Ayat ini menegaskan bahwa Allah-lah yang berhak menerima segala pujian karena Dia yang menciptakan semua yang ada di langit dan di bumi. Dialah pemilik yang sebenarnya, tidak ada seorang pun yang bersekutu dengan Allah dalam menciptakan dan memilikinya. Allah pula yang mengatur dan mengurusnya serta melimpahkan karunia-Nya agar semuanya berjalan dengan tertib dan teratur. Oleh sebab itu, tidak ada yang patut memperoleh pujian kecuali Allah, tidak ada yang patut disembah dan dipanjatkan doa kecuali kepada Allah. Adapun orang-orang yang menyembah dan memuja patung-patung atau yang lainnya adalah orang-orang yang tidak mempergunakan akal. Banyak sekali bukti yang menunjukkan wujud dan keesaan Allah yang terdapat di bumi dan di langit. Bila manusia mau memperhatikan, tentu dia akan sampai kepada kesimpulan bahwa Pencipta semua alam ini adalah Allah Yang Maha Esa, Mahakuasa, dan Maha Pencipta. Hanya Allah yang berhak disembah dan dipuji, walaupun Dia sendiri tidak memerlukan pujian dari hamba dan makhluk-Nya. Hanya makhluk-makhluk-Nya yang harus memuja dan memuji-Nya, karena begitu besar dan banyaknya karunia yang dilimpahkan kepadanya. Sekiranya tidak ada yang menyembah dan memuji-Nya atau semua makhluk-Nya kafir dan ingkar terhadap nikmat dan karunia-Nya, maka hal itu tidak akan merugikan-Nya sedikit pun sebagaimana tersebut dalam firman-Nya: "Jika kamu dan orang yang ada di bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji." (Ibrahim/14: 8) Untuk menyadarkan manusia agar mau menggunakan akalnya, Allah menerangkan bahwa semua makhluk-Nya di langit dan di bumi bertasbih memuji-Nya, termasuk burung-burung yang terbang di udara. Allah berfirman: Tidakkah engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allah-lah bertasbih apa yang di langit dan di bumi, dan juga burung yang mengembangkan sayapnya. Masing-masing sungguh, telah mengetahui (cara) berdoa dan bertasbih. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (an-Nur/24: 41) Ayat selanjutnya menegaskan bahwa Allah yang berhak dipuji di akhirat nanti, karena Dia yang mempunyai kekuasaan di sana, dan bertindak dengan adil dan bijaksana dalam memperhitungkan dan membalas perbuatan hamba-Nya. Tidak ada seorang pun yang dirugikan dalam perhitungan perbuatannya, yang baik dibalas dengan kebaikan, dan yang jahat dibalas dengan siksa yang setimpal, bahkan dengan rahmat dan karunia-Nya satu perbuatan yang baik dibalas dengan berlipat ganda. Di dalam ayat lain diterangkan bagaimana besarnya pujian hamba-hamba-Nya yang beriman terhadap nikmat yang dikaruniakan kepada mereka sebagai balasan atas perbuatannya selama hidup di dunia dengan firman-Nya: Dan mereka berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah memberikan tempat ini kepada kami sedang kami (diperkenankan) menempati surga di mana saja yang kami kehendaki." Maka (surga itulah) sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal. (az-Zumar/39: 74) Dan firman-Nya: Dan mereka berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sungguh, Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun, Maha Mensyukuri, yang dengan karunia-Nya menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga); di dalamnya kami tidak merasa lelah dan tidak pula merasa lesu." (Fathir/35: 34-35) Kemudian Allah menegaskan bahwa Dialah Yang Mahabijaksana, berbuat dan bertindak, serta mengatur dan mengendalikan urusan dunia dan akhirat serta alam seluruhnya. Dialah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu dan segala urusan. Dia Mengetahui segala-galanya dengan ilmu-Nya Yang Mahaluas.
Pada ayat ini, Allah menjelaskan bagaimana luas dan dalamnya ilmu-Nya. Dia mengetahui semua yang masuk ke dalam bumi, semua yang keluar daripadanya, semua yang turun dari langit dan semua yang naik ke atasnya. Dengan kata-kata yang ringkas dan pendek ini, Allah menggambarkan betapa luas ilmu-Nya. Andaikata semua penghuni bumi ini menghabiskan waktunya untuk mengetahui apa yang terjadi di langit dan bumi dalam satu saat saja, niscaya mereka tidak akan sanggup mencatat untuk membuat statistiknya. Betapa banyaknya bibit dan benih tumbuh-tumbuhan yang masuk dan bersembunyi di dalam tanah. Betapa banyaknya binatang kecil seperti ulat, cacing, dan berbagai jenis serangga di dalam perut bumi yang amat luas ini. Betapa banyaknya bahan-bahan tambang yang selalu berproses dan berkembang di perut bumi seperti emas, perak, tambang minyak, gas, dan lain sebagainya. Betapa banyak pula yang keluar dari bumi seperti tanaman yang bermunculan, mata air yang memancar, gas yang naik menjulang, binatang dan serangga yang ingin menikmati cahaya matahari dan udara bebas dan lain sebagainya. Betapa banyaknya yang turun dari langit seperti hujan yang tak dapat diperkirakan berapa banyaknya yang merupakan rahmat dari Allah bagi hamba-Nya, cahaya yang memancar dengan panasnya seperti cahaya matahari, dan cahaya yang memancar dengan tenang seperti cahaya bulan. Kemudian betapa pula banyaknya yang naik ke langit seperti uap dari sungai dan laut, molekul-molekul gas dari tumbuh-tumbuhan, manusia dan binatang serta bumi sendiri. Betapa banyaknya roh manusia yang meninggal dan malaikat yang naik ke langit taat melaksanakan perintah Tuhannya. Semua ini tidak akan dapat dicatat oleh manusia apalagi untuk mengetahuinya satu per satu. Tetapi, Allah Yang Maha Mengetahui tidak ada satu pun yang tersembunyi bagi-Nya, semuanya telah tercakup dalam ilmu-Nya. Benarlah apa yang difirmankan oleh Allah: Sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit. (al-Isra'/17: 85) Demikian luasnya ilmu Allah dan rahmat serta karunia-Nya kepada hamba-Nya, karena semua yang ada di bumi dan di langit itu diciptakan-Nya untuk kepentingan manusia. Di samping itu, Allah Yang Maha Penyayang memberikan karunia yang tidak terhingga, dan Maha Pengampun terhadap orang yang bersalah bila ia insaf dan tobat dari kesalahannya.
