotoran itu semakin bertambah akibat berpalingnya mereka dari ayat-ayat Allah. Keterangan semacam ini akan didapat nanti pada firman Allah: Dan adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, maka (dengan surah itu) akan menambah kekafiran mereka yang telah ada dan mereka akan mati dalam keadaan kafir. (at-Taubah/9: 125)

Ayat 96

Ayat ini menegaskan sekali lagi bahwa kaum munafik itu akan bersumpah dengan nama Allah untuk meminta maaf kepada Rasulullah dan kaum Muslimin agar beliau dan kaum Muslimin rida (senang) kepada mereka serta memaafkan segala kesalahan mereka. Sesudah itu Allah menegaskan, bahwa tidak sepatutnya Rasulullah dan kaum Muslimin senang dan rida kepada kaum munafik, karena Allah sendiri tidak senang kepada kaum yang fasik. Kemurkaan Allah kepada kaum munafik adalah disebabkan karena keingkaran dan sifat-sifat jelek mereka. Andaikata ada di antara orang-orang mukmin itu orang yang bersimpati, kepada kaum munafik maka orang itu pun akan ditimpa kemurkaan Allah. Akan tetapi, bila kaum munafik itu bertobat dan memohon ampun kepada Allah serta meninggalkan kemunafikan dan sifat-sifat jelek mereka sebelum ajal mereka tiba, maka Allah akan menerima tobat mereka dan memberikan ampunan atas dosa-dosa yang telah mereka perbuat.

Ayat 97

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kekafiran dan kemunafikan orang-orang Arab Badui, lebih hebat dari pada kekafiran dan kemunafikan orang-orang Arab yang telah berbudaya yang hidup menetap di kota-kota dan di desa-desa. Orang Arab Badui itu hidup di padang pasir, selalu berpindah-pindah, dalam lingkungan alam yang tandus, jauh dari sebab-sebab kemajuan, dan jauh dari bimbingan para ulama, sehingga mereka jarang mendapatkan pelajaran mengenai Al-Qur'an dan Hadis. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila mereka tidak mengetahui hukum-hukum yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Dalam penjelasan ayat ini terdapat suatu sindiran bagi orang-orang yang hidup di kota, bahwa mereka itu seharusnya lebih berpengetahuan dan lebih maju dari orang-orang Badui. Sebab mereka itu dapat bergaul dan menimba pelajaran dari kaum cendekiawan, apabila tidak demikian halnya maka mereka ini sama dengan orang-orang Badui yang hidupnya mengembara dan jauh dari bimbingan para ulama. Ibnu Katsir mengatakan bahwa orang-orang Arab Badui bersifat kasar dan keras, maka Allah tidak mengutus seorang Rasul pun dari kalangan mereka. Dalam hal ini Allah telah berfirman: Dan Kami tidak mengutus sebelummu (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. (Yusuf/12: 109) Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah Mahatahu hal ihwal hamba-Nya, beriman atau kafir, jujur maupun munafik, dan Dia amat bijaksana dalam menetapkan syariat dan hukum-hukum-Nya, dan dalam memberikan balasan kepada hamba-hamba-Nya, baik berupa surga Jannatun-na'im ataupun azab neraka yang amat pedih.

Ayat 98

Dalam ayat ini diterangkan contoh lain dari sifat orang Badui yang munafik, yaitu mereka yang menyumbangkan sebagian dari harta benda mereka untuk berjihad di jalan Allah, akan tetapi dengan jalan riya. Mereka menganggap harta benda yang mereka berikan, baik karena ketaatan mereka maupun karena terpaksa demi menjaga keselamatan diri dan kaum mereka dari hal-hal yang tidak mereka inginkan. Mereka memandang bahwa infak tersebut sama sekali tidak mendatangkan kemanfaatan apapun bagi mereka di akhirat kelak, karena mereka tidak beriman pada adanya hari kebangkitan, di mana setiap orang akan menerima balasan atas segala perbuatan yang telah dilakukannya di dunia ini. Menurut keterangan Ibnu Zaid, orang-orang yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah Bani Â'sad dan Bani Gathafan. Selain sifat-sifat jelek di atas, orang-orang munafik tersebut selalu mengharapkan dan menanti-nanti datangnya malapetaka yang menimpa kaum Muslimin sehingga kekuatan mereka menjadi lemah. Bila hal itu terjadi, maka orang-orang munafik itu tidak perlu lagi menyumbangkan harta benda mereka untuk kepentingan jihad. Dalam kenyataannya, mereka selalu menunggu-nunggu agar kaum musyrik dan Yahudi dapat mengalahkan kaum Muslimin. Akan tetapi, setelah tipu daya mereka tidak membawa hasil, maka mereka menunggu wafatnya Rasulullah saw, karena mereka menganggap bahwa dengan wafatnya Rasulullah agama Islampun akan sirna dan lenyap dari muka bumi. Karena sikap dan pandangan mereka yang semacam itu, maka dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa merekalah yang akan ditimpa malapeka itu, sedang kaum Muslimin tidak akan mengalami malapetaka bahkan mereka akan memperoleh pertolongan dari Allah. Di samping itu, musuh-musuh Islam akan menemui kegagalan serta ditimpa azab di dunia ini sebelum mendapat azab yang lebih hebat di akhirat kelak. Pada akhir ayat ini kembali ditegaskan bahwa Allah Maha Mendengar segala ucapan hamba-Nya, yang mengekpresikan perasaan hatinya dan mengetahui rahasia yang terkandung dalam hati mereka, apakah itu berbentuk keimanan atau kekafiran, keikhlasan atau kemunafikan. Allah akan memberikan balasan kepada mereka akibat ucapan dan perbuatan mereka itu.

Ayat 99

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa tidak semua orang Arab Badui mempunyai sifat-sifat kekufuran dan kemunafikan seperti tersebut di atas. Bahkan sebagian dari mereka itu orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dengan keimanan yang teguh. Mereka yakin tentang kemahakuasaan Allah atas semua makhluk-Nya, dan yakin pula tentang adanya hari akhir, di mana setiap orang akan menerima balasan atas semua perbuatan yang telah dilakukannya selama hidup di dunia. Di samping keimanan kepada Allah dan hari akhir, mereka juga menginfakkan harta mereka di jalan Allah. Apa yang mereka infakkan itu mereka pandang sebagai suatu jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mendapatkan doa Rasulullah saw, karena Rasulullah senantiasa mendoakan kebaikan untuk orang-orang yang suka bersedekah dan menginfakkan harta bendanya di jalan Allah. Rasulullah saw juga selalu memohonkan ampun kepada Allah untuk mereka. Doa kepada Allah adalah suatu perbuatan baik yang dapat dilakukan oleh seseorang untuk memintakan manfaat kepada Allah bagi orang lain. Misalnya doa dari anak yang saleh untuk ibu bapaknya. Menurut keterangan Mujahid, orang-orang yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah Bani Muqrin dari kabilah Muzayyanah. Selanjutnya ayat ini menjelaskan bahwa keimanan dan keikhlasan mereka serta infak yang mereka berikan dengan niat yang suci diterima Allah sebagai amal saleh yang bisa mendekatkan diri mereka kepada-Nya, Allah akan memberikan pahala kepada mereka, yaitu dengan mengaruniakan kepada mereka rahmat yang khusus diberikannya kepada orang-orang yang diridai-Nya, berupa petunjuk ke jalan yang lurus yang harus mereka tempuh agar mereka bisa masuk surga Jannatun-na'im. Di sini mereka akan hidup bahagia dalam naungan rahmat dan kasih sayang-Nya. Adanya orang-orang Arab Badui yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya karena menggunakan pikiran dan hati nurani, menunjukkan betapa rendahnya kedudukan orang-orang kafir dan orang-orang munafik yang berdiam di kota-kota yang selalu hidup bergaul dengan orang-orang pandai dan mendengar pelajaran-pelajaran yang baik, namun hati mereka tetap tertutup tidak mau beriman. Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa rahmat Allah dan ampunan-Nya amat luas untuk orang-orang yang ikhlas dalam beramal. Allah akan mengampuni mereka dari dosa-dosa dan kelalaian yang telah mereka perbuat. Allah akan menunjukkan mereka kepada perbuatan yang baik dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Ayat 100

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang-orang yang pertama-tama masuk Islam, baik dari kalangan Muhajirin yang berhijrah dari Mekah ke Medinah, maupun dari kalangan Anshar, yaitu penduduk kota Medinah yang menyambut dengan baik kedatangan Rasulullah dan Muhajirin, dan begitu pula para sahabat yang lain yang mengikuti perintah Rasulullah dengan sebaik-baiknya, ketiga golongan ini merupakan orang-orang mukmin yang paling tinggi martabatnya di sisi Allah, disebabkan keimanan mereka yang teguh, serta amal perbuatan mereka yang baik dan ikhlas, sesuai dengan tuntutan Rasulullah saw. Allah senang dan rida kepada mereka, sebaliknya mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan pahala yang amat mulia bagi mereka, yaitu surga Jannatun-na'im yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, di sana mereka akan memperoleh kenikmatan yang tidak terhingga. Mereka akan kekal di sana selama-lamanya. Itulah kemenangan terbesar yang akan mereka peroleh. Yang dimaksud dengan as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin ialah mereka yang telah berhijrah dari Mekah ke Medinah sebelum terjadinya "Perjanjian Hudaibiyah, karena sebelum perjanjian tersebut, kaum musyrikin senantiasa mengusir kaum Muslimin dari kampung halaman mereka, dan membunuh sebagian dari mereka, serta menghalang-halangi siapa saja yang ingin berhijrah.Tidak ada cara lain bagi seorang mukmin untuk menyelamatkan diri dari kejahatan kaum musyrikin, kecuali menjauhkan diri dari mereka, atau menyerah kepada kehendak dan kemauan mereka. Orang-orang yang memilih cara yang pertama, yaitu meninggalkan kota Mekah dan hijrah ke Medinah adalah orang-orang yang benar-benar beriman, tidak ada seorang munafikpun di antara mereka. Mereka meninggalkan kampung halaman karena keimanan yang murni, keikhlasan, dan perjuangan untuk menegakkan agama Islam. Dikenal juga sebagai as-Sabiqunal Awwalun yaitu orang-orang yang pertama masuk Islam dan menyatakan imannya kepada Nabi Muhammad saw, dari kalangan keluarga adalah Siti Khadijah, 'Ali bin Abi thalib, dan Zaid bin Haritsah. Sedang dari kalangan luar ialah Abu Bakar Ash- shiddiq, orang yang menemani Rasulullah saw waktu hijrah ke Medinah. Di samping itu, terdapat pula para sahabat yang dikelompokkan dalam as-Sabiqunal Awwalun yang oleh Rasulullah saw telah dinyatakan sebagai orang-orang yang pasti masuk surga. Di antara mereka adalah Utsman bin Affan, Hamzah, dan lainnya. Yang dimaksud dengan golongan pertama, as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Anshar ialah penduduk kota Medinah yang telah menyatakan ikrar kesetiaan mereka kepada kerasulan Muhammad saw di Aqabah, suatu tempat di Mina, pada tahun ke-11 dari kerasulan Muhammad saw. Ketika itu mereka berjumlah tujuh orang. Kemudian pada periode berikutnya, yaitu pada tahun ke-12, terjadi pula ikrar kesetiaan di tempat yang sama, yaitu Aqabah, kali ini diikuti tujuh puluh orang lelaki dan dua orang perempuan. Jejak mereka diikuti oleh yang lainnya setelah mereka didatangi oleh utusan Rasulullah yang bernama Abu Zurarah Mush'ab bin 'Umar bin Hasyim yang membacakan ayat-ayat Al-Qur'an dan mengajarkan pengetahuan agama kepada mereka. Demikian pula, termasuk kelompok as-Sabiqunal Awwalun ialah mereka yang telah beriman pada saat tibanya Rasulullah di Medinah. Kekuatan dan persatuan Islam tumbuh dan berkembang sesudah Rasulullah hijrah ke Medinah. Pada saat itulah muncul kaum munafik yang berpura-pura menyokong agama Islam. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah yang turun mengenai hal ikhwal Perang Badar yang terjadi pada tahun kedua Hijri. Firman Allah: (Ingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata, "Mereka itu (orang-orang mukmin) ditipu agamanya." (al-Anfal/8: 49) Dalam kelompok orang-orang munafik yang disebutkan dalam ayat ini, tidak terdapat seorangpun dari kalangan kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang mendapat gelar as-Sabiqun al-Awwalun seperti yang tersebut di atas, walaupun kaum Anshar itu semuanya berasal dari Bani 'Aus dan Khazraj. Yang dimaksud dengan golongan kedua, "allazinat tabuuhum bi ihsan" (orang-orang yang telah mengikuti kaum as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar dengan baik) ialah mereka yang ikut berhijrah ke Medinah dan berjuang menegakkan agama Islam; atau mereka yang membuktikan satunya perbuatan dan perkataan setelah mendapatkan bimbingan dan pelajaran dari kaum as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar, yang merupakan pemimpin-pemimpin yang layak diikuti, dan dijadikan suri teladan dalam tingkah laku, perbuatan, ucapan, dan perjuangan menegakkan agama Allah. Singkatnya mereka adalah orang-orang yang mengikuti as-Sabiqunal Awwalun dalam ketaatan dan ketakwaan sampai Hari Kiamat. Adapun golongan ketiga, yaitu orang-orang yang munafik hanya mengikuti jejak as-Sabiqunal Awwalun secara lahiriyah semata, tidak dengan niat yang tulus atau hanya mengikutinya dalam beberapa hal saja, sedang dalam hal-hal lainnya mereka mengingkarinya.

