☪ Al-Mumtahanah

Arti: Wanita Yang Diuji | Jumlah ayat: 13

Tafsir

Ayat 1

Ayat ini memperingatkan kaum Muslimin agar tidak mengadakan hubungan kasih sayang dengan kaum musyrik yang menjadi musuh Allah dan kaum Muslimin. Sebab, dengan adanya hubungan yang demikian itu, tanpa disadari mereka telah membukakan rahasia-rahasia kaum Muslimin, menyampaikan sesuatu yang akan dilaksanakan Rasulullah saw kepada mereka dalam usaha menegakkan kalimat Allah. Oleh karena itu, kaum Muslimin dilarang melakukan yang demikian sekalipun kepada kaum kerabatnya. Menjadikan orang-orang kafir yang memusuhi kaum Muslimin sebagai teman setia dan penolong adalah suatu hal yang dilarang. Hal ini tidak boleh dilakukan selama orang-orang kafir itu ingin menghancurkan agama Islam dan kaum Muslimin. Allah kemudian menjelaskan penyebab larangan menjadikan orang-orang kafir sebagai teman setia, yaitu: 1.Mereka menyangkal dan tidak membenarkan semua yang dibawa Rasulullah. Mereka ingkar kepada Allah, Rasul-Nya, dan Al-Qur'an. Mungkinkah orang yang seperti itu dijadikan penolong-penolong dan teman setia? Kemudian disampaikan kepada mereka rahasia-rahasia yang bermanfaat bagi mereka dan menimbulkan bahaya bagi kaum Muslimin? 2.Mereka telah mengusir Rasulullah saw dan orang-orang Muhajirin dari kampung halaman mereka karena beriman kepada Allah, bukan karena sebab yang lain. Ayat ini sama maksudnya dengan firman Allah: Dan mereka menyiksa orang-orang mukmin itu hanya karena (orang-orang mukmin itu) beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa, Maha Terpuji (al-Buruj/85: 8) Dan Firman Allah: (Yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, "Tuhan kami ialah Allah." Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa (al-hajj/22: 40) Allah memperingatkan kaum Muslimin bahwa jika mereka keluar dari kampung halaman atau terusir karena berjihad di jalan Allah dan mencari keridaan-Nya, maka janganlah sekali-kali menjadikan orang-orang kafir itu sebagai teman setia dan penolong-penolong mereka. Cukuplah kaum Muslimin menderita akibat tindakan-tindakan mereka, dan jangan sekali-kali memberi kesempatan kepada mereka menambah penderitaan kaum Muslimin. Bagaimana mungkin ada di antara kaum Muslimin melakukan seperti yang dilakukan hathib yang menyampaikan kepada orang-orang kafir langkah-langkah yang akan diambil Rasulullah dalam menghadapi orang-orang kafir? Allah Mahatahu segala yang dilakukan hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Dia menyampaikan hal tersebut kepada Rasulullah, sehingga beliau segera dapat mengambil tindakan. Dengan demikian, kaum Muslimin tidak dirugikan. Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa barang siapa yang berkasih-kasihan dengan musuh Islam dan menjadikan mereka penolong-penolong, berarti ia telah menyimpang dari jalan yang lurus.

Ayat 2

Dalam ayat ini diterangkan sebab-sebab yang lain Allah melarang kaum Muslimin berteman akrab dan saling menolong dengan orang kafir, yaitu: 1.Jika suatu waktu mereka menangkap atau mengalahkan kaum Muslimin, mereka pasti akan melakukan kezaliman yang di luar dugaan. Mereka berteman dengan kaum Muslimin semata-mata mencari keuntungan bagi diri dan golongan mereka. Bila tidak ada keuntungan yang diharapkan, mereka akan menjauhkan diri, bahkan akan menghancurkan kaum Muslimin. 2.Mereka selalu berusaha menjelek-jelekkan dan memusuhi kaum Muslimin. Bagaimana mungkin ada satu atau sebagian dari kaum Muslimin membukakan rahasia kepada mereka atau berteman erat dengan mereka. Orang yang dapat dijadikan teman itu hanyalah orang yang menginginkan kebaikan untuk kita, bukan sebaliknya. 3.Mereka mengharapkan kaum Muslimin mengingkari kebenaran dan kafir kepada Allah, sehingga kaum Muslimin sama dengan mereka, yaitu sama-sama kafir. Oleh karena itu, mereka hanya mau berteman erat atau bertolong-tolongan dengan kaum Muslimin selama hal itu bisa memenuhi keinginan-keinginan mereka.