Pada ayat ini, Allah menerangkan bagaimana kesesatan orang-orang kafir yang mengingkari hari Kiamat dan mengatakan bahwa hidup ini hanya sebatas di dunia saja. Mereka mengatakan bahwa kehidupan akhirat yang diberitakan Muhammad saw adalah omong kosong belaka, sesuatu yang tidak mungkin terjadi karena tubuh manusia setelah masuk kubur akan hancur luluh tidak berbekas apalagi setelah melalui masa yang panjang. Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad supaya menolak dengan keras anggapan orang-orang kafir yang sesat itu. Allah memerintahkan supaya Nabi bersumpah dengan menyebut nama Allah bahwa hari Kiamat itu pasti datang. Ayat ini adalah salah satu dari tiga ayat yang menyuruh Nabi Muhammad supaya bersumpah dengan menyebut nama Allah sebagai bantahan terhadap keingkaran orang-orang kafir, seperti ditegaskan Allah dalam firman-Nya: Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad), "Benarkah (azab yang dijanjikan) itu?" Katakanlah, "Ya, demi Tuhanku, sesungguhnya (azab) itu pasti benar dan kamu sekali-kali tidak dapat menghindar." (Yunus/10: 53) Yang kedua dalam Surah at-Tagabun: Orang-orang yang kafir mengira, bahwa mereka tidak akan dibangkitkan. Katakanlah (Muhammad), "Tidak demikian, demi Tuhanku, kamu pasti dibangkitkan, kemudian diberitakan semua yang telah kamu kerjakan." Dan yang demikian itu mudah bagi Allah. (at-Tagabun/64: 7) Demikian kerasnya bantahan yang harus diucapkan oleh Nabi Muhammad terhadap keingkaran orang kafir tentang hari kebangkitan, karena hal itu adalah suatu hikmah dan kebijaksanaan Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Suatu hikmah dan kebijaksanaan yang tidak dipahami oleh orang-orang kafir atau mereka tidak mau memahaminya. Hikmah dan kebijaksanaan itu ialah Allah tidak akan membenarkan hamba-hamba-Nya untuk berbuat sekehendak hatinya. Allah telah menjelaskan dengan perantaraan para rasul-Nya bahwa barang siapa yang berbuat kejahatan atau kezaliman akan dibalas dengan balasan yang setimpal baik di dunia maupun di akhirat. Kalau seorang hamba belum mendapat balasan di dunia atas kejahatannya karena kedudukan atau kepintarannya menyembunyikan kejahatan itu, maka balasannya pasti akan diterimanya di akhirat nanti. Demikian pula halnya hamba-hamba Allah yang berbuat kebaikan. Ini adalah hikmat dan kebijaksanaan Allah Yang Mahaadil, Maha Mengetahui segala perbuatan hamba-Nya. Pada hari kebangkitan semua perbuatan manusia mendapat balasan yang wajar walaupun di dunia sudah mendapat siksaan, apalagi bagi hamba Allah yang belum menerima balasannya. Mengingkari hari Kiamat dan hari pembalasan berarti mengingkari hikmah kebijaksanaan Allah Yang Mahaadil dan Mahakuasa. Kemudian Allah menerangkan bahwa Dia mengetahui semua yang ada dan yang terjadi di langit dan di bumi, tidak ada suatu pun yang tersembunyi bagi-Nya, sekalipun sebesar zarrah (atom) karena semua itu telah termaktub dalam Lauh Mahfudh. Janganlah seorang hamba mengira bahwa perbuatannya yang sangat kecil atau yang telah ditutupi rapat dan disembunyikan luput dari pengetahuan Allah. Dia pasti mengetahuinya dan akan membalas perbuatan itu, baik di dunia maupun akhirat, sesuai dengan hikmah kebijaksanaan dan keadilan-Nya.