Ayat 101

Setelah menyebutkan hal ihwal ketiga macam golongan orang-orang yang betul-betul beriman, yakni sahabat-sahabat Rasulullah saw, maka pada ayat ini Allah menyebutkan hal ihwal orang-orang munafik, baik dari kalangan Badui, maupun dari kalangan mereka yang bertempat tinggal di kota Medinah, sehingga nampaklah dua hal yang sangat berlawanan. Seakan-akan Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, sesungguh-nya sebagian dari orang-orang Badui yang berdiam di sekitar Medinah adalah orang-orang yang sangat munafik. Kemunafikan dan kejahatan mereka amat keterlaluan. Bahkan, sebagian dari penduduk kota Medinah pun ada pula yang munafik. Sebab itu berhati-hatilah kamu terhadap mereka." Menurut keterangan al-Bagawi, yang dimaksud dengan "kaum munafik Badui yang tinggal di sekitar kota Medinah" ialah mereka yang berasal dari Bani Muzainah, Bani Juhainah, Bani Asyja, Bani Aslam dan Bani Gifar. Sedangkan yang dimaksud dengan "kaum munafik dari kalangan penduduk kota Medinah sendiri" ialah orang-orang munafik yang berasal dari Bani Aus dan Khazraj. Mereka ini sangat keterlaluan, dan sangat pandai menyembunyikan kemunafikannya, sehingga sulit untuk diketahui oleh Rasulullah dan kaum Muslimin umumnya. Mereka ini tidak dapat diharapkan untuk kembali kepada keimanan yang sesungguhnya. Namun demikian, Allah senantiasa mengetahui kemunafikan mereka, dan Dia akan menimpakan azab kepada mereka dua kali yaitu: di dunia berupa kesengsaraan dan penderitaan batin serta pedihnya kematian. Di akhirat mereka akan dilemparkan ke dalam azab yang dahsyat, dalam neraka Jahannam yang paling bawah. Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kaum munafik terbagi dalam dua kelompok. Pertama, orang-orang yang dapat diketahui kemunafikan mereka dari sikap, perbuatan, dan ucapan-ucapan mereka. Kedua, mereka yang sangat pandai dalam menyembunyikan kemunafikan, sehingga sukar untuk diketahui.

Ayat 102

Dalam ayat ini dijelaskan golongan keempat, yaitu orang-orang yang tidak termasuk golongan munafik, ataupun as-Sabiqunal Awwalun, dan tidak pula termasuk golongan "orang-orang yang mengikuti dengan baik jejak as-Sabiqunal Awwalun". Mereka ini adalah orang-orang mukmin yang berdosa, dan mereka mengakui dengan jujur dosa-dosa mereka. Mereka ini telah mencampuradukkan antara perbuatan yang baik dengan perbuatan yang buruk, sehingga perbuatan mereka itu tidak seluruhnya baik dan tidak pula seluruhnya buruk. Dengan demikian mereka bukan merupakan orang-orang yang benar-benar saleh, dan bukan pula termasuk golongan yang fasik atau munafik, karena dalam kenyataannya mereka suka berbuat yang baik tetapi sering pula berbuat jelek. Di antara keburukan mereka ialah tidak ikut Perang Tabuk bersama kaum Muslimin lainnya, padahal mereka tidak mempunyai uzur atau alasan yang dibenarkan, karena mereka bukanlah orang-orang yang lemah, atau sakit; dan mereka tidak pula mengemukakan alasan-alasan bohong seperti yang dilakukan oleh kaum munafik; dan tidak pula minta izin seperti yang dilakukan orang-orang yang ragu-ragu. Namun demikian, mereka menyadari kesalahan itu pada saat mereka tidak ikut perang dan hati mereka takut kepada Allah. Dengan demikian, di satu pihak mereka tidak mau melakukan kewajiban, dan di pihak lain mereka menyadari kesalahannya karena merasa takut kepada Allah. Selanjutnya dalam ayat ini diterangkan bahwa golongan ini masih mempunyai harapan bahwa tobat mereka akan diterima Allah. Tobat mereka adalah kunci untuk memperoleh keampunan dan rahmat-Nya. Tobat yang benar hanya dapat dicapai bila seseorang telah mengetahui keburukan dosa serta akibatnya, sehingga timbul rasa takut ketika mengingat kemurkaan Allah serta siksaan-Nya. Kemudian timbul keinginan untuk membersihkan diri dari segala hal yang menimbulkan dosa, di samping niat dan tekad yang kuat untuk tidak melakukan kembali perbuatan itu, dan berusaha keras melakukan berbagai kebajikan untuk menghapuskan dosa-dosa dari perbuatan yang dilarang agama yang telah dilakukan, dan berakibat buruk bagi masyarakat dan diri sendiri. Pada akhir ayat ini dijelaskan alasan masih adanya harapan bagi orang-orang yang berdosa bahwa tobat mereka akan diterima Allah, karena sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun kepada hamba-Nya yang mau bertobat dengan sebenar-benarnya; dan Allah adalah Maha Penyayang kepada hamba-Nya yang mau berbuat kebajikan. Menurut satu riwayat, ayat ini diturunkan sehubungan dengan peristiwa yang terjadi pada enam orang Muslimin yang sengaja mangkir dari Perang Tabuk. Mereka itu adalah Abu Lubabah, Aus bin sa'labah, Wadi'ah bin hadzdzam, Ka'ab bin Malik, Murarah bin Rabi, dan Hilal bin Umayyah. Setelah menyadari kesalahan karena tidak ikut berperang, maka tiga orang di antaranya, yaitu Abu Lubabah, Aus dan sa'labah, datang ke mesjid membawa harta benda mereka, lalu mereka mengikatkan diri pada tiang-tiang mesjid, serta bertekad bahwa hanya Rasulullah yang akan melepaskan mereka dari ikatan itu. Sedang harta benda tersebut mereka maksudkan untuk diserahkan kepada Rasulullah untuk beliau bagikan kepada yang berhak menerimanya sebagai sedekah untuk menebus kesalahan mereka. Setelah hal itu disampaikan kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda, "Saya tidak akan melepaskan mereka dari ikatan itu, sampai datangnya ketentuan dari Allah." Maka turunlah ayat ini. Rasulullah lalu membuka tali pengikat yang mengikat mereka di tiang itu. Ibnu Katsir berpendapat, "Walaupun ayat ini turun mengenai orang-orang tertentu namun isinya tetap berlaku untuk umum, mencakup semua orang yang berdosa yang mencampuradukkan antara perbuatan yang baik dan yang buruk kemudian menyadari kesalahan mereka, lalu mereka bertobat kepada Allah dengan cara yang sebaik-baiknya."

Ayat 103

Perintah Allah pada permulaan ayat ini ditujukan kepada Rasul-Nya, agar Rasulullah sebagai pemimpin mengambil sebagian dari harta benda mereka sebagai sedekah atau zakat. Ini untuk menjadi bukti kebenaran tobat mereka, karena sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka dari dosa yang timbul karena mangkirnya mereka dari peperangan dan untuk mensucikan diri mereka dari sifat "cinta harta" yang mendorong mereka untuk mangkir dari peperangan itu. Selain itu sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka pula dari semua sifat-sifat jelek yang timbul karena harta benda, seperti kikir, tamak, dan sebagainya. Oleh karena itu, Rasul mengutus para sahabat untuk menarik zakat dari kaum Muslimin. Di samping itu, dapat dikatakan bahwa penunaian zakat berarti membersihkan harta benda yang tinggal, sebab pada harta benda seseorang terdapat hak orang lain, yaitu orang-orang yang oleh agama Islam telah ditentukan sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat. Selama zakat itu belum dibayarkan oleh pemilik harta tersebut, maka selama itu pula harta bendanya tetap bercampur dengan hak orang lain, yang haram untuk dimakannya. Akan tetapi, bila ia mengeluarkan zakat dari hartanya itu, maka harta tersebut menjadi bersih dari hak orang lain. Orang yang mengeluarkan zakat terbebas dari sifat kikir dan tamak. Menunaikan zakat akan menyebab-kan keberkahan pada sisa harta yang masih tinggal, sehingga ia tumbuh dan berkembang biak. Sebaliknya bila zakat itu tidak dikeluarkan, maka harta benda seseorang tidak akan memperoleh keberkahan. Perlu diketahui, walaupun perintah Allah dalam ayat ini pada lahirnya ditujukan kepada Rasul-Nya, dan turunnya ayat ini berkenaan dengan peristiwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya namun hukumnya juga berlaku terhadap semua pemimpin atau penguasa dalam setiap masyarakat muslim, untuk melaksanakan perintah Allah dalam masalah zakat ini, yaitu untuk memungut zakat tersebut dari orang-orang Islam yang wajib berzakat, dan kemudian membagi-bagikan zakat itu kepada yang berhak menerima-nya. Dengan demikian, maka zakat akan dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana yang efektif untuk membina kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, dan juga kepada setiap pemimpin dan penguasa dalam masyarakat, agar setelah melakukan pemungutan dan pembagian zakat, mereka berdoa kepada Allah bagi keselamatan dan kebahagiaan pembayar zakat. Doa tersebut akan menenangkan jiwa mereka, dan akan menenteramkan hati mereka, serta menimbulkan kepercayaan dalam hati mereka bahwa Allah benar-benar telah menerima tobat mereka. Semoga Allah memberi pahala terhadap apa-apa yang kamu berikan, dan memberkahi apa yang kamu tinggalkan. Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa Allah Maha Mendengar setiap ucapan hamba-Nya yang bertobat, Allah Maha Mengetahui semua yang tersimpan dalam hati sanubari hamba-Nya, seperti rasa penyesalan dan kegelisahan yang timbul karena kesadaran atas kesalahan yang telah diperbuat.

