Dalam ayat ini, khithab (seruan) Allah ditujukan kepada Nabi Muhammad, tetapi pada hakikatnya dimaksudkan juga kepada umatnya yang beriman. Allah menyerukan kepada orang-orang mukmin apabila mereka ingin menceraikan (menalak) istri-istri mereka, agar melakukannya ketika istrinya langsung bisa menjalani idahnya, yaitu pada waktu istri-istri itu suci dari haid dan belum dicampuri, sebagaimana dijelaskan dalam satu hadis Nabi saw yang berasal dari Ibnu 'Umar: 'Abdullah bin 'Umar telah menalak istrinya dalam keadaan haid. Lalu 'Umar bin Khaththab menanyakan hal itu kepada Nabi saw, lalu beliau memerintahkan 'Abdullah bin 'Umar merujuk istrinya, menahan istrinya (tinggal bersama) sampai masa suci. Lalu menunggu masa haidnya lagi sampai suci, maka setelah itu jika ia menginginkan tinggal bersama istrinya (maka lakukanlah), dan jika ia ingin menalak istrinya (maka lakukanlah) sebelum menggaulinya. Demikianlah masa idah yang diperintahkan Allah ketika perempuan ditalak. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim) Seorang suami yang akan menalak istrinya, agar meneliti dan memperhitungkan betul kapan idah istrinya mulai dan kapan berakhir, agar istri langsung bisa menjalani idahnya sehingga tidak menunggu terlalu lama. Suami juga diminta melaksanakan hukum-hukum dan memenuhi hak-hak istri yang harus dipenuhi selama masa idah. Hendaklah suami itu takut kepada Allah dan jangan menyalahi apa yang telah diperintahkan-Nya mengenai talak, yaitu menjatuhkan talak pada masa yang direstui-Nya dan memenuhi hak istri yang di talak. Antara lain, janganlah sang suami mengeluarkan istri yang ditalaknya dari rumah yang ditempatinya sebelum ditalak dengan alasan marah dan sebagainya, karena menempatkan istri itu pada tempat yang layak adalah hak istri yang telah diwajibkan Allah selama ia masih dalam idah. Sang suami juga dilarang untuk mengeluarkan istri yang sedang menjalani idah dari rumah yang ditempatinya. Apalagi membiarkan keluar sekehendaknya, karena yang demikian merupakan pelanggaran agama, kecuali apabila istri terang-terangan mengerjakan perbuatan keji, seperti melakukan perbuatan zina dan sebagainya. Jika sang istri berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, maka bolehlah ia dikeluarkan dari tempat tinggalnya. Demikianlah batas-batas dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan Allah mengenai talak, idah, dan sebagainya. Oleh karena itu, barang siapa melanggar hukum-hukum Allah itu, berarti ia berbuat zalim kepada dirinya sendiri. Andaikata Allah menakdirkan satu perubahan, lalu hati suami berbalik menjadi cinta lagi kepada istrinya yang telah ditalaknya dan merasa menyesal atas perbuatannya kemudian ia ingin rujuk kembali, maka baginya sudah tertutup jalan, bila keinginannya itu dilaksanakan sesudah habis masa idahnya karena ia telah menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan kepadanya. Istri yang dimaksud di sini ialah istri yang sudah atau masih haid dan sudah dicampuri sesudah akad nikah. Ada pun istri yang masih kecil atau sudah ayisah (tidak haid lagi) atau belum dicampuri sesudah akad nikah, apabila ditalak, mempunyai hukum idah tersendiri. Berbeda dengan hukum yang berlaku seperti tersebut di atas.