Adapun orang-orang yang beriman percaya kepada hari kebangkitan dan membuktikan keimanan mereka dengan mengerjakan amal saleh serta menjauhi perbuatan yang dilarang Allah. Mereka akan memperoleh ampunan dari Allah Yang Maha Pengampun. Allah akan mengampuni kesalahan mereka dan menghapuskan dosa mereka sesuai dengan firman-Nya: Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah). (Hud/11: 114)
Sebaliknya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah, berusaha menghalang-halangi orang lain untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mendustakan hari kebangkitan serta memperolok-olokkan orang yang memercayainya, menyangka bahwa mereka akan luput dari azab Allah. Karena kesombongan dan keingkaran, mereka akan memperoleh azab yang sangat pedih dan akan dilemparkan ke dalam neraka Jahim. Demikianlah hikmah kebijaksanaan dan keadilan Allah menyediakan hari kebangkitan supaya manusia menerima balasan sesuai dengan perbuatannya. Mustahil Allah akan menyamakan hamba-Nya yang berbuat baik dengan hamba-Nya yang berbuat jahat. Allah berfirman pada ayat di bawah ini: Pantaskah Kami memperlakukan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi? Atau pantaskah Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang jahat? (shad/38: 28) Dan firman-Nya: Tidak sama para penghuni neraka dengan para penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan. (al-hasyr/59: 20)
Allah menjelaskan bahwa berbeda dengan orang kafir yang tidak mau mempergunakan akal dan pikirannya dan secara apriori menolak apa yang diberitakan Al-Qur'an, sebagian Ahli Kitab, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab, dan lainnya, mengakui bahwa apa yang diberitakan dalam Al-Qur'an tentang akan datangnya hari kiamat adalah benar dan tidak dapat diragukan lagi. Mereka juga mengakui bahwa Al-Qur'an adalah petunjuk dari Allah kepada jalan lurus yang harus dipedomani oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Di dalam Al-Qur'an itu terdapat undang-undang, peraturan, dan hukum yang sesuai dengan fitrah manusia dan lingkungan hidupnya serta pasti akan membawa kebahagiaan.
Pada ayat ini, Allah menerangkan keingkaran orang-orang kafir terhadap terjadinya hari kebangkitan dan bagaimana hebatnya cemoohan dan olok-olok mereka terhadap Nabi Muhammad yang memberitakannya. Mereka saling bertanya tentang seorang laki-laki yang mengatakan bahwa apabila mereka telah mati dan dikuburkan kemudian tubuh dan tulang-belulang mereka telah hancur luluh, sesudah itu akan hidup kembali untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Orang yang mengatakan hal itu adalah Muhammad yang mendakwahkan bahwa dia menerima wahyu dari Tuhannya. Mereka menganggap bahwa ini adalah suatu peluang besar bagi mereka untuk mempengaruhi pendapat umum dan mendiskreditkan Nabi serta mengatakan bahwa dia telah gila atau mengada-adakan suatu kebohongan besar terhadap Allah dengan mengatakan bahwa berita itu adalah wahyu yang diturunkan kepadanya. Mungkin kebanyakan orang awam akan terpengaruh oleh cemoohan dan olok-olok itu sehingga mereka memandang rendah dan hina terhadap Nabi. Oleh sebab itu, Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa orang-orang yang tidak percaya akan adanya hari akhirat akan mendapat siksaan dan berada dalam kesesatan yang nyata. Mereka akan mendapat siksaan baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia mereka akan menjadi orang-orang yang sesat di tengah perjalanan hidupnya, tidak mengetahui arah yang akan dituju, serta selalu dalam kegelisahan dan keragu-raguan. Orang-orang yang tidak mempunyai akidah dan tidak percaya kepada keadilan Allah dan hari akhirat akan selalu terombang-ambing dalam kebingungan. Ia tidak mempunyai harapan untuk mendapat keadilan Allah karena apa yang ditemui dan dilihatnya di dunia ini penuh dengan kepincangan dan kezaliman. Orang yang lemah menjadi mangsa bagi yang kuat. Sedangkan orang-orang yang beriman yang percaya sepenuhnya akan keadilan Allah dan adanya perhitungan perbuatan manusia di akhirat nanti, tentu akan yakin sepenuhnya bahwa bila ia teraniaya, Allah akan membalas orang yang menganiayanya dengan balasan yang setimpal. Kalau tidak di dunia ini, di akhirat nanti pasti pembalasan itu akan terlaksana. Bahkan di akhirat nanti Allah akan memberi balasan yang berlipat ganda atas kesabaran dan ketawakalannya. Kepercayaan kepada adanya hari akhirat adalah suatu rahmat bagi seorang hamba Allah.
Pada ayat ini, Allah menerangkan keingkaran orang-orang kafir terhadap terjadinya hari kebangkitan dan bagaimana hebatnya cemoohan dan olok-olok mereka terhadap Nabi Muhammad yang memberitakannya. Mereka saling bertanya tentang seorang laki-laki yang mengatakan bahwa apabila mereka telah mati dan dikuburkan kemudian tubuh dan tulang-belulang mereka telah hancur luluh, sesudah itu akan hidup kembali untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Orang yang mengatakan hal itu adalah Muhammad yang mendakwahkan bahwa dia menerima wahyu dari Tuhannya. Mereka menganggap bahwa ini adalah suatu peluang besar bagi mereka untuk mempengaruhi pendapat umum dan mendiskreditkan Nabi serta mengatakan bahwa dia telah gila atau mengada-adakan suatu kebohongan besar terhadap Allah dengan mengatakan bahwa berita itu adalah wahyu yang diturunkan kepadanya. Mungkin kebanyakan orang awam akan terpengaruh oleh cemoohan dan olok-olok itu sehingga mereka memandang rendah dan hina terhadap Nabi. Oleh sebab itu, Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa orang-orang yang tidak percaya akan adanya hari akhirat akan mendapat siksaan dan berada dalam kesesatan yang nyata. Mereka akan mendapat siksaan baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia mereka akan menjadi orang-orang yang sesat di tengah perjalanan hidupnya, tidak mengetahui arah yang akan dituju, serta selalu dalam kegelisahan dan keragu-raguan. Orang-orang yang tidak mempunyai akidah dan tidak percaya kepada keadilan Allah dan hari akhirat akan selalu terombang-ambing dalam kebingungan. Ia tidak mempunyai harapan untuk mendapat keadilan Allah karena apa yang ditemui dan dilihatnya di dunia ini penuh dengan kepincangan dan kezaliman. Orang yang lemah menjadi mangsa bagi yang kuat. Sedangkan orang-orang yang beriman yang percaya sepenuhnya akan keadilan Allah dan adanya perhitungan perbuatan manusia di akhirat nanti, tentu akan yakin sepenuhnya bahwa bila ia teraniaya, Allah akan membalas orang yang menganiayanya dengan balasan yang setimpal. Kalau tidak di dunia ini, di akhirat nanti pasti pembalasan itu akan terlaksana. Bahkan di akhirat nanti Allah akan memberi balasan yang berlipat ganda atas kesabaran dan ketawakalannya. Kepercayaan kepada adanya hari akhirat adalah suatu rahmat bagi seorang hamba Allah.