Ayat 104

Dengan ayat ini Allah memberikan dorongan kepada hamba-Nya yang telah menyadari kesalahannya untuk bertobat dan bersedekah, guna menghapus dosa-dosa mereka. Selain itu ayat ini juga menegaskan, bahwa siapapun yang bertobat kepada Allah maka Dia akan menerima tobatnya; dan siapa yang bersedekah dengan ikhlas maka Allah akan menerima sedekah itu sebagai amal salehnya, dan akan memberinya ganjaran pahala. Meskipun ayat ini berbentuk suatu kalimat pertanyaan, tetapi bangsa Arab telah biasa mengemukakan kalimat yang berbentuk pertanyaan itu untuk menetapkan dan memberikan tekanan untuk suatu pengertian, yaitu kepastian bahwa Allah benar-benar akan menerima tobat orang-orang yang insaf, juga akan menerima sedekah yang mereka berikan karena mengharapkan rida Allah semata-mata, untuk menghapuskan dosa-dosa yang sudah terlanjur mereka perbuat. Ayat ini juga merupakan celaan keras terhadap orang-orang yang bersalah, tetapi tidak mengakui kesalahan mereka, tidak mau bertobat, dan tidak mau berbuat kebajikan dan amal saleh untuk menghapus dosa-dosa yang telah mereka perbuat. Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah Maha Penerima tobat dan Maha Pengasih terhadap hamba-Nya. Oleh sebab itu, Allah senantiasa akan menerima tobat hamba-Nya, karena sifat tersebut merupakan sifat yang tetap bagi-Nya, dan menjadi Sunnah yang berlaku selama-lamanya. Dia senantiasa mengasihi hamba-Nya sehingga Dia akan mengampuni dosa-dosanya, dan menerima amal saleh yang mereka kerjakan, serta memberi balasan yang setimpal.

Ayat 105

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, agar beliau mengatakan kepada kaum Muslimin yang mau bertobat dan membersihkan diri dari dosa-dosa dengan cara bersedekah dan mengeluar-kan zakat dan melakukan amal saleh sebanyak mungkin. Di samping itu, Allah juga memerintahkan kepada Rasul-Nya agar menyampaikan kepada umatnya, bahwa apabila mereka telah melakukan amal-amal saleh tersebut maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin lainnya akan melihat dan menilai amal-amal tersebut. Akhirnya mereka akan dikembalikan-Nya ke alam akhirat, akan diberikannya kepada mereka ganjaran atas amal-amal yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia. Kepada mereka dianjurkan agar tidak hanya merasa cukup dengan melakukan tobat, zakat, sedekah dan salat semata-mata, melainkan haruslah mereka mengerjakan semua apa yang diperintahkan kepada mereka. Allah akan melihat amal-amal yang mereka lakukan itu, sehingga mereka semakin dekat kepada-Nya. Rasulullah dan kaum Muslimin akan melihat amal-amal kebajikan itu, sehingga merekapun akan mengikuti dan mencontohnya pula. Sedangkan Allah memberikan pahala yang berlipat ganda bagi mereka yang menjadi panutan, tanpa mengurangi pahala mereka yang mencontoh. Sebagaimana diketahui, kaum Muslimin akan menjadi saksi di hadapan Allah pada Hari Kiamat mengenai iman dan amalan dari sesama kaum Muslimin. Persaksian yang didasarkan atas penglihatan mata kepala sendiri adalah lebih kuat dan lebih dapat dipercaya. Oleh sebab itu, kaum Muslimin yang melihat amal kebajikan yang dilakukan oleh mereka yang insaf dan bertobat kepada Allah, tentulah akan menjadi saksi yang kuat di Hari Kiamat, tentang benarnya iman, tobat dan amal saleh mereka itu. Ayat inipun berisi peringatan keras terhadap orang-orang yang menyalahi perintah agama, bahwa amal mereka itupun nantinya akan diperlihatkan kepada Rasul dan kaum Muslimin lainnya kelak di Hari Kiamat. Dengan demikian akan tersingkaplah aib mereka, karena akan terbukti bahwa amal-amal kebajikan mereka adalah amat sedikit, dan sebaliknya dosa dari kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan lebih banyak. Bahkan di dunia inipun akan diperlihatkan pula kurangnya amal saleh mereka dan banyaknya kejahatan yang mereka lakukan. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa amalan orang-orang yang hidup, diperlihatkan kepada orang-orang yang telah mati, yaitu dari kalangan kaum keluarga dan sanak famili yang ada di alam barzakh. Dengan wafatnya seseorang maka ia dikembalikan ke alam akhirat. Di sana Allah akan memberitahukan kepada setiap orang tentang hasil dari perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya selagi ia di dunia dengan cara memberikan balasan terhadap amal mereka. Kebaikan dibalas dengan kebaikan, dan kejahatan dibalas dengan azab dan siksa.

Ayat 106

Tiga orang yang tidak ikut ke medan perang bersama Rasulullah saw, yaitu Murarah bin Rabi, Ka'ab bin Malik dan Hilal bin Umayyah, padahal dalam hati mereka ada keinginan untuk menggabungkan diri, akan tetapi hal itu tidak dapat mereka lakukan, dan ketidakikutsertaan mereka itu bukan karena kemunafikan. Setelah Rasulullah saw kembali dari medan perang, mereka berkata kepadanya, "Kami tidak mempunyai halangan apa-apa, kemangkiran kami adalah merupakan kesalahan semata." Dan mereka tidak menyatakan permintaan maaf atas kesalahan itu. Mereka tidak melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Abu Lubabah dan kawan-kawannya. Karena adanya penegasan Allah dalam ayat ini bahwa tobat mereka itu ditangguhkan, maka Rasulullah saw melarang kaum Muslimin lainnya untuk bergaul dan duduk bersama mereka. Rasulullah saw juga memerintahkan kepada mereka bertiga untuk menjauhi isteri-isteri mereka, dan menyuruh isteri-isteri tersebut kembali kepada keluarga mereka, sampai turunnya firman Allah yang menegaskan diterimanya tobat mereka, seperti tersebut di atas. Penangguhan tersebut mengandung dua kemungkinan, apakah Allah akan mengazab mereka ataukah Dia akan menerima tobat mereka, bila mereka bertobat. Dengan demikian, baik mereka ataupun orang-orang lain tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada diri mereka. Apakah tobat mereka ada gunanya, sehingga Allah sudi menerima tobat mereka sebagaimana yang terjadi pada kawan-kawan mereka yang telah bertobat dan mengakui kesalahan mereka. Ataukah Allah akan menimpakan azab kepada mereka di dunia dan di akhirat kelak sebagaimana yang ditetapkan-Nya terhadap orang-orang yang tidak ikut berperang karena kemunafikan mereka. Penangguhan ini mengandung hikmah, supaya dalam hati mereka timbul rasa gelisah dan sedih, kemudian mereka bertobat dengan sungguh-sungguh. Di samping itu, Rasulullah saw dan kaum Muslimin lainnya diperintahkan untuk menjauhi dan mengasingkan mereka, sebagai pelajaran terhadap mereka bahwa setiap orang yang hanya mementingkan kesenangan diri sendiri dan tidak memperdulikan kepentingan umum, serta ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya patut mendapat pelajaran. Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang dapat memperbaiki keadaan hamba-Nya, Dia mendidik hamba-Nya cara membersihkan diri dari segala keburukan, baik secara perorangan maupun berkelompok. Allah Mahabijaksana dalam menetapkan hukum-hukum-Nya yang jelas dan bermanfaat bagi mereka dalam perbaikan dan peningkatan diri, apabila mereka benar-benar menaati peraturan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya. Salah satu dari kebijaksanaan Allah ialah penangguhan adanya ketegasan diterima atau tidaknya tobat mereka. Hal tersebut bila dibaca atau didengar berulang kali oleh orang-orang mukmin lainnya niscaya akan menimbulkan ketakutan dalam hati mereka untuk berbuat semacam itu. Sudah barang tentu, hal ini merupakan semacam pendidikan dan pelajaran yang baik bagi umat seluruhnya, lebih-lebih bagi mereka yang melakukan kesalahan yang sama.

Ayat 107

Dalam ayat ini Allah menjelaskan maksud mereka mendirikan mesjid tersebut yaitu: 1. Untuk mencelakakan orang-orang mukmin yang biasa beribadah di mesjid Quba, yaitu mesjid yang dibangun Rasulullah saw ketika beliau baru berhijrah dari Mekah, sebelum sampai ke Medinah. 2. Sebagai fasilitas dalam melakukan berbagai perbuatan sebagai manifestasi kekafiran. Kaum munafik meninggalkan salat dengan sembunyi-sembunyi dalam bangunan yang mereka dirikan itu, sehingga kaum Muslimin tidak dapat mengetahuinya karena mereka tidak lagi bersama-sama melakukan ibadat di mesjid Quba. Selain itu, adanya bangunan tersebut juga bisa menjadi tempat mengadakan perundingan secara bebas dalam melakukan makar terhadap Rasulullah saw. 3. Untuk memecah belah antara kaum Muslimin yang berdiam di daerah itu. Sebab mereka tidak hanya salat di mesjid Quba, tetapi mereka juga berjumpa dan saling mengenal, bergotong-royong, membuat kesepakatan dalam berbagai masalah. Inilah tujuan yang terpenting sebuah mesjid dalam bidang kemasyarakatan. Oleh sebab itu, adalah suatu keharusan bagi kaum Muslimin yang bertempat tinggal di daerah tertentu agar semuanya melakukan salat Jumat di satu mesjid selama hal itu memungkinkan. Dari sini dapatlah diketahui bahwa mendirikan mesjid yang baru dapat dipandang sebagai amal kebajikan yang diterima Allah, bila hal itu memang benar-benar sudah diperlukan, misalnya karena mesjid yang lama sudah rusak, atau sudah tidak dapat menampung jumlah kaum Muslimin yang semakin besar, dan bukan didirikan untuk maksud memecah belah kaum Muslimin. Oleh sebab itu, pembangunan mesjid-mesjid yang saling berdekatan letaknya, dan hanya didorong oleh rasa riya dan kebanggaan pribadi ataupun golongan, tidaklah dibenarkan oleh agama. 4. Menjadi tempat perlindungan bagi orang-orang yang biasa memerangi agama Allah, sehingga apabila mereka datang ke tempat itu, mereka sudah mendapatkan tempat perlindungan yang aman, memperoleh sekutu dan para penyokong untuk bersama-sama memerangi Rasulullah dan kaum Muslimin. Mereka ini adalah kaum musyrik dan munafik yang dengan sengaja mendirikan bangunan itu sebagai kubu pertahanan mereka untuk memecah belah dan memerangi umat Islam. Dalam ayat ini selanjutnya diterangkan bahwa orang-orang munafik itu bersumpah untuk memperkuat ucapan mereka, bahwa bangunan itu mereka dirikan hanyalah semata-mata untuk memperoleh kebaikan misalnya untuk memudahkan bagi orang-orang yang lemah, melakukan salat Jumat dekat dari tempat tinggal mereka dan sebagainya. Akan tetapi sumpah tersebut hanyalah untuk menyelimuti maksud-maksud jahat yang tersimpan dalam hati mereka. Pada akhir ayat tersebut Allah menegaskan, bahwa Dia menyaksikan mereka itu adalah orang-orang yang benar-benar pendusta.