Ayat 3

Pada hari Kiamat setiap orang mempertanggungjawabkan diri mereka masing-masing kepada Allah. Karib-kerabat, teman setia, anak-anak, atau orang tua sekalipun tidak dapat menolong seseorang di hari Kiamat. Yang dapat menolong seseorang dari siksa Allah hanyalah iman dan amal saleh yang dilakukan selama hidup di dunia. Karib-kerabat, teman setia, anak-anak dan orang tua tidak dapat dijadikan penolong di hari Kiamat karena masing-masing berusaha menghindarkan diri dari malapetaka yang akan menimpa, sehingga tidak sempat memikirkan kerabat atau temannya, sebagaimana firman Allah: Maka apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), Pada hari itu manusia lari dari saudaranya, Dan dari ibu dan bapaknya, Dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya. ('Abasa/80: 33-37) Pada akhir ayat ini, Allah memberi peringatan bahwa Dia Maha Mengetahui semua yang dilakukan manusia, tidak ada satu pun yang luput dari pengetahuan-Nya. Oleh karena itu, Dia akan memberikan balasan yang seadil-adilnya. Maka itu berhati-hatilah dan jagalah dirimu sebaik mungkin.

Ayat 4

Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk mencontoh Nabi Ibrahim dan orang-orang yang beriman besertanya, ketika ia berkata kepada kaumnya yang kafir dan menyembah berhala, "Hai kaumku, sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu semua, dan dari apa yang kamu sembah selain Allah." Kemudian diterangkan bahwa yang dimaksud Ibrahim dengan berlepas diri itu ialah: 1.Nabi Ibrahim mengingkari kaumnya, tidak mengacuhkan tuhan-tuhan mereka, dan tidak membenarkan perbuatan mereka yang menyembah patung-patung yang tidak dapat memberi manfaat dan mudarat kepada siapa pun. Allah berfirman: Wahai manusia! Telah dibuat suatu perumpamaan. Maka dengarkanlah! Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Sama lemahnya yang menyembah dan yang disembah. (al-hajj/22: 73) 2.Nabi Ibrahim mengatakan bahwa antara dia dengan kaumnya yang ingkar telah terjadi permusuhan dan saling membenci selamanya. Ibrahim menyatakan akan tetap menentang kaumnya sampai mereka meninggalkan perbuatan syirik. Jika mereka telah beriman, permusuhan itu baru akan berakhir. Terhadap ayahnya yang masih kafir, ia tidak mengambil sikap yang tegas seperti sikapnya terhadap kaumnya. Ia berjanji akan mendoakan agar Allah mengampuni dosa-dosa ayahnya. Dalam hal ini, Allah melarang kaum Muslimin mencontoh Ibrahim, sekalipun ia akhirnya berlepas tangan pula terhadap ayahnya, setelah nyata baginya keingkaran bapaknya itu. Benar ada di antara orang yang beriman mendoakan ayah-ayah mereka yang meninggal dalam keadaan musyrik. Mereka beralasan mencontoh perbuatan Ibrahim itu. Maka Allah membantah perbuatan mereka: Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahanam. Adapun permohonan ampunan Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya. Maka ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sungguh, Ibrahim itu seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (at-Taubah/9: 113-114) Selanjutnya Nabi Ibrahim berkata kepada ayahnya bahwa dia tidak mampu menolongnya. Ia hanya bisa berdoa agar Allah memberi taufik berupa iman kepadanya.

Ayat 5

Sebelum Nabi Ibrahim berpisah dengan kaumnya yang tidak mau menerima seruannya, ia berdoa kepada Allah dengan hati yang tunduk dan berserah diri kepada-Nya. Dalam doanya ia berkata, "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir." Dengan perkataan lain, arti ayat ini ialah Nabi Ibrahim memohon agar Allah tidak memenangkan orang kafir atas orang beriman. Hal itu akan memberi kesempatan kepada orang kafir untuk memfitnah orang beriman. Kemenangan itu juga bisa menimbulkan keyakinan pada orang kafir bahwa mereka berada di jalan yang benar sedangkan orang beriman berada di jalan yang salah. Di akhir ayat, Nabi Ibrahim berdoa, "Wahai Tuhan kami, ampunilah dan maafkanlah dosa kami sehingga perbuatan dosa itu seakan-akan tidak pernah kami kerjakan. Engkaulah tempat kami berlindung. Tuntutan-Mu sangat keras. Engkau melakukan dan menciptakan segala sesuatu sesuai dengan sifat, guna, dan faedahnya."