Pada ayat ini, Allah memberikan peringatan kepada orang-orang yang tidak percaya akan terjadinya hari Kiamat dan menyuruh mereka memperhatikan kejadian-kejadian alam yang mereka saksikan sendiri. Betapa banyaknya bencana alam yang terjadi di beberapa negeri seperti gempa dahsyat yang menghancurkan bangunan, menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang tak ternilai, banjir besar yang menghanyutkan rumah, manusia, binatang, dan tanaman. Menurut kajian ilmiah, karena langit berbentuk bola, maka di mana pun manusia menginjak bumi maka langit akan selalu berada di depan dan di belakangnya, serta di atas dan di bawahnya. Penggalan ayat ini juga menunjukkan bahwa bentuk bumi adalah bulat. Gumpalan dari langit dapat ditafsirkan sebagai pecahan benda langit (planet, bintang, komet, dan lain-lain) setelah mengalami benturan satu sama lain. Pecahan-pecahan ini dikenal dengan nama asteroid, meteorit, dan lain sebagainya. Setiap hari permukaan bumi dihujani oleh bom-bom batuan pecahan, yang bisa mengakibatkan kerusakan bumi dan penghuninya. Karena Allah Maha Pengasih dan Penyayang, Ia melindungi bumi dengan pelindung berupa lapisan udara yang disebut atmosfer. Lapisan udara itu bagaikan rem yang meredam gerakan bom-bom ini dengan gesekan yang terjadi pada saat bersinggungan dengan asteroid atau meteorit. Bahkan bisa langsung memusnahkannya karena asteroid atau meteorit hancur atau terbakar habis akibat panas yang ditimbulkan oleh gesekan dengan atmosfer bumi. Perisai pelindung lain adalah lapisan ozon, medan magnit bumi yang mengerem pecahan-pecahan yang bermuatan. Jika lapisan ozon ini terkoyak karena pencemaran udara, pecahan benda langit itu akan jatuh menghunjam ke bumi, dan bisa saja menimpa manusia atau membenamkannya ke permukaan bumi. Sejarah mencatat bagaimana Allah menghancurkan beberapa umat terdahulu, dan sisa peninggalan mereka masih dapat dilihat sampai sekarang. Apakah semua ini tidak menginsafkan mereka bahwa bila Allah menghendaki, Ia dapat membenamkan negeri mereka ke dalam tanah, dan dapat pula mengirimkan benda langit seperti meteor atau planet, untuk membentur bumi, dan dengan demikian terjadilah malapetaka yang tidak dapat dibayangkan bagaimana dahsyatnya. Tidakkah mereka mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian alam itu atau dari kejadian yang tertulis dalam sejarah dan sisa-sisa peninggalan yang masih dapat mereka saksikan sendiri? Bagi orang yang hatinya disinari cahaya iman, berbagai kejadian itu menambah keimanan mereka dan menjadikan mereka meyakini bahwa Allah Mahakuasa, dan bahwa mereka pada hakikatnya akan kembali kepada Allah Pemilik dan Penguasa langit dan bumi Yang Mahabijaksana dan Mahaadil.
Di antara karunia Allah yang dianugerahkan kepada Nabi Daud ialah suaranya yang sangat merdu. Diriwayatkan bahwa Nabi Daud adalah seorang komponis atau pencipta nyanyian yang bersifat keagamaan. Ketika Daud bertasbih memuja dengan suaranya yang merdu, apalagi lagu-lagu itu menggambarkan pula kebesaran, kemuliaan, dan keagungan Tuhan, maka alam sekitarnya bergema seakan-akan turut bertasbih mengikuti irama suaranya. Kita tidak mengetahui bagaimana alam sekitarnya bertasbih dan bernyanyi bersama Daud sebagaimana diperintahkan Allah kepadanya. Hal itu memang tidak dapat diketahui oleh manusia sebagai tersebut dalam firman-Nya: Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun. (al-Isra'/17: 44) Mengenai keindahan dan kemerduan suara Daud diriwayatkan dalam sebuah hadis sahih: Dari 'aisyah, dia berkata: Rasulullah saw mendengar bacaan Abu Musa. al-Asy'ari, kemudian beliau berkata, "Sesungguhnya orang ini telah dikaruniai Allah suara merdu seperti keluarga Daud." (Riwayat an-Nasa'i) Nikmat lain yang dikaruniakan Allah kepada Daud ialah dia dapat menjadikan besi yang keras menjadi lunak seperti lilin sehingga dapat dibentuk menjadi alat-alat, terutama alat peperangan. Dengan mukjizat yang dikaruniakan Allah, Daud melakukannya tanpa dipanaskan dengan api sebagaimana yang bisa dilakukan orang.