Ayat 108

Karena adanya maksud-maksud jahat kaum munafik dengan mendirikan bangunan tersebut, maka Allah melarang Rasul-Nya selama-lamanya untuk salat di tempat itu, karena apabila Rasulullah salat di sana bersama mereka berarti beliau merestui mereka mendirikan bangunan itu. Selanjutnya Allah menegaskan kepada Rasul-Nya, bahwa mesjid yang dibangun sejak semula atas dasar ketakwaan kepada Allah, adalah lebih baik untuk dijadikan tempat ibadah bersama kaumnya untuk mempersatukan kaum Muslimin semuanya dalam segala hal yang diridai-Nya, yaitu saling mengenal dan bersama-sama berbuat kebajikan dan ketakwaan. Yang dimaksud dengan mesjid yang didirikan pertama kali atas dasar ketakwaan, yang disebutkan dalam ayat ini, adalah "mesjid Quba" atau "mesjid Nabi" yang ada di kota Medinah, sebab kedua mesjid itu yang dibangun oleh Nabi dan kaum Muslimin atas dasar ketakwaan. Selanjutnya dalam ayat ini Allah menerangkan alasan, mengapa mesjid tersebut lebih utama dari mesjid lainnya yang sengaja didirikan bukan atas dasar ketakwaan, karena di mesjid tersebut terdapat orang-orang yang suka membersihkan dirinya dari segala dosa. Artinya mereka meramaikan mesjid dengan mendirikan salat serta berzikir dan bertasbih kepada Allah. Dengan ibadah-ibadah tersebut, mereka ingin mensucikan diri dari segala dosa yang melekat pada diri mereka, sebagaimana orang-orang yang mangkir dari peperangan kemudian mereka menyadari kesalahan mereka, lalu berusaha mensucikan diri dari dosa tersebut dengan cara bertobat, bersedekah, dan memperbanyak amal saleh lainnya. Melakukan ibadah salat berarti mensucikan diri lahir dan batin karena untuk melakukan salat disyaratkan sucinya badan, pakaian dan tempat, serta hadirnya hati dan pikiran yang dihadapkan kepada Allah semata. Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah menyukai orang-orang yang sangat menjaga kebersihan jiwa dan jasmaninya, karena mereka menganggap bahwa kesempurnaan manusia terletak pada kesucian lahir batinnya. Oleh sebab itu, mereka sangat membenci kekotoran lahiriyah, seperti kotoran pada badan, pakaian dan tempat, maupun kotoran batin yang timbul karena perbuatan maksiat terus menerus, serta budi pekerti yang buruk, misalnya riya dalam beramal, ataupun kikir dalam menyumbangkan harta untuk memperoleh keridaan Allah. Kecintaan Allah pada orang-orang yang suka mensucikan diri, adalah salah satu dari sifat-sifat kesempurnaan-Nya, Dia suka kepada kebaikan, kesempurnaan, kesucian, dan kebenaran. Sebaliknya, Dia benci kepada sifat-sifat yang berlawanan dengan sifat-sifat tersebut.

Ayat 109

Ayat ini dimulai dengan bentuk pertanyan, Allah menunjukkan perbedaan yang jelas antara orang-orang yang mendirikan mesjid atas dasar ketakwaan dan keinginan untuk mencapai rida-Nya, dengan orang-orang yang mendirikan mesjid dengan maksud jahat sehingga pembangunan mesjid tersebut bukan memberi pahala malahan menambah bertumpuknya dosa-dosa mereka. Mereka yang disebut terakhir ini diumpamakan sebagai orang-orang yang mendirikan bangunan di pinggir jurang yang longsor, sehingga akhirnya mereka terjerumus bersama mesjid yang dibangunnya ke dalam neraka Jahannam. Dari sini dapat dipahami, bahwa orang-orang yang mendirikan bangunan mesjid atas dasar takwa dan keinginan untuk mencapai rida Allah, adalah ibarat orang-orang yang mendirikan bangunan yang kuat di atas tanah yang kuat pula, tangguh terhadap serangan angin dan badai, tidak lapuk karena hujan, dan tidak lekang karena panas. Ia memberikan perlindungan, keamanan, ketenteraman dan kebahagiaan kepada orang-orang yang berada di dalamnya. Dengan kata lain, Rasulullah saw dan kaum Muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah senantiasa mendasarkan segala perbuatannya kepada ketakwaan dan rida-Nya. Mereka lebih baik daripada orang-orang munafik yang melakukan perbuatannya hanya didasarkan kepada niat yang buruk, yang menambah kekufuran dan kemunafikan, serta niat memecah belah umat Islam. Di dunia ini mereka tercela, sedang di akhirat kelak mereka ditimpa azab dan kemurkaan Allah. Setelah menjelaskan keberuntungan orang-orang mukmin dan nasib buruk orang-orang munafik yang zalim, pada akhir ayat tersebut Allah menegaskan bahwa Dia tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Artinya, orang-orang yang zalim selamanya tidak akan memperoleh petunjuk ke arah kebaikan dan keberuntungan. Oleh sebab itu, setiap langkah dan tingkah laku serta perbuatan mereka senantiasa mengalami kegagalan dan malapetaka, baik di dunia maupun di akhirat.

Ayat 110

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa mesjid yang didirikan oleh kaum munafik itu senantiasa menimbulkan keragu-raguan dalam hati mereka terhadap agama, karena setelah bangunan itu berdiri mereka menggunakannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan jahat, antara lain membuat rencana dan komplotan jahat yang ditujukan kepada Rasulullah saw dan kaum Muslimin. Hal ini menunjukkan kemunafikan dan kekafiran mereka. Setelah Rasulullah mengirim beberapa orang sahabat untuk merobohkan bangunan itu, kaum munafik itu semakin ragu-ragu tentang nasib mereka, serta merasakan ketakutan dan kegelisahan. Keadaan semacam ini baru berakhir setelah hati mereka seakan-akan hancur terpotong-potong, sehingga tidak dapat lagi mengetahui kebenaran, ini berarti bahwa selama mereka hidup senantiasa hati mereka dalam kebimbangan dan keraguan. Runtuhnya bangunan mesjid mereka menyebabkan runtuhnya pula pegangan hidup mereka, sehingga kegelisahan, ketakutan, dan keragu-raguan senantiasa menyelubungi hati mereka sampai mereka mati dan jasad mereka hancur berkeping-keping. Atau setelah mereka bertobat dan menyesali semua dosa dan kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat. Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah Maha Mengetahui perbuatan hamba-Nya dan Mahabijaksana dalam segala perbuatan-Nya. Salah satu kebijaksanaan-Nya ialah pemberitahuan-Nya kepada Rasulullah dan kaum Muslimin tentang kejahatan orang-orang munafik, sehingga dari sifat-sifat dan perbuatan jahat mereka dapat diketahui siapa mereka dan akibat dari kejahatan merekapun dapat dihindari.

Ayat 111

Ayat ini menerangkan bahwa Allah membeli jiwa raga dan harta kaum mukmin, yang dibayar-Nya dengan surga. Artinya, Allah membalas segala perjuangan dan pengorbanan yang telah diberikan kaum mukmin itu, baik berupa jiwa raga maupun harta mereka dengan balasan yang sebaik-baiknya, yaitu kenikmatan dan kebahagiaan di surga kelak. Ini merupakan ungkapan yang sangat indah untuk menimbulkan kegairahan bagi umat manusia untuk berjihad, karena menggambarkan suatu transaksi jual beli yang sangat menguntungkan manusia. Pengorbanan yang telah mereka berikan berupa harta dan jiwa raga akan ditukar dengan sesuatu yang sangat berharga, yang tidak pernah dilihat oleh mata manusia, tidak pernah didengar oleh telinga, dan nilainya jauh lebih tinggi dari pada harta benda dan apa saja yang telah dikorbankan. Di samping itu jual beli yang terjadi antara Allah dan kaum Muslimin ini tidak akan pernah dibatalkan. Tidak seperti transaksi jual beli yang terjadi antara sesama manusia, yang kadang-kadang dapat dibatalkan. Lagi pula jual beli antar sesama manusia hanya berupa pertukaran antara barang dan uang yang sama nilainya. Sedang balasan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang beriman jauh lebih tinggi nilainya dari pada pengorbanan yang telah diberikan atau perjuangan yang telah dilakukannya. Balasan yang berlipat ganda yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya adalah semata-mata karena kasih sayang-Nya dan merupakan kehormatan kepada hamba-Nya yang beriman, sebab pada hakekatnya diri manusia adalah milik-Nya, karena Dialah Penciptanya; dan harta benda mereka itupun adalah milik-Nya, karena Dialah yang menganugerahkan kepada mereka. Namun demikian, bila manusia berjihad dengan mengorbankan harta benda dan jiwa raga mereka, maka Allah tetap memberikan balasan yang berlipat ganda nilainya padahal Allah sendiri pada hakekatnya tidak memerlukan harta benda dan jiwa raga mereka. Selanjutnya dalam ayat ini, Allah menerangkan bagaimana cara menyerahkan jiwa dan harta yang akan dibeli oleh Allah dengan surga, yaitu dengan berperang di jalan Allah untuk membela kebenaran dan keadilan. Inilah yang akan menyampaikan mereka kepada keridaan-Nya; adakalanya mereka dapat menumpas musuh-musuh Allah yang selalu menghambat jalannya dakwah Islamiyah, adakalanya mereka gugur dalam peperangan, sebagai syuhada dalam membela agama Allah. Namun tidak ada perbedaan antara keduanya dalam menerima pahala dan balasan dari Allah. Allah menegaskan bahwa janji-Nya untuk memberikan pahala akan ditepati-Nya, bahkan telah ditetapkan-Nya sedemikian rupa dalam kitab Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Kitab suci terakhir ini tidak akan dapat dihapuskan oleh siapapun juga, karena Allah telah menjamin keselamatan Al-Qur'an dari tangan-tangan jahil. Selanjutnya Allah menegaskan bahwa tidak ada yang melebihi Allah dalam hal menepati janji, karena Dia Maha Kuasa untuk menepati janji-Nya, dan tidak pernah lupa ataupun ragu pada hamba-Nya. Oleh sebab itu, Allah akan memberi kabar gembira yang pasti akan mereka peroleh dari jual beli harta dan jiwa mereka dengan Allah. Pada akhir ayat ini Allah kembali memberikan penegasan bahwa keberuntungan yang akan mereka peroleh benar-benar suatu keberuntungan yang amat besar, tidak ada yang melebihinya. Sedang keberuntungan yang telah mereka peroleh sebelumnya yang berupa kemenangan terhadap musuh-musuh Islam, serta kepemimpinan, kekuasaan dan kerajaan, hanyalah keberuntungan yang merupakan jalan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.