Ayat 6

Ayat ini mengulang perintah untuk menjadikan Nabi Ibrahim dan orang-orang yang beriman besertanya sebagai teladan yang baik dengan maksud agar perintah itu diperhatikan oleh orang-orang yang beriman. Hal ini terutama ditujukan bagi orang yang yakin akan bertemu dengan Allah di akhirat, dan mengharapkan pahala serta balasan surga sebagai tempat yang nikmat. Orang yang tidak mengikuti perintah Allah, dan tidak mengambil teladan dari orang-orang yang saleh, maka hendaklah mereka ketahui bahwa Allah sedikit pun tidak memerlukannya. Allah Maha Terpuji di langit dan di bumi, dan Dia tidak memerlukan bantuan makhluk-Nya dalam melaksanakan kehendak-Nya. Allah berfirman: Dan Musa berkata, "Jika kamu dan orang yang ada di bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji. (Ibrahim/14: 8)

Ayat 7

Menurut al-hasan al-Basri dan Abu salih, ayat ini diturunkan berhubungan dengan Khuza'ah, Bani al-harits bin Ka'ab, Kinanah, Khuzaimah, dan kabilah-kabilah Arab lainnya. Mereka minta diadakan perdamaian dengan kaum Muslimin dengan mengemukakan ikrar tidak akan memerangi kaum Muslimin dan tidak menolong musuh-musuh mereka. Maka turunlah ayat ini yang memerintahkan kaum Muslimin untuk menerima permusuhan mereka. Ayat ini menyatakan kepada Rasulullah dan orang-orang yang beriman bahwa mudah-mudahan Allah akan menjalinkan rasa cinta dan kasih sayang antara kaum Muslimin yang ada di Medinah dengan orang-orang musyrik Mekah yang selama ini membenci dan menjadi musuh mereka. Hal itu mudah bagi Allah, sebagai Zat Yang Mahakuasa dan menentukan segalanya. Apalagi jika orang-orang kafir mau beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa yang telah mereka lakukan sebelumnya, yaitu dosa memusuhi Rasulullah dan kaum Muslimin. Isyarat yang terdapat dalam ayat ini terbukti kebenarannya pada pembebasan kota Mekah oleh kaum Muslimin, tanpa terjadi pertumpahan darah. Sewaktu Rasulullah memasuki kota Mekah, karena orang-orang musyrik melanggar perjanjian mereka dengan kaum Muslimin, mereka merasa gentar menghadapi tentara kaum Muslimin, dan bersembunyi di rumah-rumah mereka. Oleh karena itu, Rasulullah mengumumkan bahwa barang siapa memasuki Baitullah, maka dia mendapat keamanan, barang siapa memasuki Masjidil Haram, maka ia mendapat keamanan, dan barang siapa memasuki rumah Abu Sufyan, ia mendapat keamanan. Perintah itu ditaati oleh kaum musyrik dan mereka pun berlindung di Ka'bah, di Masjidil Haram, dan rumah Abu Sufyan. Maka waktu itu, kaum Muslimin yang telah hijrah bersama Rasulullah ke Medinah bertemu kembali dengan keluarganya yang masih musyrik dan tetap tinggal di Mekah, setelah beberapa tahun mereka berpisah. Maka terjalinlah kembali hubungan baik dan kasih sayang diantara mereka. Karena baiknya sikap kaum Muslimin kepada mereka, maka mereka berbondong-bondong masuk Islam. Firman Allah: Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat. (an-Nasr/110:1-3)