Lalu Allah memerintahkan kepada Nabi Daud supaya membuat baju besi istimewa dari bahan besi yang lunak bukan seperti baju yang dikenal pada masa itu. Biasanya baju besi pada masa itu dibuat dari kepingan-kepingan besi yang tipis disusun seperti baju, tetapi baju besi itu sangat mengganggu pemakainya selain menimbulkan panas pada badan dan membatasi gerak. Tetapi, baju besi yang dibuat Daud, karena besinya telah menjadi lunak, jauh berbeda dengan baju besi biasa. Baju besi itu dibuat seperti gulungan-gulungan rantai yang disusun rapi sehingga baju besi itu mengikuti gerak badan. Dengan demikian, pemakainya dapat bergerak dengan bebas tanpa merasakan gangguan apa pun. Dengan baju besi yang lunak itu, Daud dapat membuat alat senjata yang baru untuk mempertahankan kerajaannya dari serangan musuh. Kemudian untuk mensyukuri karunia yang diberikan-Nya, Allah memerintahkan pula supaya Daud dan kaumnya selalu mengerjakan amal saleh dan mempergunakan segala nikmat yang dikaruniakan Allah itu untuk mencapai keridaan-Nya. Dia selalu melihat dan mengetahui apa yang dikerjakan oleh hamba-Nya.
Pada ayat ini diterangkan bahwa Allah menundukkan angin untuk Nabi Sulaiman sehingga dapat membawanya ke tempat-tempat yang diingininya dengan cepat sekali. Dalam waktu setengah hari saja angin dapat membawanya ke tempat yang jaraknya sebulan perjalanan, baik perjalanan itu pada waktu pagi sampai zuhur maupun pada waktu siang mulai dari zuhur sampai terbenamnya matahari. Qatadah dalam menafsirkan ayat ini menyatakan, "Angin dapat membawa Sulaiman dari pagi sampai tergelincirnya matahari sejauh sebulan perjalanan dan dari tergelincirnya matahari sampai terbenamnya sejauh sebulan perjalanan pula. Dalam hal ini, al-hasan al-Bashri berkata, "Sulaiman pernah berangkat dengan mengendarai angin, dari Damaskus ke Isthakhr lalu dia turun di sana untuk makan siang, kemudian dia berangkat lagi ke Kabul untuk bermalam di sana. Padahal jarak antara Damaskus dan Isthakhr adalah sebulan perjalanan bagi orang yang berjalan cepat dan jarak antara Isthakhr dan Kabul adalah sebulan perjalanan pula. Karunia lainnya yang diberikan Allah kepada Sulaiman ialah melunakkan tembaga seperti lilin sehingga mudah dibentuk menurut keinginan orang yang mengolahnya. Hal ini sama dengan karunia yang diberikan kepada Nabi Daud yaitu melunakkan besi. Di antara karunia itu pula ialah menundukkan jin untuk bekerja membuat apa saja yang diingini Sulaiman. Jin-jin itu selalu taat dan patuh mengikuti perintahnya, karena mereka diancam oleh Allah dengan azab yang pedih apabila tidak memenuhi perintah Sulaiman.
Oleh sebab itu, mereka dengan giat sekali melaksanakan apa yang diperintahkan Sulaiman, seperti membangun tempat-tempat beribadah, arca-arca yang indah yang terbuat dari kayu, tembaga, kaca, dan batu pualam, serta belanga-belanga besar untuk memasak makanan yang cukup untuk berpuluh-puluh orang. Karena besar dan luasnya, bejana-bejana itu kelihatan seperti kolam-kolam air. Mereka juga membuatkan untuk Sulaiman periuk yang besar pula yang karena besarnya tidak dapat diangkat dan dipindahkan. Karena jin mempunyai kekuatan yang dahsyat, dengan mudah mereka membuat semua yang dikehendaki Sulaiman seperti membangun istana yang megah dan mewah, serta menggali selokan-selokan untuk irigasi sehingga kerajaan Sulaiman menjadi masyhur sebagai suatu kerajaan besar dan paling makmur, tidak ada suatu kerajaan pun di waktu itu yang dapat menandinginya. Hal ini ialah sebagai realisasi dari doanya yang dikabulkan Tuhan seperti tersebut dalam firman-Nya. Dia berkata, "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun setelahku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Pemberi." Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut perintahnya ke mana saja yang dikehendakinya, dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan, semuanya ahli bangunan dan penyelam. (shad/38: 35-37) Kemudian Allah memerintahkan kepada Sulaiman sebagai keluarga Daud supaya bersyukur atas nikmat yang dilimpahkan Allah kepadanya. Mensyukuri nikmat Allah itu bukanlah sekadar mengucapkan, tetapi harus diiringi dengan amal saleh dan mempergunakan nikmat itu untuk hal-hal yang diridai-Nya. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi bahwa Nabi Muhammad naik ke atas mimbar lalu membaca ayat ini. Lalu beliau bersabda, "Ada tiga sifat bila dipunyai oleh seseorang berarti dia telah diberi karunia seperti karunia yang diberikan kepada keluarga Daud." Kami bertanya kepada beliau, "Sifat-sifat apakah itu?" Rasulullah menjawab, "Pertama: Berlaku adil, baik dalam keadaan marah maupun dalam keadaan senang. Kedua: Selalu hidup sederhana baik di waktu miskin maupun kaya. Ketiga: Selalu takut kepada Allah baik di waktu sendirian maupun di hadapan orang banyak. Allah mengiringi perintah-Nya supaya Sulaiman bersyukur atas nikmat yang diterimanya dengan menjelaskan bahwa sedikit sekali di antara hamba-hamba-Nya yang benar-benar bersyukur kepada-Nya. Bagaimana seorang hamba bersyukur kepada Tuhannya dapat dilihat dari cara bersyukur Nabi saw kepada Allah. Dari 'aisyah bahwa Rasulullah salat di malam hari sampai kedua telapak kakinya bengkak, maka aku ('Aisyah), berkata kepadanya, "Mengapa engkau berbuat seperti ini padahal Allah telah mengampuni dosamu yang sekarang dan dosamu yang akan datang?" Rasulullah menjawab, "Bukankah aku ini seorang hamba yang bersyukur?" (Riwayat Muslim)
Ayat ini menerangkan bahwa ketika ajalnya telah dekat, Nabi Sulaiman duduk di atas singgasananya bertelekan pada tongkatnya. Pada waktu itulah Sulaiman meninggal dunia dan tidak seorang pun yang tahu bahwa dia sudah meninggal baik para pengawalnya, penghuni istana, maupun jin-jin yang selalu bekerja keras melaksanakan perintahnya. Dia jatuh tersungkur karena tongkatnya dimakan rayap, sehingga tidak dapat menahan berat tubuhnya. Ketika itu, barulah orang sadar bahwa Sulaiman sudah meninggal, demikian pula jin-jin yang tetap bekerja keras melaksanakan perintahnya. Pada waktu itulah mereka mengakui kelemahan diri mereka, karena tidak dapat mengetahui bahwa Sulaiman telah meninggal. Kalau mereka tahu bahwa Sulaiman telah meninggal, tentulah mereka tidak akan tetap bekerja keras, karena mereka hanya diperintahkan Allah patuh kepada Nabi Sulaiman saja, tidak kepada pembesar-pembesar di istananya. Allah tidak menerangkan dalam ayat ini berapa lama Sulaiman bertelekan di atas tongkatnya sampai ia jatuh tersungkur. Sebagian mufasir mengatakan bahwa Nabi Sulaiman bertelekan pada tongkatnya sampai ia mati selama satu tahun. Mereka mengatakan bahwa Nabi Daud telah mulai membangun Baitul Makdis tetapi tidak dapat menyelesaikan pembangunannya. Ketika sudah dekat ajalnya, ia berwasiat kepada Nabi Sulaiman agar menyelesaikan pembangunannya. Nabi Sulaiman memerintahkan jin yang tunduk di bawah kekuasaannya supaya menyelesaikan bangunan itu. Tatkala Sulaiman merasa ajalnya sudah dekat, dia ingin menyembunyikan kematiannya kepada jin-jin yang bekerja keras menyelesaikan pekerjaannya. Lalu Nabi Sulaiman bertelekan di atas tongkatnya agar kalau ia mati, orang akan menyangka ia masih hidup karena masih duduk bertelekan di atas tongkatnya. Akhirnya tongkatnya itu dimakan rayap dan patah. Pada waktu itu, barulah diketahui bahwa Nabi Sulaiman telah meninggal. Mereka ingin mengetahui berapa lama Sulaiman bertelekan pada tongkat itu setelah ia meninggal, dengan mengambil sisanya. Setelah mereka perhitungkan, ternyata rayap itu dalam sehari semalam hanya memakan sebagian kecil saja dari tongkat itu, sehingga dibutuhkan waktu satu tahun untuk dapat merusaknya. Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa Sulaiman bertelekan pada tongkatnya sampai ia meninggal. Memang tongkat itu telah lama dimakan rayap tanpa diketahui oleh Sulaiman. Pada waktu Sulaiman bertelekan di atas tongkat ketika ajalnya tiba, tongkat itu sudah lapuk juga. Tidak mungkin seorang raja akan dibiarkan saja oleh keluarga dan pengawalnya tanpa makan dan minum, tanpa menanyakan kepadanya hal-hal penting yang harus dimintakan pendapatnya. Mana yang benar di antara kedua pendapat ini tidak dapat kita ketahui. Dalam kisah-kisah para nabi banyak sekali terjadi hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia karena mereka diberi mukjizat oleh Allah. Kalau Nabi Sulaiman bertelekan hanya sebentar saja lalu roboh tersungkur, tentu para jin tidak akan menyesal demikian hebatnya karena mereka telah telanjur bekerja menyelesaikan Baitul Makdis.