Dalam ayat-ayat ini, Allah menerangkan bahwa apabila masa idah istri hampir habis dan suami masih ingin berkumpul kembali, ia boleh rujuk kepada istrinya dan tinggal bersama secara baik sebagai suami-istri, melaksanakan kewajibannya, memberi belanja, pakaian, tempat tinggal, dan lainnya. Akan tetapi, kalau suami tetap tidak akan rujuk kepada istri, maka ia boleh melepaskannya secara baik pula tanpa ada ketegangan terjadi, menyempurnakan maharnya, memberi mut'ah sebagai imbalan dan terima kasih atas kebaikan istrinya selama ia hidup bersama dan lain-lain yang menghibur hatinya. Apabila suami memilih rujuk, maka hendaknya hal itu disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki yang adil, untuk memantapkan rumah tangganya kembali. Selanjutnya Allah menyerukan agar kesaksian itu diberikan secara jujur karena Allah semata-mata tanpa mengharapkan bayaran dan tanpa memihak, sebagaimana firman Allah: Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri. (an-Nisa'/4: 135) Demikian seruan mengenai rujuk dan talak untuk menjadi pelajaran bagi orang yang beriman kepada Allah di hari akhirat. Orang yang bertakwa kepada Allah, dan patuh menaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan-Nya, antara lain mengenai rujuk dan talak tersebut di atas, niscaya Ia akan menunjukkan baginya jalan keluar dari kesulitan yang dihadapinya. Bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah, tidak saja diberi dan dimudahkan jalan keluar dari kesulitan yang dihadapinya, tetapi juga diberi rezeki oleh Allah dari arah yang tidak disangka-sangka, yang belum pernah terlintas dalam pikirannya. Selanjutnya Allah menyerukan agar mereka bertawakal kepada-Nya, karena Allah-lah yang mencukupkan keperluannya mensukseskan urusannya. Bertawakal kepada Allah artinya berserah diri kepada-Nya, menyerahkan sepenuhnya kepada-Nya keberhasilan usaha. Setelah ia berusaha dan memantapkan satu ikhtiar, barulah ia bertawakal. Bukanlah tawakal namanya apabila seorang menyerahkan keadaannya kepada Allah tanpa usaha dan ikhtiar. Berusaha dan berikhtiar dahulu baru bertawakal menyerahkan diri kepada Allah. Pernah terjadi seorang Arab Badui berkunjung kepada Nabi di Medinah dengan mengendarai unta. Setelah orang Arab itu sampai ke tempat yang dituju, ia turun dari untanya lalu masuk menemui Nabi saw. Nabi bertanya, "Apakah unta sudah ditambatkan?" Orang Badui itu menjawab, "Tidak! Saya melepaskan begitu saja, dan saya bertawakal kepada Allah." Nabi saw bersabda, "Tambatkan dulu untamu, baru bertawakal." Allah akan melaksanakan dan menyempurnakan urusan orang yang bertawakal kepada-Nya sesuai dengan kodrat iradat-Nya, pada waktu yang telah ditetapkan, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: Dan segala sesuatu ada ukuran di sisi-Nya. (ar-Ra'd/13: 8)
Dalam ayat-ayat ini, Allah menerangkan bahwa apabila masa idah istri hampir habis dan suami masih ingin berkumpul kembali, ia boleh rujuk kepada istrinya dan tinggal bersama secara baik sebagai suami-istri, melaksanakan kewajibannya, memberi belanja, pakaian, tempat tinggal, dan lainnya. Akan tetapi, kalau suami tetap tidak akan rujuk kepada istri, maka ia boleh melepaskannya secara baik pula tanpa ada ketegangan terjadi, menyempurnakan maharnya, memberi mut'ah sebagai imbalan dan terima kasih atas kebaikan istrinya selama ia hidup bersama dan lain-lain yang menghibur hatinya. Apabila suami memilih rujuk, maka hendaknya hal itu disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki yang adil, untuk memantapkan rumah tangganya kembali. Selanjutnya Allah menyerukan agar kesaksian itu diberikan secara jujur karena Allah semata-mata tanpa mengharapkan bayaran dan tanpa memihak, sebagaimana firman Allah: Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri. (an-Nisa'/4: 135) Demikian seruan mengenai rujuk dan talak untuk menjadi pelajaran bagi orang yang beriman kepada Allah di hari akhirat. Orang yang bertakwa kepada Allah, dan patuh menaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan-Nya, antara lain mengenai rujuk dan talak tersebut di atas, niscaya Ia akan menunjukkan baginya jalan keluar dari kesulitan yang dihadapinya. Bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah, tidak saja diberi dan dimudahkan jalan keluar dari kesulitan yang dihadapinya, tetapi juga diberi rezeki oleh Allah dari arah yang tidak disangka-sangka, yang belum pernah terlintas dalam pikirannya. Selanjutnya Allah menyerukan agar mereka bertawakal kepada-Nya, karena Allah-lah yang mencukupkan keperluannya mensukseskan urusannya. Bertawakal kepada Allah artinya berserah diri kepada-Nya, menyerahkan sepenuhnya kepada-Nya keberhasilan usaha. Setelah ia berusaha dan memantapkan satu ikhtiar, barulah ia bertawakal. Bukanlah tawakal namanya apabila seorang menyerahkan keadaannya kepada Allah tanpa usaha dan ikhtiar. Berusaha dan berikhtiar dahulu baru bertawakal menyerahkan diri kepada Allah. Pernah terjadi seorang Arab Badui berkunjung kepada Nabi di Medinah dengan mengendarai unta. Setelah orang Arab itu sampai ke tempat yang dituju, ia turun dari untanya lalu masuk menemui Nabi saw. Nabi bertanya, "Apakah unta sudah ditambatkan?" Orang Badui itu menjawab, "Tidak! Saya melepaskan begitu saja, dan saya bertawakal kepada Allah." Nabi saw bersabda, "Tambatkan dulu untamu, baru bertawakal." Allah akan melaksanakan dan menyempurnakan urusan orang yang bertawakal kepada-Nya sesuai dengan kodrat iradat-Nya, pada waktu yang telah ditetapkan, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: Dan segala sesuatu ada ukuran di sisi-Nya. (ar-Ra'd/13: 8)