Ayat 8

Diriwayatkan bahwa Ahmad bin hanbal menceritakan kepada beberapa imam yang lain dari 'Abdullah bin Zubair, ia berkata, "Telah datang ke Medinah (dari Mekah) Qutailah binti 'Abdul 'Uzza, bekas istri Abu Bakar sebelum masuk Islam, untuk menemui putrinya Asma' binti Abu Bakar dengan membawa berbagai hadiah. Asma' enggan menerima hadiah itu dan tidak memperkenankan ibunya memasuki rumahnya. Kemudian Asma' mengutus seseorang kepada 'Aisyah agar menanyakan hal itu kepada Rasulullah. Maka turunlah ayat ini yang membolehkan Asma' menerima hadiah dan mengizinkan ibunya yang kafir itu tinggal di rumahnya. Allah tidak melarang orang-orang yang beriman berbuat baik, mengadakan hubungan persaudaraan, tolong-menolong, dan bantu-membantu dengan orang musyrik selama mereka tidak mempunyai niat menghancurkan Islam dan kaum Muslimin, tidak mengusir kaum Muslimin dari negeri-negeri mereka, dan tidak pula berteman akrab dengan orang yang hendak mengusir itu. Ayat ini memberikan ketentuan umum dan prinsip agama Islam dalam menjalin hubungan dengan orang-orang yang bukan Islam dalam satu negara. Kaum Muslimin diwajibkan bersikap baik dan bergaul dengan orang-orang kafir, selama mereka bersikap dan ingin bergaul baik, terutama dengan kaum Muslimin. Seandainya dalam sejarah Islam, terutama pada masa Rasulullah saw dan masa para sahabat, terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kaum Muslimin kepada orang-orang musyrik, maka tindakan itu semata-mata dilakukan untuk membela diri dari kezaliman dan siksaan yang dilakukan oleh pihak musyrik. Di Mekah, Rasulullah dan para sahabat disiksa dan dianiaya oleh orang-orang musyrik, sampai mereka terpaksa hijrah ke Medinah. Sesampai di Medinah, mereka pun dimusuhi oleh orang Yahudi yang bersekutu dengan orang-orang musyrik, sekalipun telah dibuat perjanjian damai antara mereka dengan Rasulullah. Oleh karena itu, Rasulullah terpaksa mengambil tindakan keras terhadap mereka. Demikian pula ketika kaum Muslimin berhadapan dengan kerajaan Persia dan Romawi, orang-orang kafir di sana telah memancing permusuhan sehingga terjadi peperangan. Jadi ada satu prinsip yang perlu diingat dalam hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang kafir, yaitu boleh mengadakan hubungan baik, selama pihak yang bukan Islam melakukan yang demikian pula. Hal ini hanya dapat dibuktikan dalam sikap dan perbuatan kedua belah pihak. Di Indonesia prinsip ini dapat dilakukan, selama tidak ada pihak agama lain bermaksud memurtadkan orang Islam atau menghancurkan Islam dan kaum Muslimin.

Ayat 9

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah hanya melarang kaum Muslimin bertolong-tolongan dengan orang-orang yang menghambat atau menghalangi manusia beribadah di jalan Allah, dan memurtadkan kaum Muslimin sehingga ia berpindah kepada agama lain, yang memerangi, mengusir, dan membantu pengusir kaum Muslimin dari negeri mereka. Dengan orang yang semacam itu, Allah dengan tegas melarang kaum Muslimin untuk berteman dengan mereka. Di akhir ayat ini, Allah mengingatkan kaum Muslimin yang menjadikan musuh-musuh mereka sebagai teman dan tolong-menolong dengan mereka, bahwa jika mereka melanggar larangan ini, maka mereka adalah orang-orang yang zalim.