Ayat 112

Dalam ayat ini disebutkan beberapa sifat dari orang-orang mukmin yang telah mencapai puncak kesempurnaan iman, yang telah mengorbankan harta benda dan jiwa raga mereka dalam berjihad untuk menjunjung tinggi dan menegakkan agama Allah. Sifat-sifat tersebut ialah: 1. Mereka adalah orang-orang yang bertobat, kembali kepada Allah dengan cara meninggalkan setiap perbuatan yang akan menjauhkan diri dari keridaan-Nya. Maka tobat orang yang pernah menjadi kafir adalah kembalinya mereka kepada jalan Allah, serta melaksanakan perintah syariat-Nya. Dalam hal ini Allah telah berfirman: Jika mereka bertobat, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. (at-Taubah/9: 11) Sedang tobat orang yang pernah menjadi munafik ialah dengan cara meninggalkan kemunafikannya itu. Tobat orang-orang yang durhaka ialah dengan cara meninggalkan kedurhakaannya dengan menyesali apa yang telah diperbuatnya, serta bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi, sebagaimana tobat yang telah dilakukan oleh beberapa orang mukmin (Abu Lubabah dengan kawan-kawannya) yang telah mangkir dari Perang Tabuk. Adapun tobat orang yang telah lalai dari melakukan kebajikan, ialah dengan cara berbuat kebajikan lain yang lebih banyak, sedang tobat orang yang lalai dari mengingat Allah ialah dengan cara berzikir dan bersyukur lebih banyak lagi setelah menyadari kelalaiannya. 2. Orang-orang mukmin yang mencapai puncak kesempurnaan iman mempunyai sifat sebagai orang-orang yang beribadat kepada Allah semata-mata dengan ikhlas, tanpa riya maupun syirik. Semua ibadah doa dan harapannya hanya ditujukan kepada Allah semata. Mereka menjauhi segala perbuatan yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada selain Allah atau mengharapkan pertolongan dari selain Allah, baik untuk kepentingan duniawi maupun ukhrawi. 3. Orang-orang mukmin disifati sebagai orang-orang yang senantiasa menyampaikan pujian kepada Allah, baik dalam waktu suka maupun pada saat duka. Dalam hal ini 'Aisyah r.a. menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw, apabila menemukan suatu hal yang menggembirakan maka beliau mengucapkan kata-kata pujian yang berbunyi: Segala pujian hanyalah untuk Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan dapat disempurnakan. (Riwayat Ibnu Majah dan al-hakim) Dan apabila beliau menghadapi suatu hal yang tidak diinginkannya, maka beliau mengucapkan kata pujian yang berbunyi: Segala puji hanyalah untuk Allah semata-mata, dalam segala hal. (Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan lain-lain) 4. Orang-orang mukmin yang mencapai puncak kesempurnan juga memiliki sifat sebagai orang-orang yang suka mengembara untuk tujuan-tujuan yang baik dan benar, misalnya pengembaraan yang dilakukan untuk menuntut ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan agama, maupun ilmu pengetahuan untuk kemajuan duniawi, atau untuk sesuatu yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan tanah air. Atau melakukan pengembaraan untuk melihat dan memperhatikan keadaan bangsa-bangsa dan negeri-negeri lain, agar dari semuanya itu dapat diambil pelajaran yang berguna, serta meningkatkan keimanan dan ibadah kita kepada Allah, Pencipta alam semesta. Di dalam Al-Qur'an, terdapat banyak firman Allah yang mendorong manusia agar mengadakan perjalanan di muka bumi ini, untuk mendapatkan pengalaman dan pelajaran, yang akan menambah kuatnya keimanan mereka. Antara lain firman Allah: Katakanlah (Muhammad), "Jelajahilah bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu." (al-An'am/6: 11) Dan firman-Nya dalam ayat yang lain: Tidakkah mereka memperhatikan berapa banyak generasi sebelum mereka yang telah Kami binasakan, padahal (generasi itu), telah kami teguhkan kedudukannya di bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu. (al-An'am/6: 6) Masih banyak ayat lainnya yang sejiwa dengan ayat-ayat di atas yang menyuruh manusia untuk memperhatikan lebih banyak makhluk Tuhan di dunia ini. Semakin jauh berjalan, semakin banyak yang dilihat, dan memberikan banyak pengetahuan, pengalaman, dan pelajaran, yang akhirnya menambah keimanan dan ketakwaan kepada Allah. 5. Sifat lainnya yang dimiliki orang-orang mukmin sejati ialah senantiasa melakukan ruku dan sujud kepada Allah, yakni mendirikan salat. Sengaja Allah menyebutkan masalah ruku dan sujud dalam ayat ini, karena kedua hal tersebut adalah menunjukkan sifat tunduk tawadu serta penghambaan diri kepada Allah, dan juga untuk menggambarkan bahwa pekerjaan salat itu tidak pernah lepas dari ruku' dan sujud. 6. Dua sifat lainnya dari orang-orang mukmin sejati ialah suka mengajak orang lain untuk berbuat kebajikan, dan mencegahnya dari perbuatan yang mungkar, dengan jalan mengajaknya kepada keimanan dan melakukan perbuatan-perbuatan yang merupakan buah dari keimanan itu, yaitu hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan pribadi dan kehidupan bersama dalam masyarakat. 7. Sifat lainnya yang disebutkan terakhir dalam ayat ini, ialah sebagai orang-orang yang senantiasa menjaga diri untuk tidak melampaui batas dan ketentuan yang telah ditetapkan Allah, seperti syariat dan hukum-hukum-Nya, yang harus diikuti oleh kaum mukmin untuk kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat, dan apa-apa yang harus mereka jauhi, karena bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkannya. Demikian pula, dalam hukum dan syariat tersebut telah dijelaskan pula apa-apa yang harus dilakukan oleh umat Islam dan para pemimpin mereka, baik untuk kepentingan pribadi muslim, maupun untuk kejayaan masyarakat Islam umumnya.

Ayat 113

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang mukmin untuk mengajukan permohonan kepada Allah agar memberikan ampunan kepada orang musyrik, walaupun mereka adalah kerabat Nabi atau kerabat dari orang-orang mukmin. Apalagi bila Nabi dan orang-orang mukmin telah mendapatkan bukti yang jelas bahwa mereka yang dimohonkan ampunan itu adalah calon-calon penghuni neraka, karena perbuatan dan tindak-tanduk mereka telah menunjukkan keingkaran mereka kepada Allah. Pada ayat ke 80 Surah at-Taubah ini juga Allah telah menerangkan bahwa Dia tidak akan memberikan ampunan bagi orang-orang munafik, karena mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga sama saja halnya, apakah Rasulullah memintakan ampunan untuk mereka, ataupun tidak. Dalam ayat ke 48 dan 116 Surah an-Nisa Allah telah menegaskan pula, bahwa Dia tidak akan memberikan ampun kepada siapa pun yang menjadi musyrik, yaitu mempersekutukan Allah dengan yang lain. Orang-orang yang mempersekutukan Allah, walaupun mereka mengaku beriman dan menyembah kepada Allah, namun mereka juga menyembah selain Allah. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak beriman pada kesempurnaan dan kekuasaan Allah. Oleh sebab itu, dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa kemusyrikan adalah suatu kezaliman yang besar, dan merupakan dosa yang tidak bisa diampuni. Itulah sebabnya, maka Lukman al-Hakim memberikan pelajaran kepada putranya untuk tidak menyekutukan Allah. Beliau berkata: Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (Luqman/31: 13) Pada ayat (113) di atas terdapat isyarat bahwa mendoakan orang-orang yang telah mati dalam kekafirannya, agar mereka memperoleh ampunan dan rahmat Allah, adalah terlarang. Larangan ini mencakup segala macam dan cara berdoa, baik doa-doa yang biasa dilakukan sesudah salat maupun doa-doa yang dibaca dalam upacara tertentu. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim, dan Abu Daud dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw pernah mengunjungi makam ibundanya, lalu beliau menangis, sehingga menyebabkan orang-orang yang berada di sekitarnyapun menangis pula. Lalu beliau bersabda, "Aku telah meminta izin kepada Allah untuk memohonkan ampun untuk ibuku, tetapi Allah tidak mengizinkan, dan aku meminta izin untuk mengunjungi kuburan ibuku, maka Allah mengizinkan. Oleh sebab itu, kamu boleh mengunjungi kuburan karena hal itu akan mengingatkan kamu kepada kematian." Dengan adanya larangan Allah dalam ayat ini kepada Nabi dan orang-orang mukmin untuk memintakan ampunan bagi orang-orang musyrik, dapat diambil kesimpulan bahwa kenabian dan keimanan yang sejati tidak akan membolehkan seseorang untuk memanjatkan doa ke hadirat Allah untuk mengampuni orang-orang musyrik dalam keadaan bagaimana juga, walaupun mereka termasuk kaum kerabat yang dicintai. Hal itu disebabkan karena bagi Nabi dan orang-orang mukmin sudah cukup jelas dari berbagai bukti dan kenyataan, bahwa orang-orang musyrik itu telah mati dalam kekafiran sehingga dengan demikian mereka merupakan calon-calon penghuni neraka, maka tidaklah selayaknya untuk dimintakan ampun kepada Allah, karena perbuatan mereka tidak diridai-Nya.

Ayat 114

Dari keterangan-keterangan yang terdapat dalam ayat di atas mungkin terlintas pertanyaan dalam pikiran kita, apakah sebabnya Allah melarang Nabi Muhammad saw dan kaum Muslimin untuk memohon ampun bagi orang-orang yang telah mati dalam kemusyrikan dan kekafiran itu, walaupun kaum kerabat dan ibu bapaknya sendiri, padahal Nabi Ibrahim pernah memohonkan ampun bagi bapaknya, yang juga seorang musyrik yang mati dalam kemusyrikan dan kekafiran. Maka dalam ayat ini Allah memberikan jawaban-Nya bahwa benar Nabi Ibrahim pernah memohonkan ampun kepada Allah bagi bapaknya yang bernama Azar, dengan mengucapkan doa sebagai berikut: Dan ampunilah ayahku, sesungguhnya dia adalah termasuk orang yang sesat. (asy-Syuara' /26: 86) Akan tetapi Nabi Ibrahim berbuat demikian itu adalah karena ia pernah menjanjikan kepada bapaknya untuk mendoakannya, dengan harapan agar Allah memberikan taufik kepadanya untuk beriman, dan memberikan petunjuk kepadanya jalan yang benar yang telah dibentangkannya. Janjinya itu menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim sudah meyakini bahwa tugasnya hanyalah sekedar mendoakan kepada Allah sedang ia sendiri tidak berwenang memberikan petunjuk ataupun keselamatan, apalagi mengampuni dosanya. Dengan demikian, Ibrahim telah memenuhi janjinya, akan tetapi hanya sekedar pemenuhan janji. Hal ini juga disebutkan Allah dalam firman-Nya: Dan, (lembaran-lembaran) Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (an-Najm/53: 37) Dalam ayat selanjutnya, Allah menjelaskan bahwa walaupun Ibrahim telah memohonkan ampunan bagi ayahnya untuk memenuhi janjinya, namun kemudian setelah nyata baginya bahwa bapaknya benar-benar memusuhi Allah dalam kemusyrikan, maka Ibrahim tidak lagi mendoakan bapaknya setelah matinya. Nabi Ibrahim mendoakan bapaknya di kala bapaknya masih hidup, dengan harapan semoga bapaknya mendapat hidayat dan taufik dari Allah, meninggalkan kemusyrikannya dan bertobat kepada Allah. Doa yang semacam ini tidaklah terlarang. Keimanan seseorang kepada Allah dan hari akhir tidak akan membiarkannya mengasihi orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Hal ini telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya pada ayat-ayat lain: Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya. (al-Mujadalah/58: 22) Pada masa bapaknya masih hidup, Nabi Ibrahim sudah tahu tentang tingkah lakunya yang tidak diridai Allah, sehingga ia sendiri pernah diancamnya dengan kata-kata yang kasar, yang tersebut dalam ayat berikut: Dia (ayahnya) berkata, "Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam, maka tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama." (Maryam/19: 46) Namun demikian Ibrahim juga berjanji kepada bapaknya untuk mendoakannya kepada Allah agar diberi ampun dan rahmat serta petunjuk. Akan tetapi, setelah bapaknya meninggal, nyatalah bagi Ibrahim bahwa ayahnya benar-benar memusuhi Allah pada masa hidupnya. Maka Ibrahim tidak lagi berdoa untuknya. Apakah gerangan sebab yang demikian? Maka di akhir ayat ini Allah menerangkan jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu: karena Ibrahim adalah manusia yang amat takut kepada Allah, serta taat dan patuh kepada-Nya, ia juga terkenal sebagai penyantun, dan kokoh pendiriannya dalam segala hal. Itulah sebabnya Nabi Ibrahim segera berhenti berdoa untuk bapaknya, setelah mengetahui bahwa dia benar-benar seorang musyrik, yang dalam hatinya telah tertanam dengan kuat kepercayaan syirik dan permusuhan terhadap Allah. Nabi Ibrahim berhati lembut, ia sangat menyesalkan sikap orang-orang musyrik di kalangan kaumnya, termasuk bapaknya sendiri.