Ayat ini menjelaskan bahwa idah perempuan-perempuan yang ya'is (tidak haid lagi), adalah tiga bulan. Begitu juga perempuan muda yang belum pernah haid. Adapun bagi perempuan-perempuan yang hamil, maka idahnya sampai melahirkan kandungannya. Begitu juga perempuan-perempuan hamil yang meninggal suaminya, idahnya sampai melahirkan kandungannya, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Malik, Imam Syafi'i, Abdur Razaq, Ibnu Abi Syaibah, dan Ibnu Mundhir dari Ibnu 'Umar. Ketika ditanya tentang perempuan hamil yang meninggal suaminya, Ibnu 'Umar menjawab, "Apabila perempuan itu melahirkan kandungannya, maka ia menjadi halal (untuk dinikahi)." Mengenai hal ini ada ulama yang berpendapat yang didasarkan pada masa terlama dari dua waktu, yaitu kalau hamil tua dan segera melahirkan maka idahnya 4 bulan 10 hari. Sedang kalau hamil muda, idahnya sampai perempuan itu melahirkan. Orang yang bertakwa kepada Allah, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka ia akan dimudahkan urusannya, dilepaskan dari kesulitan yang dialaminya. Dua ayat di atas (ayat 1 dan 4), dan 2 (dua) ayat lain yang berada di antaranya (ayat 2 dan 3), mengatur mengenai tata cara perceraian. Di antaranya hal yang mengatur masa idah. Masa tersebut dengan jelas disebutkan sebagai 3 (tiga) bulan bagi wanita yang (sedang) tidak haid dan mereka yang sudah memasuki masa menopause, dan sampai saat melahirkan bagi mereka yang sedang mengandung. Pada dasarnya, waktu tiga bulan, apabila tidak lagi terjadi persetubuhan, maka akan dapat ditentukan kondisi wanita, apakah dalam keadaan hamil atau tidak. Karena mulai pada bulan pertama kehamilan, haid akan berhenti. Tentunya, berhentinya haid ini dapat disebabkan oleh banyak hal. Dapat karena hamil, atau sedang memulai proses menopause, atau karena adanya penyakit. Bagi seorang wanita, mereka akan mengetahui terjadinya kehamilan dari adanya beberapa ciri lain, karena kehamilan tidak saja ditandai oleh terlambatnya haid atau makin "gendutnya" perut. Masih ada tanda-tanda lainnya. Memang tidak mudah mengetahui apakah seseorang benar-benar hamil atau tidak.
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa hukum-hukum yang telah disyariatkan mengenai talak, tempat tinggal, dan idah perempuan yang tertera pada ayat-ayat yang lalu adalah ketentuan Allah yang mesti diamalkan dan dilaksanakan. Pada akhir ayat ini, sekali lagi Allah menjelaskan bahwa bagi orang yang bertakwa kepada-Nya dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, niscaya Dia akan menghapus dan mengampuni dosanya sebagaimana yang telah dijanjikan-Nya. Dalam ayat lain Allah berfirman: Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. (Hud/11: 114) Selain dari itu, Allah juga melipatgandakan pahala amal mereka, sebagaimana yang Ia janjikan dalam firman-Nya: Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi). (al-An'am/6: 160)
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa menjadi kewajiban bagi suami memberi tempat tinggal yang layak, sesuai dengan kemampuannya kepada istri yang tengah menjalani idah. Jangan sekali-kali ia berbuat yang menyempitkan dan menyusahkan hati sang istri dengan menempatkannya pada tempat yang tidak layak atau membiarkan orang lain tinggal bersamanya, sehingga ia merasa harus meninggalkan tempat itu dan menuntut tempat lain yang disenangi. Jika istri yang di talak ba'in sedang hamil, maka ia wajib diberi nafkah secukupnya sampai melahirkan. Apabila ia melahirkan, maka habislah masa idahnya. Namun demikian, karena ia menyusukan anak-anak dari suami yang menceraikannya, maka ia wajib diberi nafkah oleh sang suami sebesar yang umum berlaku. Sebaiknya seorang ayah dan ibu merundingkan dengan cara yang baik tentang kemaslahatan anak-anaknya, baik mengenai kesehatan, pendidikan, maupun hal lainnya. Di sejumlah negara muslim, hak-hak perempuan yang dicerai telah diatur secara khusus dalam undang-undang. Apabila di antara kedua belah pihak tidak terdapat kata sepakat, maka pihak ayah boleh saja memilih perempuan lain yang dapat menerima dan memahami kemampuannya untuk menyusukan anak-anaknya. Sekalipun demikian, kalau anak itu tidak mau menyusu kepada perempuan lain, tetapi hanya ke ibunya, maka sang bapak wajib memberi nafkah yang sama besarnya seperti nafkah yang diberikan kepada orang lain.