Di sebelah selatan negeri Yaman berdiam suatu kaum bernama Saba'. Mereka menempati suatu daerah yang amat subur sehingga mereka hidup makmur dan telah mencapai kebudayaan yang tinggi. Mereka dapat menguasai air hujan yang turun lebat pada musim tertentu dengan membangun sebuah bendungan raksasa yang dapat menyimpan air untuk musim kemarau. Bendungan itu boleh dikatakan bendungan alami karena terletak di antara dua buah bukit dan di ujungnya didirikan bangunan yang tinggi untuk mencegah air mengalir sia-sia ke padang pasir. Mereka membuat pintu-pintu air yang bila dibuka dapat mengalirkan air ke daerah yang mereka kehendaki. Bendungan ini terkenal dengan Bendungan Ma'rib atau Bendungan al-'Arim. Banyak di antara ahli sejarah dan peneliti di barat meragukan tentang adanya Bendungan Ma'rib ini. Akhirnya seorang peneliti dari Perancis datang sendiri ke selatan Yaman untuk menyelidiki sisa-sisa bendungan itu pada tahun 1843. Dia dapat membuktikan adanya bendungan itu dengan menemukan bekas-bekasnya, lalu memotret dan mengirimkan gambar-gambarnya ke suatu majalah di Perancis. Para peneliti lainnya menemukan pula beberapa batu tulis di antara reruntuhan bendungan itu. Dengan demikian, mereka bertambah yakin bahwa dahulu kala di sebelah selatan Yaman telah berdiri sebuah kerajaan yang maju, makmur, dan tinggi kebudayaannya. Pada ayat ini, Allah menerangkan sekelumit tentang kaum Saba' yang mendiami daerah sebelah selatan Yaman itu. Mereka menempati sebuah lembah yang luas dan subur berkat pengairan yang teratur dari Bendungan Ma'rib. Di kiri dan kanan daerah mereka terbentang kebun-kebun yang amat luas dan subur yang menghasilkan bahan makanan dan buah-buahan yang melimpah ruah. Kaum Saba' pada mulanya menyembah matahari, namun setelah pimpinan kerajaan dipegang Ratu Balqis, mereka menjadi kaum yang beriman dengan mengikuti ajaran yang dibawa Nabi Sulaiman. Hal ini diceritakan dalam Al-Qur'an sebagai berikut: Maka tidak lama kemudian (datanglah Hud-hud), lalu ia berkata, "Aku telah mengetahui sesuatu yang belum engkau ketahui. Aku datang kepadamu dari negeri Saba' membawa suatu berita yang meyakinkan. Sungguh, kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar. Aku (burung Hud) dapati dia dan kaumnya menyembah matahari, bukan kepada Allah; dan setan telah menjadikan terasa indah bagi mereka perbuatan-perbuatan (buruk) mereka, sehingga menghalangi mereka dari jalan (Allah), maka mereka tidak mendapat petunjuk. (an-Naml/27: 22-24) Tetapi, lama-kelamaan kaum Saba' menjadi sombong dan lupa bahwa kemakmuran yang mereka miliki adalah anugerah dari Yang Mahakuasa dan Maha Pemurah. Allah dengan perantaraan rasul-Nya memerintahkan agar mereka mensyukuri-Nya atas segala nikmat dan karunia yang dilimpahkan kepada mereka. Negeri mereka menjadi subur dan makmur berkat karunia Allah Yang Maha Pengampun, melindungi mereka dari segala macam bahaya dan malapetaka.
Mereka menolak dan berpaling dari seruan Allah, bahkan menghalangi orang-orang yang insaf beriman kepada-Nya. Allah lalu menimpakan siksaan kepada mereka dengan membobolkan Bendungan Ma'rib dan terjadilah malapetaka yang hebat. Negeri mereka dilanda banjir yang deras, dan menghanyutkan semua yang menghalangi arusnya. Kebun-kebun yang berada di kiri dan kanan negeri itu menjadi musnah, dan semua binatang ternak mereka hanyut. Korban manusia pun tidak terhitung banyaknya, sehingga hanya sedikit orang yang masih hidup. Hanya beberapa kelompok kecil dari mereka yang selamat dari malapetaka yang dahsyat itu. Mereka yang selamat ini pun tidak dapat tinggal dengan senang di tempat mereka semula. Sebagian dari mereka lalu hijrah ke tempat lain yang subur karena tidak ada lagi kebun-kebun yang bisa mereka tanami dengan baik dan tidak banyak lagi binatang-binatang ternak yang akan mereka pelihara. Tanah-tanah yang dahulu subur telah menjadi tandus karena semua air yang tersimpan di dalam bendungan telah tumpah ke padang pasir yang dapat menelan air berapa pun banyaknya. Yang tumbuh di bekas kebun-kebun mereka hanya tumbuhan yang tidak banyak gunanya, buahnya pun pahit. Bila mereka ingin bercocok tanam yang mereka harapkan hanya air hujan yang turun dari langit saja.
Demikianlah sunatullah telah berlaku terhadap kaum Saba' sebagaimana yang berlaku bagi umat-umat yang sombong dan durhaka sebelumnya, tidak mau menerima kebenaran, serta selalu menolak dan membangkang terhadap ajaran Allah yang dibawa oleh para rasul-Nya. Demikianlah Allah menimpakan azab dan malapetaka kepada kaum kafir yang mengingkari dan tidak bersyukur atas nikmat yang dikaruniakan kepada mereka.
Kaum Saba' yang masih tinggal di negerinya, walaupun mengalami kesulitan hidup karena negeri mereka telah menjadi lekang dan tandus, mengadakan perjalanan untuk berdagang dari suatu negeri ke negeri yang lain, terutama ke negeri-negeri yang agak besar, seperti Mekah dan Syam di utara dan barat laut. Negeri-negeri tersebut pada waktu itu termasuk negeri yang makmur yang menjadi pusat perdagangan. Perjalanan di antara negeri-negeri itu mudah dan aman karena adanya kampung-kampung tempat singgah para musafir bila kemalaman dan kehabisan bekal atau merasa letih. Mereka dapat bertahan hidup dan dapat pula bercocok tanam sekadarnya pada waktu musim hujan. Mereka juga memelihara binatang ternak ketika di sana masih banyak padang rumput. Ini adalah suatu nikmat dari Allah kepada mereka walaupun tidak sebesar nikmat yang dianugerahkan-Nya ketika Bendungan Ma'rib belum hancur dan musnah. Allah menyuruh mereka mempergunakan nikmat itu dengan sebaik-baiknya dan berjalan dengan membawa barang dagangan di antara negeri-negeri dengan aman, walaupun jarak yang ditempuh mereka kadang-kadang amat jauh. Mereka dapat singgah di kampung-kampung yang ada di sekitar kota-kota besar itu bila merasa lelah. Bila mereka kemalaman mereka dapat berhenti di kampung yang terdekat dan demikianlah seterusnya.