Ayat 115

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa apabila satu kaum benar-benar telah diberi petunjuk, dan telah dilapangkan dada mereka untuk menerima agama Islam, maka Dia sekali-sekali tidak akan menganggap kaum tersebut sebagai orang-orang yang sesat, lalu Dia memperlakukan mereka sama dengan orang-orang yang benar-benar sesat, yang patut dicela dan disiksa. Allah tidak akan berbuat demikian apabila mereka hanya berbuat satu kesalahan, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan yang disebabkan kesalahan ijtihad mereka. Allah tidak akan mencela dan menyiksa mereka karena kesalahan semacam itu, sampai mereka benar-benar paham ajaran-ajaran agama, baik berupa larangan yang harus mereka hindari, maupun perintah yang harus dikerjakan. Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah amat mengetahui segala sesuatu, termasuk kebutuhan manusia terhadap keterangan dan penjelasan. Oleh sebab itu, Allah telah menjelaskan masalah-masalah yang penting dalam agama dengan penjelasan yang pasti dalam firman-Nya, sehingga kaum Muslimin akan dapat mencapai kebenaran dalam ijtihad mereka dan tidak akan tergoda oleh hawa nafsu mereka. Itulah sebabnya Allah tidak menyalahkan Nabi Ibrahim ketika ia memohon ampun untuk bapaknya sebab hal itu dilakukan sebelum ia mendapat bukti dan keterangan yang jelas tentang keadaan ayahnya. Setelah ia mendapat keterangan dan bukti-bukti yang jelas, maka ia segera menghentikan doanya. Demikian pula, Allah tidak akan menimpakan hukuman terhadap Nabi Muhammad saw dan orang-orang mukmin yang telah memohonkan ampun kepada Allah untuk ibu bapak dan kaum kerabat mereka yang telah mati dalam kekafiran, apabila hal itu dilakukan sebelum memperoleh keterangan yang jelas mengenai ketentuan Allah dalam masalah tersebut.

Ayat 116

Allah menjelaskan bahwa Dialah yang memiliki kekuasaan, baik di langit maupun di bumi. Dialah yang menguasai semua yang ada di alam ini. Dia pulalah yang mematikan hamba-Nya bila ajalnya sudah sampai. Dan Sunnah-Nyalah yang berlaku di alam semesta ini. Tidak ada yang mengurus dan menguasai kepentingan orang-orang mukmin, dan tidak ada pula yang akan menolong mereka terhadap musuh, kecuali Allah swt. Oleh sebab itu, orang-orang mukmin tidak boleh menyimpang dari ketentuan Allah, terutama mengenai larangan-Nya untuk memohonkan ampun bagi orang musyrik, walaupun ia termasuk kaum kerabat yang patut diurus dan ditolong. Demikian pula dalam ketentuan-ketentuan yang lain, baik berupa larangan, mupun perintah-perintah-Nya.

Ayat 117

Ayat ini merupakan lanjutan dari ayat-ayat terdahulu, mengenai masalah tobat dari orang-orang yang mangkir dari Perang Tabuk. Adalah menjadi suatu kebiasaan dalam Al-Qur'an untuk menghentikan suatu pembicaraan, lalu mengemukakan pembicaraan yang lain, tetapi kemudian kembali lagi membicarakan masalah semula. Cara semacam ini akan memberikan pengertian yang lebih mantap dan kesan kuat dalam hati dan pikiran orang-orang yang mendengar atau membacanya, dan tidak membosankan. Selain itu juga ada hubungan dengan larangan tentang memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik, yang tersebut dalam ayat yang lalu, karena dalam kedua masalah ini terdapat kesalahan yang perlu ditebus dengan jalan bertobat, dan memperbaiki kekeliruan yang perlu dimintakan ampunan dari Allah. Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dia telah menerima tobat Nabi Muhammad saw dan kaum Muhajirin serta Anshar dan orang-orang mukmin lainnya, yang telah mengikuti Nabi dalam masa-masa sulit, yaitu saat Perang Tabuk, karena Perang Tabuk itu terjadi dalam saat kesulitan. Kesulitan makanan, karena saat itu musim paceklik, sehingga sebutir kurma dimakan oleh satu atau dua orang. Kesulitan air, sehingga ada yang menyembelih untanya agar dapat mengambil air dari lambungnya untuk diminum, padahal unta itu amat mereka perlukan untuk pengangkutan dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga seekor unta dipakai untuk keperluan sepuluh orang. Ditambah lagi udara waktu itu (waktu terjadi Perang Tabuk) amat panas. Penerimaan tobat tersebut terjadi setelah hampir berpalingnya hati segolongan kaum Anshar dan Muhajirin tersebut, sehingga mereka pergi berperang dengan perasaan enggan dan berat, bahkan ada yang dengan sengaja mangkir dari peperangan. Tetapi kemudian Allah menerima tobat mereka setelah mereka menyadari kesalahan mereka. Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah Maha Pengasih dan Penyayang kepada Nabi dan para pengikutnya. Oleh sebab itu Dia senantiasa menerima tobat orang-orang yang benar-benar bertobat kepada-Nya. Menurut penafsiran Ibnu 'Abbas, yang dimaksud Allah menerima tobat Nabi ialah tobat yang dilakukan Nabi atas kekeliruan beliau lantaran mengizinkan beberapa orang tidak ikut berperang, padahal mereka tidak mempunyai udzur yang dapat dibenarkan. Yang dimaksud dengan penerimaan tobat kaum Muhajirin dan Anshar ialah tobat yang mereka lakukan dari kesalahan mereka ketika mereka merasa keberatan untuk keluar ke medan perang, padahal mereka adalah orang-orang yang dipandang paling kuat imannya. Sebagian dari mereka mempunyai kesalahan lantaran mereka suka mendengarkan pembicaraan orang-orang munafik padahal pembicaraan itu dimaksudkan untuk menimbulkan fitnah di kalangan kaum Muslimin.

Ayat 118

Dalam ayat ini kembali diungkapkan hal ihwal tiga orang di antara orang-orang mukmin yang mangkir dari Perang Tabuk, yaitu: Ka'ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin Rabi. Mereka ini semula dengan sengaja tidak ikut berperang bersama Rasulullah saw, tetapi kemudian mereka mengalami tekanan jiwa, dan dunia bagi mereka terasa sempit, karena orang-orang mukmin lainnya memandang mereka sebagai orang-orang yang tidak terhormat. Mereka merasa yakin, bahwa hanya Allah-lah tempat berlindung dari segala siksaan-Nya. Setelah datang kesadaran dan rasa penyesalan, maka mereka bertobat kepada Allah. Allah pun menerima tobat itu, agar mereka tetap berada dalam keinsafan kembali kepada agama Allah dengan bimbingan Rasul-Nya. Setelah terlanjur melakukan pelanggaran terhadap perintah-Nya. Pada akhir ayat ini ditegaskan kembali bahwa Allah Maha Penerima Tobat serta Maha Pengasih kepada hamba-Nya. Dia senantiasa menerima tobat hamba-Nya yang benar-benar bertobat kepada-Nya dan mengampuni dosa serta melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya kepada mereka, walaupun mereka itu telah terlanjur melakukan kesalahan yang menyebabkan mereka berhak untuk dijatuhi azab dan siksa.

Ayat 119

Allah menunjukkan seruan-Nya dan memberikan bimbingan kepada orang-orang yang beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya, agar mereka tetap dalam ketakwaan serta mengharapkan rida-Nya, dengan cara menunaikan segala kewajiban yang telah ditetapkan-Nya, dan menjauhi segala larangan yang telah ditentukan-Nya, dan hendaklah senantiasa bersama orang-orang yang benar dan jujur, mengikuti ketakwaan, kebenaran dan kejujuran mereka. Dan jangan bergabung kepada kaum munafik, yang selalu menutupi kemunafikan mereka dengan kata-kata dan perbuatan bohong ditambah pula dengan sumpah palsu dan alasan-alasan yang tidak benar. Al-Baihaqi meriwayatkan suatu hadis Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda: Sesungguhnya kejujuran itu menuntun kepada kebajikan, dan kebajikan itu menuntun kepada surga. Sesungguhnya seseorang akan berlaku jujur sampai ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu menuntun kepada kejahatan, dan kejahatan itu menuntun ke neraka. Sesungguhnya seseorang itu berlaku dusta sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta. (Hadis Muttafaq 'Alaih) Berdusta selamanya terlarang kecuali bila terpaksa, sebagai tipu muslihat dalam peperangan, atau untuk mendamaikan antara pihak-pihak yang ber-sengketa, atau kebohongan seorang lelaki kepada isterinya yang dimaksud-kan untuk menyenangkan hatinya, misalnya dalam memuji kecantikannya, akan tetapi bukan kebohongan dalam masalah keuangan dan kepentingan kehidupan rumah tangga atau lainnya. Dalam hal ini Rasulullah saw telah bersabda: Setiap kebohongan yang dilakukan oleh seseorang selalu dituliskan sebagai dosanya kecuali bagi seorang yang berbohong sebagai tipu muslihat dalam peperangan, atau kebohongan untuk mendamaikan dua orang yang bersengketa atau kebohongan yang dilakukan seseorang terhadap isterinya dengan maksud untuk menyenangkan hatinya. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad, dari Asma binti Yazid)

Ayat 120

Allah menjelaskan bahwa kaum Muslimin yang berdiam di kota Medinah, dan kaum Muslimin Badui yang berdiam di sekitar kota Medinah seharusnya menyertai Rasulullah saw ke medan perang dan tidak patut bagi mereka untuk tidak mencintai Rasulullah saw karena lebih mencintai diri sendiri. Bila mereka tidak ikut ke medan perang dan hanya tinggal di rumah, ini berarti mereka tidak bersedia menanggung bermacam penderitaan untuk membela agama Allah, mereka tidak merasakan haus, payah dan lapar, dan tidak pula menginjak daerah yang dipertahankan oleh orang-orang kafir, dan tidak pula ikut menimpakan suatu bencana kepada musuh sebagai yang dirasakan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang ikut berperang. Padahal jika mereka mengalami dan melaksanakan hal-hal tersebut niscaya akan dituliskan bagi mereka di sisi Allah sebagai amal saleh setiap kali mereka mengalami dan melaksanakannya, dan akan diberi ganjaran yang amat besar sebagaimana yang dilakukan terhadap orang-orang yang ikut berperang bersama Rasulullah. Setiap kebajikan yang dilakukan oleh orang-orang mukmin baik yang berupa pengorbanan lahir maupun batin tidak akan disia-siakan Allah, apalagi kebajikan untuk membela agama-Nya. Orang-orang yang tinggal di rumah tanpa alasan yang dibenarkan Allah, sesungguhnya adalah orang-orang yang mementingkan diri sendiri, tidak bersedia memberikan pengorbanan dan penderitaan untuk kepentingan bersama dan untuk membela agama Allah. Padahal kenikmatan yang mereka peroleh dalam rumah tangga mereka adalah semata-mata karunia dan rahmat dari Allah. Kesetiaan dan ketaatan kepada Rasulullah haruslah dalam segala situasi dan keadaan, baik pada waktu suka, maupun duka, yang memerlukan pengorbanan atas kesenangan diri, kenikmatan hidup, harta benda dan jiwa raga. Oleh sebab itu, bila datang suatu bahaya yang mengancam kepentingan bersama, kehormatan bangsa dan agama, maka setiap orang mukmin harus bangkit berjuang bersama-sama, tanpa memperhitungkan laba-rugi bagi diri sendiri. Ini adalah lebih mulia, dari pada yang hidup dalam kemewahan, tetapi kehilangan kehormatan diri, agama, bangsa, dan tanah airnya. Allah tidak menyia-nyiakan setiap amal kebajikan dan pengorbanan yang diberikan oleh setiap orang mukmin. Ganjaran pahala yang amat besar disediakan-Nya untuk orang-orang mukmin yang telah berjuang bersama Rasulullah, dan selanjutnya, untuk orang-orang mukmin yang berjuang di jalan Allah, hingga Hari Kiamat kelak. Balasan setiap kebajikan adalah kebajikan pula, inilah ketentuan dari Allah.