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa kewajiban ayah memberikan upah kepada perempuan yang menyusukan anaknya menurut kemampuannya. Jika kemampuan ayah itu hanya dapat memberi makan karena rezekinya sedikit, maka hanya itulah yang menjadi kewajibannya. Allah tidak akan memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana firman-Nya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (al-Baqarah/2: 286) Dalam ayat lain juga dijelaskan: Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. (al-Baqarah/2: 233) Tidak ada yang kekal di dunia. Pada suatu waktu, Allah akan mem-berikan kelapangan sesudah kesempitan, kekayaan sesudah kemiskinan, kesenangan sesudah penderitaan. Allah berfirman: Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. (asy-Syarh/94: 6)
Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa tidak sedikit daerah yang penduduknya menyalahi perintah-Nya, mendustakan rasul-rasul yang telah diutus kepada mereka. Mereka akan dihisab dengan perhitungan yang sangat teliti, sehingga terbongkar segala kejahatan yang telah diperbuatnya di dunia. Mereka lalu diazab dengan siksaan yang mengerikan.
Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang yang diazab di hari Kiamat dengan azab yang mengerikan adalah seperti orang-orang yang memetik hasil tanaman mereka, mendapatkan hasil usaha mereka sesuai dengan tanaman dan usaha mereka. Jika baik yang ditanam, baik pula yang akan dipetik, sebaliknya jika buruk yang ditanam, buruk pula yang akan dipetik, dan tidak mungkin terjadi sebaliknya. Sejalan dengan uraian ini, dalam ayat lain dijelaskan: Barang siapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri. Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba-(Nya). (Fussilat/41: 46) Akibat perbuatan buruk yang mereka kerjakan, mereka memperoleh kerugian yang sangat besar.
Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa bagi orang-orang yang senantiasa memperlihatkan keingkaran dan pembangkangan terhadap ajaran-ajaran para rasul yang berasal dari Allah, telah disediakan azab yang pedih di hari kemudian. Orang-orang yang berakal dan beriman mestinya bertakwa kepada Allah, karena Ia telah lama menurunkan peringatan yaitu Al-Qur'an, yang memperingatkan segala sesuatunya, untuk menjadi pegangan dengan mengamalkan serta mematuhi isinya.
Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa Dia telah mengutus seorang rasul untuk membacakan dan mengajarkan ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya, yang mengandung bermacam-macam petunjuk dan hukum. Ayat-ayatnya sangat jelas dan mudah dipahami oleh orang yang mau memikirkan dan mempergunakan akalnya, agar orang-orang beriman dan mengerjakan amal saleh memperoleh petunjuk, dan keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Orang-orang yang beriman kepada Allah mengakui kebesaran kekuasaan-Nya. Mereka itu akan dimasukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya, tidak akan mati dan tidak akan dikeluarkan. Di dalam surga, mereka memperoleh beraneka macam kenikmatan yang besar, kelapangan rezeki berupa makanan dan minuman yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, dan terlintas di dalam hati manusia.
Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa Dialah yang menciptakan tujuh petala langit dan yang menciptakan tujuh lapis bumi. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud , Nabi saw bersabda: Wahai Abu dzarr, tidaklah ada (perbandingan) tujuh petala langit dengan kursi melainkan seperti lingkaran kecil di hamparan tanah yang luas. Sedangkan (perbandingan) 'Arsy dengan kursi di hamparan tanah yang luas dengan lingkaran kecil. (Riwayat Ibn hibban dan Abu Nu'aim) Perintah, qadha', dan qadar Allah berlaku di antara bumi dan langit. Dialah yang mengatur semuanya sesuai dengan ilmu-Nya yang Mahaluas, menerapkan kebijaksanaan-Nya yang adil dan membawa maslahat. Semuanya itu bertujuan agar manusia mengetahui sejauh mana kekuasaan Allah. Tidak ada sesuatu yang dapat menghalangi kehendak-Nya. Dia kuasa di atas segala sesuatu. Hal ini juga bertujuan agar manusia mengetahui bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatunya. Tidak ada sesuatu di langit dan di bumi walau bagaimanapun kecilnya, kecuali diketahui Allah. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: Bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan di langit. (Ali 'Imran/3: 5) Dijelaskan juga dalam firman-Nya yang lain: Dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. (Ibrahim/14: 38)