Ayat 10

Ayat ini menerangkan perintah Allah kepada Rasulullah dan orang-orang yang beriman tentang sikap yang harus diambil, jika seorang perempuan beriman yang berasal dari daerah kafir datang menghadap atau minta perlindungan. Allah menyatakan bahwa apabila datang seorang perempuan dari daerah kafir yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan tidak tampak padanya tanda-tanda keingkaran dan kemunafikan, maka perlu diperiksa lebih dahulu, apakah mereka benar telah beriman, atau datang karena melarikan diri dari suaminya, sedangkan ia sebenarnya tidak beriman. Allah memerintahkan yang demikian itu bukan karena Dia tidak mengetahui hal ihwal mereka. Allah Maha Mengetahui hakikat iman mereka, bahkan mengetahui semua yang terbesit dalam hati mereka. Akan tetapi, untuk kewaspadaan dan berjaga-jaga di kalangan kaum Muslimin yang sedang berperang menghadapi orang-orang kafir, maka usaha-usaha mengadakan penelitian itu harus dilakukan, walaupun orang itu kerabat sendiri. Jika dalam pemeriksaan itu terbukti mereka adalah orang-orang yang beriman, maka jangan sekali-kali kaum Muslimin mengembalikan mereka ke daerah kafir, sebab perempuan-perempuan yang beriman tidak halal lagi bagi suaminya yang kafir. Sebaliknya, pria-pria yang kafir tidak halal bagi perempuan yang beriman. Dari ayat ini dapat ditetapkan suatu hukum yang menyatakan bahwa jika seorang istri telah masuk Islam, berarti sejak itu ia telah bercerai dengan suaminya yang masih kafir. Oleh karena itu, ia haram kembali kepada suaminya. Ayat ini juga menguatkan hukum yang menyatakan bahwa haram hukumnya seorang perempuan muslimat kawin dengan laki-laki kafir. Kemudian Allah menetapkan agar mas kawin yang telah diterima istri yang masuk Islam itu dikembalikan kepada suaminya. Menurut Imam Syafi'i, istri wajib mengembalikan mahar itu jika pihak suaminya yang kafir itu memintanya. Jika pihak suami tidak memintanya, maka mahar itu tidak wajib dikembalikan. Sebagian ulama berpendapat bahwa mahar yang wajib dikembalikan itu jika suaminya termasuk orang yang telah melakukan perjanjian damai dengan kaum Muslimin, sedang bagi suami yang tidak termasuk dalam perjanjian damai dengan kaum Muslimin maharnya tidak wajib dikembalikan. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa hukum pengembalian mahar itu bukan wajib tetapi sunah dan itu pun jika diminta oleh suaminya. Sementara itu kaum Muslimin dibolehkan mengawini perempuan-perempuan mukminat yang berhijrah itu dengan membayar mahar. Hal ini berarti bahwa perempuan itu tidak boleh dijadikan budak, karena mereka bukan berasal dari tawanan perang. Allah menganjurkan kaum Muslimin mengawini mereka agar diri mereka terpelihara. Allah menerangkan bahwa penyebab larangan melanjutkan perkawinan istri yang beriman dengan suami yang kafir itu adalah karena tidak akan ada hubungan perkawinan antara perempuan-perempuan yang sudah beriman dengan suami-suami mereka yang masih kafir dan berada di daerah kafir. Akad perkawinan mereka tidak berlaku lagi sejak sang istri masuk Islam. Sebaliknya jika yang pergi ke daerah kafir itu adalah istri-istri yang beriman kemudian ia menjadi kafir, kaum Muslimin diperintahkan untuk membiarkan mereka pergi. Akan tetapi, mereka harus mengembalikan barang-barang yang pernah diberikan suaminya yang Muslim. Semua yang disebutkan itu adalah hukum-hukum Allah yang wajib ditaati oleh setiap orang yang menghambakan diri kepada-Nya, karena dalam menetapkan hukum-Nya, Allah Maha Mengetahui kesanggupan hamba yang akan memikul hukum itu dan mengetahui sesuatu yang paling baik dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Dalam menetapkan hukum itu, Allah juga mengetahui faedah dan akibat menetapkan hukum serta keserasian hukum itu bagi yang memikulnya.

Ayat 11

Dalam ayat ini diterangkan hukum seorang istri mukminat yang murtad dan lari dari suaminya ke daerah kafir, sedang ia belum mengembalikan mahar yang pernah diterima dari suaminya yang Mukmin itu. Jika si suami menyerang daerah kafir, kemudian dapat menawan bekas istrinya, maka bekas istrinya itu boleh diambilnya kembali dengan mengganti mahar yang telah diterima oleh istri dari suami yang kafir. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi hatim dari al-hasan bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan peristiwa Ummul hakam binti Abi Sufyan yang telah murtad dan melarikan diri dari suaminya, kemudian ia menikah dengan seorang laki-laki dari Bani tsaqif. Ayat ini memerintahkan agar mas kawin yang diterima Ummul hakam dari suaminya yang kafir itu diganti dan diambilkan dari hasil rampasan perang, dan Ummul hakam kembali kepada suaminya semula (yang Muslim). Menurut riwayat Ibnu 'Abbas, mas kawin itu diambil dan diberikan kepada suami yang kafir sebelum harta rampasan perang dibagi lima sebanyak yang pernah diberikan suami yang kafir kepada perempuan yang lari itu. Pada akhir ayat ini Allah memerintahkan agar kaum Muslimin bertakwa dan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menghentikan larangan-larangan-Nya, baik yang diterangkan pada ayat di atas, maupun yang disebut pada ayat-ayat yang lain serta yang terdapat di dalam hadis, jika mereka beriman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya.