Ayat 121

Allah menjelaskan bahwa mereka yang tinggal di rumah dan tidak berangkat ke medan perang bersama Rasulullah, tentu tidak ikut memberikan sumbangan bagi perjuangan dan mereka tidak ikut merasakan kepayahan melintasi lembah dan padang pasir. Lain halnya dengan orang-orng yang ikut berperang. Mereka yang berbuat dan mengalami hal yang demikian itu niscaya dituliskan di sisi Allah sebagai amal saleh, karena Allah akan memberikan kepada mereka balasan yang jauh lebih tinggi nilainya daripada apa yang telah mereka sumbangkan dan apa yang mereka perbuat itu. Orang-orang yang ikut berperang serta menyumbangkan harta bendanya untuk perjuangan di jalan Allah, berarti telah melakukan dua macam pengorbanan yang mulia, yaitu pengorbanan harta benda, dan pengorbanan jiwa raga. Pengorbanan yang paling mulia, tentulah berhak untuk diberi ganjaran yang paling mulia pula, bahkan ganjaran itu lebih tinggi dari pada pengorbanan yang telah diberikannya. Mengenai hal ini, telah ada suatu ketentuan dalam agama Islam, sebagaimana firman Allah: Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. (al-An'am/6: 160) Perlu diingat bahwa pahala yang besar itu tidak hanya diberikan Allah kepada orang mukmin yang mengorbankan harta benda dan jiwa raga dalam peperangan saja, melainkan juga kepada orang-orang mukmin yang melakukan amal kebajikan dalam bidang yang lain. Namun demikian, pengorbanan yang diberikan dalam berjihad di medan perang untuk membela agama adalah lebih mulia daripada pengorbanan untuk kepentingan yang lain. Sehingga pengorbanan harta yang sedikit jumlahnya untuk keperluan jihad sama nilainya dengan pengorbanan harta yang banyak untuk kebajikan yang lain. Penderitaan yang sedikit yang diderita dalam berjihad sama nilainya dengan penderitaan besar yang dialami dalam perbuatan amal yang lain.

Ayat 122

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa tidak semua orang mukmin harus berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi harus menuntut ilmu dan mendalami agama Islam, supaya ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat sehingga kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan. Perang bertujuan untuk mengalahkan musuh-musuh Islam serta mengamankan jalan dakwah Islamiyah. Sedang menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama bertujuan untuk mencerdaskan umat dan mengembangkan agama Islam, agar dapat disebarluaskan dan dipahami oleh semua macam lapisan masyarakat. Dengan demikian, ayat ini mempunyai hubungan yang erat dengan ayat-ayat yang lalu, karena sama-sama menerangkan hukum berjihad, akan tetapi dalam bidang dan cara yang berlainan. Tugas ulama dalam Islam adalah untuk mempelajari agamanya, serta mengamalkannya dengan baik, kemudian menyampaikan pengetahuan agama itu kepada yang belum mengetahuinya. Tugas-tugas tersebut merupakan tugas umat dan setiap pribadi muslim, sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan masing-masing, karena Rasulullah saw telah bersabda: Sampaikanlah olehmu (apa-apa yang telah kamu peroleh) dari padaku, walaupun hanya satu ayat Al-Qur'an saja. (Riwayat al-Bukhari) Akan tetapi, tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk menuntut dan mendalami ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu agama, karena sibuk dengan tugas di medan perang, di ladang, di pabrik, di toko dan sebagainya. Oleh sebab itu harus ada sebagian dari umat Islam yang menggunakan waktu dan tenaganya untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama, agar kemudian setelah mereka selesai dan kembali ke masyarakat, mereka dapat menyebarkan ilmu tersebut, serta menjalankan dakwah Islamiyah dengan cara dan metode yang baik sehingga mencapai hasil yang lebih baik pula. Apabila umat Islam telah memahami ajaran agamanya, dan telah mengerti hukum halal dan haram, serta perintah dan larangan agama, tentulah mereka akan lebih dapat menjaga diri dari kesesatan dan kemaksiatan, dapat melaksanakan perintah agama dengan baik dan dapat menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, umat Islam menjadi umat yang baik, sejahtera dunia dan akhirat. Di samping itu perlu diingat, bahwa apabila umat Islam menghadapi peperangan yang memerlukan tenaga manusia yang banyak, maka dalam hal ini seluruh umat Islam harus dikerahkan untuk menghadapi musuh. Tetapi bila peperangan itu sudah selesai, maka masing-masing harus kembali kepada tugas semula, kecuali sejumlah orang yang diberi tugas khusus untuk menjaga keamanan dan ketertiban, dalam dinas kemiliteran dan kepolisian. Oleh karena ayat ini telah menetapkan bahwa fungsi ilmu adalah untuk mencerdaskan umat, maka tidak dapat dibenarkan bila ada orang Islam yang menuntut ilmu pengetahuan hanya untuk mengejar pangkat dan kedudukan atau keuntungan pribadi saja, apalagi untuk menggunakan ilmu pengetahuan sebagai kebanggaan dan kesombongan diri terhadap golongan yang belum menerima pengetahuan. Orang-orang yang telah memiliki ilmu pengetahuan harus menjadi pelita dan pembimbing bagi umatnya. Ia harus menyebarluaskan ilmunya, dan membimbing orang lain agar memiliki ilmu pengetahuan pula. Selain itu, ia sendiri juga harus mengamalkan ilmunya agar menjadi contoh dan teladan bagi orang-orang sekitarnya dalam ketaatan menjalankan peraturan dan ajaran-ajaran agama. Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian, bahwa dalam bidang ilmu pengetahuan, setiap orang mukmin mempunyai tiga macam kewajiban, yaitu: menuntut ilmu, mengamalkannya, dan mengajarkannya kepada orang lain. Menurut pengertian yang tersurat dari ayat ini, kewajiban menuntut ilmu pengetahuan yang ditekankan di sisi Allah adalah dalam bidang ilmu agama. Akan tetapi agama adalah suatu sistem hidup yang mencakup seluruh aspek dan segi kehidupan manusia. Setiap ilmu pengetahuan yang berguna dan dapat mencerdaskan kehidupan mereka, dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama, wajib dipelajari. Umat Islam diperintahkan Allah untuk memakmurkan bumi ini dan menciptakan kehidupan yang baik. Sedang ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban, adalah wajib pula hukumnya. Dalam hal ini, para ulama Islam telah menetapkan suatu kaidah yang berbunyi: Sesuatu yang diperlukan untuk melaksanakan yang wajib, maka ia wajib pula hukumnya. Karena pentingnya fungsi ilmu dan para sarjana, maka beberapa negara Islam membebaskan para ulama (sarjana) dan mahasiswa pada perguruan agama, dari wajib militer, agar pengajaran dan pengembangan ilmu senantiasa dapat berjalan dengan lancar, kecuali bila negara sedang menghadapi bahaya besar, yang harus dihadapi oleh segala lapisan masyarakat.

Ayat 123

Pedoman dan petunjuk berperang yang ditunjukkan Allah dalam ayat ini kepada Rasulullah saw dan kaum Muslimin adalah lebih dahulu memerangi musuh-musuh Islam yang berada pada garis lingkaran yang terdekat dengan pusat kedudukan umat Islam, kemudian dilanjutkan kepada lingkaran yang lebih jauh. Hal ini didasarkan kepada prinsip, bahwa peperangan yang dilakukan umat Islam hanyalah untuk mengamankan jalannya dakwah Islamiyah dan untuk melindungi keselamatan umat Islam, sedang dakwah tersebut juga dimulai dari orang-orang yang terdekat, dilanjutkan kepada orang-orang yang lebih jauh. Dengan demikian, terlihat adanya keselarasan antara dakwah Islamiyah dan peperangan tersebut. Petunjuk ini telah dilaksanakan dengan baik oleh Rasulullah saw, baik dalam bidang dakwah, maupun peperangan yang berfungsi untuk meng-amankan dakwah tersebut. Mengenai dakwah, beliau telah melaksanakannya lebih dahulu kepada keluarganya yang terdekat dan sahabat-sahabat karibnya, sesuai dengan petunjuk Allah. Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (asy-Syu'ara/26: 214) Dan firman-Nya dalam ayat yang lain: ¦dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. (al-An'am/6: 92) Kemudian, dakwah ini beliau lanjutkan kepada masyarakat yang lebih luas, tidak saja dalam lingkungan negeri Arab, bahkan kepada raja-raja dan bangsa-bangsa sekitar Jazirah Arab. Demikian pula dalam hal peperangan, sesuai dengan ayat-ayat sebelum-nya dimulai dari musuh-musuh Islam yang terdekat, yang selalu melakukan tipu daya untuk menghalang-halangi kelangsungan dakwah Islamiyah. Kemudian dilanjutkan kepada suku-suku Arab yang lebih jauh dari pusat kedudukan atau basis umat Islam. Sesudah Rasulullah saw wafat, maka para khalifah sesudahnya meneruskan peperangan tersebut ke daerah-daerah yang lebih jauh, yaitu ke negeri Syam (Syria) dan Irak. Kemudian menyusup ke benua Afrika (sebelah Barat) dan Persia, Khurasan, bahkan sampai ke pegunungan Hindukust (sebelah Timur) sesuai dengan perluasan dakwah Islamiyah. Musuh-musuh Islam yang terdekat kepada Rasulullah dan kaum Muslimin ketika itu ialah orang-orang kafir yang terdiri dari kaum Yahudi yang berdiam di kota Medinah, kemudian di Khaibar, dan selanjutnya mereka yang memerangi kaum Muslimin di Perang Tabuk, dan sesudah itu musuh-musuh Islam di daerah-daerah Syam yang ketika itu berada dalam kekuasaan Romawi Timur yang berpusat di Bizantium. Strategi perang dengan cara memulai dari yang terdekat kepada yang jauh, adalah tepat sekali, ditinjau dari berbagai segi, yaitu: dari segi kemungkinan fasilitas pengangkutan, perbekalan, dan biaya. Semakin dekat tempatnya, semakin mudah cara-cara pengangkutan, dan dengan demikian semakin kecil pula biaya dan perbekalan yang diperlukan. Semakin jauh tempat yang harus didatangi, semakin sukar pula pengangkutan, dan semakin banyak pula waktu dan perbekalan yang diperlukan. Dengan sendirinya semakin banyak biaya dan tenaga yang dibutuhkan. Perang dalam tuntunan ajaran Islam adalah perjuangan yang harus dipersiapkan untuk terciptanya perdamaian sebagaimana pepatah dalam bahasa Arab, yang diungkapkan dalam kalimat: Perdamaian yang dipersenjatai Dalam kaidah umum biasa dikatakan, kita harus selalu siap berperang untuk menciptakan perdamaian. Jika kita tidak dalam keadaan siap perang maka musuh setiap saat dapat menyerang kita, tetapi jika kita dalam keadaan siap perang maka musuhpun tidak berani menyerang kita. Karena itulah dalam Al-Qur'an, terutama Surah at-Taubah banyak mengungkapkan persoalan perang dan petunjuk-petunjuk kepada umat Islam untuk selalu siap berperang dengan berbagai stretegi untuk mewujudkan perdamaian. Allah memberikan petunjuk-Nya, agar kaum Muslimin mampu meng-gunakan kekerasan dan kekuatan terhadap orang-orang kafir yang menghalang-halangi dakwah Islamiyah, apabila jalan diplomasi dan perlakuan yang lemah lembut dan ramah tamah tidak bermanfaat lagi untuk mereka. Kaum Muslimin diperintahkan untuk bersikap adil, kasih sayang, dan ramah tamah kepada orang-orang bukan Islam. Akan tetapi bila mereka tetap mengganggu kepentingan umat Islam, terutama dakwah Islamiyah, maka kaum Muslimin harus menggunakan kekuatan dan kekuasaan, sehingga mereka menghentikan permusuhan terhadap Islam dan kaum Muslimin. Hal ini tersebut pula dalam firman Allah pada ayat yang lain: Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. (at-Taubah/9: 73) Dengan demikian jelaslah bahwa kaum Muslimin harus siap mengguna-kan dua macam sikap dalam menghadapi orang kafir dan munafik yaitu, pertama sikap diplomasi yang luwes, lembut, dan ramah tamah jika mereka mau diajak berdamai. Orang kafir dalam hubungan ini disebut sebagai kafir mu'ahidi atau kafir zimmi, jika mereka termasuk warga negara kita. Kedua, tegas dan bila perlu mempergunakan kekuatan, apabila mereka tidak mau diajak hidup berdampingan secara damai. Orang kafir dalam kondisi demikian disebut sebagai kafir harbi, sehingga tidak ada jalan menghadapi mereka kecuali dengan kekuatan dan peperangan. Pada akhir ayat ini Allah meyakinkan orang-orang yang bertakwa, bahwa Dia senantiasa bersama mereka. Artinya Allah memberikan jaminan kepada orang-orang yang bertakwa, yaitu yang senantiasa menjaga hukum-hukum dan ketentuan Allah, bahwa Dia akan selalu memberikan bantuan dan pertolongan-Nya. Ketentuan-ketentuan Allah yang perlu diperhatikan dalam masalah peperangan ialah agar umat Islam tidak lalai dalam mempersiapkan segala sesuatu yang perlu untuk mencapai kemenangan, yaitu kekuatan fisik dan mental. Kekuatan fisik mencakup: prajurit yang berbadan sehat dan kuat, alat-alat senjata yang efektif, kubu-kubu pertahanan yang tangguh, serta perbekalan dan perlengkapan yang cukup. Sedang kekuatan mental ialah: niat yang ikhlas, semangat yang tinggi, kesabaran dan keuletan yang tangguh, serta siasat perang yang jitu serta disiplin yang kuat, dan persatuan yang kokoh. Termasuk pula etika perang dan moral yang tinggi, yaitu tidak berlaku zalim terhadap wanita, anak-anak, orang tua yang lemah, serta tidak pula berlaku kejam terhadap orang-orang yang sudah menyerah atau tertawan, selama mereka ini tidak membahayakan bagi kepentingan Islam dan umat Islam. Untuk mencapai kemenangan ini diperlukan iman yang kokoh, serta ingat dan tawakkal kepada Allah.

Ayat 124

Sikap kaum munafik di masa Nabi Muhammad saw di antaranya adalah apabila ayat-ayat Al-Qur'an diturunkan kepada beliau dan disampaikan kepada mereka, maka di antara mereka itu ada yang bertanya kepada teman-temannya baik dari kalangan munafik sendiri maupun teman-teman mereka dari kaum Muslimin yang lemah imannya bahwa siapakah di antara mereka yang bertambah imannya dengan turunnya surah ini. Ini meyakinkan bahwa Al-Qur'an ini benar-benar dari Allah bahwa Muhammad itu benar-benar pesuruh Allah, bahwa tiap-tiap ayat Al-Qur'an merupakan mukjizat bagi Muhammad, dan bahwa Al-Qur'an itu bukan buatan Muhammad. Jika diperhatikan pertanyaan orang munafik yang tersebut dalam ayat-ayat ini, dirasakan bahwa pertanyaan itu bukanlah maksudnya untuk menanyakan sesuatu yang tidak diketahui, tetapi menunjukkan apa yang menjadi isi hati mereka; yaitu mereka belum percaya kepada Rasulullah, sekalipun mulut mereka telah mengakuinya. Bahkan mereka ingin agar orang-orang Islam yang lemah imannya menjadi seperti mereka pula. Seandainya tidak ada penyakit di dalam hati orang-orang munafik itu, pasti mereka mengetahui bahwa iman yang sesungguhnya yang disertai dengan ketundukan dan penghambaan diri kepada Allah, karena telah merasakan dan meyakini kekuasaan-Nya, pasti akan bertambah dengan mendengar dan membaca ayat-ayat Al-Qur'an, apalagi jika langsung mendengarnya dari Rasulullah saw sendiri. Sifat-sifat munafik ini diterangkan dalam firman-Nya: Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta. (al-Baqarah/2: 9-10) Mengenai kesan terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dalam hati orang-orang yang beriman diterangkan dalam firman Allah: Sebenarnya, (Al-Qur'an) itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada orang-orang yang berilmu. Hanya orang-orang yang zalim yang mengingkari ayat-ayat Kami. (al-'Ankabut/29: 49) Pertanyaan orang-orang munafik itu dijawab Allah dengan ungkapan yang tersebut pada akhir ayat ini yang maksudnya adalah orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya dan mereka merasa gembira.

Ayat 125

Jawaban pertanyaan mereka seputar Al-Qur'an diterangkan pada ayat ini. Adapun orang-orang yang hatinya ragu-ragu dan orang-orang munafik, yaitu orang-orang yang hatinya penuh kekafiran sedang mulutnya menyatakan iman, setiap ayat yang disampaikan kepada mereka selalu menimbulkan keragu-raguan dan kemunafikan dalam hati mereka. Hal seperti ini selalu bertambah kuat pengaruhnya pada diri mereka, sehingga akhirnya mereka mati sebagai seorang munafik yang kafir. Hal yang mereka alami ini akan dialami oleh orang-orang sesudah mereka, yang sama hatinya dengan hati mereka, mereka akan mati sebagai orang kafir.

Ayat 126

Pada ayat ini Allah tidak membenarkan bahkan mencela sikap orang-orang munafik yang tetap membangkang, tidak mau bertobat dan tidak pula mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa yang telah mereka alami. Padahal kepada mereka setiap tahun telah didatangkan cobaan dan pengalaman pahit serta kekalahan yang seharusnya dapat menambah kuat iman seseorang sehingga mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. Berbagai cobaan, ujian, dan pengalaman mereka itu, jika mereka mau merenungkannya dengan baik, tentu akan menyampaikan mereka kepada kesimpulan bahwa Muhammad itu benar-benar Rasulullah yang diutus Allah kepada mereka. Akan tetapi, mereka tetap ingkar dan tidak mau bertobat serta mengambil pelajaran dari padanya. Bahkan hati mereka bertambah sesat dan bertambah ingkar.

Ayat 127

Ayat ini menerangkan sikap dan tindakan orang-orang munafik di majlis Rasulullah waktu diturunkan ayat-ayat Al-Qur'an. Bila diturunkan satu ayat atau satu surah kepada Rasulullah saw, mereka saling berpandangan satu sama lain dan mengedipkan mata sebagai isyarat memandang enteng apa yang telah diturunkan itu. Sikap mereka ini menunjukkan bahwa pengaruh kekafiran telah berurat berakar dalam jiwa mereka. Mereka sebenarnya tidak ingin mendengarkan ayat-ayat Al-Qur'an dari Rasulullah, dan tidak ingin orang lain mendapat petunjuk dari Al-Qur'an. Sikap orang-orang munafik lainnya ialah: mereka secara diam-diam meninggalkan majlis Rasulullah saw seraya saling bertanya kepada sesama temannya yang lain, "Apakah ada orang yang melihat kepergian kita meninggalkan majlis itu?" Sedangkan orang-orang mukmin mendengar dan memperhatikan ayat-ayat itu dengan tunduk dan penuh perhatian. Sikap orang-orang munafik inilah yang membuat Allah memalingkan hati mereka dari iman dan dari petunjuk-petunjuk yang ada dalam ayat-ayat Al-Qur'an. Allah melakukan yang demikian karena mereka lebih dulu mengingkari seruan Nabi dan tidak menghiraukan petunjuk-petunjuk Al-Qur'an.

Ayat 128

Ayat ini sekalipun khusus ditujukan kepada bangsa Arab di masa Nabi, tetapi juga ditujukan kepada seluruh umat manusia. Semula ditujukan kepada orang Arab di masa Nabi, karena kepada merekalah Al-Qur'an pertama kali disampaikan, karena Al-Qur'an itu dalam bahasa Arab, tentulah orang Arab yang paling dapat memahami dan merasakan ketinggian sastra Al-Qur'an. Dengan demikian mereka mudah pula menyampaikan kepada orang-orang selain bangsa Arab. Jika orang-orang Arab sendiri tidak mempercayai Muhammad dan Al-Qur'an, tentu orang-orang selain Arab lebih sukar mempercayainya. Ayat ini seakan-akan mengingatkan orang-orang Arab, sebagaimana isinya yang berbunyi, "Hai orang-orang Arab, telah diutus seorang Rasul dari bangsamu sendiri yang kamu ketahui sepenuhnya asal-usul dan kepribadian-nya, serta kamu lebih mengetahuinya dari orang-orang lain." Sebagian mufassir menafsirkan perkataan "Rasulun min anfusikum" dengan hadis: Bersabda Rasulullah saw, "Sesungguhnya Allah telah memilih Bani Kinanah dari keturunan Ismail, dan memilih suku Quraisy dari Bani Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari suku Quraisy, dan Allah telah memilihku dari Bani Hasyim." (Riwayat Muslim dan at-Tirmidzi dari Wasilah bin Asqa) Dari ayat dan hadis di atas dapat dipahami tentang kesucian keturunan Nabi Muhammad saw, yang berasal dari suku-suku pilihan dari bangsa Arab. Dan orang-orang Arab mengetahui benar tentang hal ini. Nabi Muhammad saw yang berasal dari keturunan yang baik dan terhormat mempunyai sifat-sifat yang mulia dan agung, yaitu: 1. Nabi merasa tidak senang jika umatnya ditimpa sesuatu yang tidak diinginkan, seperti dihinakan karena dijajah dan diperhamba oleh musuh-musuh kaum Muslimin, sebagaimana ia tidak senang pula melihat umatnya ditimpa azab yang pedih di akhirat nanti. 2. Nabi sangat menginginkan agar umatnya mendapat taufik dari Allah, bertambah kuat imannya, dan bertambah baik keadaannya. Keinginan beliau ini dilukiskan oleh Allah dalam firman-Nya: Jika engkau (Muhammad) sangat mengharapkan agar mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya, dan mereka tidak mempunyai penolong. (an-Nahl/16: 37) Dan Allah berfirman: Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya. (Yusuf/12: 103) 3. Nabi selalu belas kasihan dan amat penyayang kepada kaum Muslimin. Keinginannya ini tampak pada tujuan risalah yang disampaikannya, yaitu agar manusia hidup berbahagia di dunia dan akhirat nanti. Dalam ayat ini Allah memberikan dua macam sifat kepada Nabi Muhammad, kedua sifat itu juga merupakan sifat Allah sendiri, yang termasuk di antara "asmaul husna", yaitu sifat "rauf" (amat belas kasihan) dan sifat "rahim" (penyayang) sebagai tersebut dalam firman-Nya: ...Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia. (al-Baqarah/2: 143) Pemberian kedua sifat itu kepada Muhammad menunjukkan bahwa Allah menjadikan Muhammad sebagai Rasul yang dimuliakan-Nya.

Ayat 129

Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya bahwa jika orang-orang kafir dan munafik itu tidak juga mau beriman setelah didatangkan kepada mereka petunjuk, katakanlah kepada mereka, "Cukuplah Allah bagiku, dan Dia akan menolongku, tidak ada Tuhan yang lain yang disembah, selain Dia, hanya kepada-Nya-lah aku bertawakal dan menyerahkan diri, dan hanya Dialah yang mengatur dan mengurus alam semesta, Dia memiliki 'Arsy yang Agung." Diriwayatkan dari Zaid bin sabit yang ditugaskan oleh 'Umar ra untuk mengumpulkan Al-Qur'an yang masih belum terkumpul di masa Abu Bakar, bahwa Zaid berkata, "...Hingga aku memperoleh dua ayat terakhir dari Surah at-Taubah pada catatan Khuzaimah bin sabit al-Anshari, aku tidak memperolehnya sebelumnya dari seorang pun, sedang kedua ayat itu dihafal dan dikenal oleh orang banyak." (Riwayat al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan perawi-perawi yang lain).