Ayat 12

Allah menyatakan kepada Nabi Muhammad bahwa perempuan-perempuan yang menyatakan keimanan dan ketaatannya harus berjanji bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, tidak akan mencuri harta orang lain, tidak akan berzina, tidak akan menggugurkan anak dalam kandungannya, dan tidak akan mengerjakan yang dilarang, seperti meratapi orang mati dengan mengoyak-ngoyak pakaian, dan sebagainya. Bila mereka telah berjanji, maka pernyataan iman mereka harus diterima. Nabi juga diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka akan mendapat ampunan Allah dan pahala dari-Nya jika mereka konsekuen melaksanakan janji mereka itu. Nabi juga diminta untuk berdoa kepada Allah agar dosa-dosa mereka diampuni, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari 'Urwah bin Zubair bahwa 'Aisyah berkata, "Rasulullah saw menguji perempuan yang hijrah sesuai ayat: ya ayyuhan-nabiyy idha ja'akal-mu'minat¦..innallaha gafurur-rahim. Barang siapa yang telah memenuhi syarat-syarat di atas, berarti perempuan itu telah mengikrarkan pernyataan bahwa dirinya beriman." Diriwayatkan pula oleh 'Urwah bin Zubair dari 'Aisyah, ia berkata, "Telah datang Fathimah binti 'Utbah untuk menyatakan keimanannya kepada Rasulullah, maka beliau meminta ia berjanji tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak menggugurkan kandungannya, maka Fathimah merasa malu menyebut janji itu sambil meletakkan tangan di atas kepalanya." Maka 'Aisyah berkata, "Hendaklah engkau akui yang dikatakan Nabi itu. Demi Allah, kami tidak menyatakan keimanan kecuali dengan cara demikian." Fathimah melaksanakan yang diminta 'Aisyah itu, lalu Nabi menerima pengakuannya. Menurut riwayat yang lain bahwa Nabi Muhammad banyak menerima pernyataan beriman dari para perempuan ketika penaklukan Mekah. Di antara yang menyatakan keimanannya itu terdapat Hindun binti 'Utbah, istri Abu Sufyan, kepala suku Quraisy.

Ayat 13

Diriwayatkan oleh Ibnu Mundhir dari Ibnu Ishaq dari 'Ikrimah dan Abu Sa'id dari Ibnu 'Abbas, ia menerangkan bahwa 'Abdullah bin 'Umar dan Zaid bin haritsah bersahabat dengan orang-orang Yahudi. Maka turunlah ayat ini yang melarang kaum Muslimin berteman erat dengan orang yang dimurkai Allah. Dalam ayat ini, Allah menegaskan kembali larangan menjadikan orang-orang Yahudi, Nasrani, dan musyrik Mekah yang berniat jahat terhadap kaum Muslimin sebagai wali atau teman akrab, karena dikhawatirkan orang-orang yang beriman akan menyampaikan rahasia-rahasia penting kepada mereka. Pada akhir ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang kafir itu telah putus asa untuk memperoleh kebaikan dari Allah di akhirat, karena kedurhakaan mereka kepada Rasulullah saw yang telah diisyaratkan kedatangannya dalam kitab-kitab mereka. Padahal, persoalan itu sudah dikuatkan pula dengan bukti-bukti yang jelas dan mukjizat yang nyata. Keputusasaan mereka untuk memperoleh rahmat Allah di hari akhirat sama halnya dengan keputusasaan mereka di dalam kubur karena mereka tidak percaya adanya kebangkitan kembali di akhirat.