Oleh karena itu, mereka meminta kepada Allah supaya di sepanjang perjalanan antara suatu negeri dengan negeri lain tidak ada tempat singgah untuk beristirahat, sehingga perjalanan harus dilanjutkan walaupun akan menderita berbagai macam kesulitan. Beginilah watak mereka dan watak orang-orang sombong, sudah mendapat kemudahan, justru mereka menginginkan kesulitan dan penderitaan. Tidak ubahnya seperti Bani Israil yang telah diberi Allah makanan yang baik yaitu Manna dan Salwa, lalu mereka meminta makanan biasa, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, "Wahai Musa! Kami tidak tahan hanya (makan) dengan satu macam makanan saja, maka mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia memberi kami apa yang ditumbuhkan bumi, seperti: sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas dan bawang merah." Dia (Musa) menjawab, "Apakah kamu meminta sesuatu yang buruk sebagai ganti dari sesuatu yang baik? Pergilah ke suatu kota, pasti kamu akan memperoleh apa yang kamu minta." Kemudian mereka ditimpa kenistaan dan kemiskinan, dan mereka (kembali) mendapat kemurkaan dari Allah. (al-Baqarah/2: 61) Sebenarnya dengan permintaan itu, kaum Saba' telah menganiaya diri sendiri dan tidak puas dengan karunia yang dianugerahkan Allah kepada mereka. Mereka telah lupa bahwa Allah menghancurkan negeri mereka yang subur dan makmur tiada lain karena mereka tidak mau beriman dan bersyukur atas karunia Allah. Oleh sebab itu, Allah memenuhi permintaan mereka dengan meniadakan tempat singgah dalam perjalanan mereka, sehingga mereka kesulitan melakukan perdagangan, dan kehidupan mereka menjadi susah. Mereka harus hijrah ke negeri lain meninggalkan negeri mereka dan berpencar-pencar ke sana kemari. Kabilah Jafnah bin Amr terpaksa tinggal di negeri Syam, Aus dan Khazraj di Medinah, dan Azad (Uman) tinggal di Oman. Demikian pula kabilah-kabilah yang lain. Hilanglah wujud mereka sebagai suatu umat yang dahulunya sangat masyhur sebagai suatu umat yang mulia yang mempunyai peradaban dan kebudayaan yang tinggi. Yang tinggal hanya cerita-cerita yang diriwayatkan dari mulut ke mulut dan kemasyhuran mereka hanya menjadi bahan penghibur, dibicarakan pada waktu mereka berjaga di malam hari. Sesungguhnya yang dialami kaum Saba' ini patut menjadi pelajaran bagi setiap orang yang sabar dan tahu bersyukur atas setiap nikmat yang diterimanya dari Allah. Setiap hamba harus bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya dan bersabar menerima cobaan-Nya. Bahkan ia harus bersyukur kepada Allah walaupun mendapat cobaan dari-Nya. Diriwayatkan oleh Sa'ad bin Abi Waqqash bahwa Rasulullah bersabda: Aku mengagumi ketetapan Allah untuk seorang mukmin. Bila ia mendapat kebaikan ia memuji dan bersyukur kepada-Nya. Bila ia ditimpa musibah ia memuji dan bersyukur kepada-Nya. Orang mukmin mendapat pahala dalam segala hal walaupun hanya sesuap makanan yang ia berikan untuk istrinya. (Riwayat Ahmad)
Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa Iblis menyangka kaum Saba' yang telah dibinasakan Allah beserta negeri mereka telah mengikutinya dan dengan penuh kepatuhan melaksanakan tipu dayanya. Ia menyangka mereka telah mendurhakai Allah dan tidak bersyukur atas segala nikmat yang dikaruniakan kepada mereka, kecuali sebagian orang yang beriman yang tetap imannya dan tidak menerima tipu daya itu. Dengan demikian, Iblis menyangka bahwa dia dapat menguasai manusia dan membawa mereka ke jalan kesesatan, sebagaimana diikrarkan di hadapan Allah. Hal ini tersebut dalam firman-Nya: (Iblis) menjawab, "Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka." (shad/38: 82-83)
Allah menolak dan membatalkan persangkaan Iblis yang tidak benar itu. Allah menegaskan bahwa tidak ada kekuasaan sedikit pun bagi setan terhadap manusia untuk menyesatkan mereka, sehingga mereka durhaka kepada-Nya. Tipu daya setan itu hanyalah sebagai ujian dari Allah terhadap hamba-hamba-Nya, apakah mereka mau teperdaya oleh bujukan setan ataukah mereka menolaknya sama sekali sehingga tidak mempengaruhi sedikit pun pada keimanan dan ketakwaan mereka. Al-hasan al-Bashri berpendapat bahwa setan itu tidak pernah memukul manusia dengan tongkat dan tidak pernah memaksa mereka untuk melakukan sesuatu. Tindakan setan hanya sekadar melakukan tipu daya, membujuk dengan angan-angan kosong, lalu manusia menerimanya. Tipu daya setan itu hanya seperti itu, tidak ubahnya seperti bakteri-bakteri yang menyerang manusia di musim tersebarnya wabah penyakit. Barang siapa tidak memiliki ketahanan yang kuat dalam tubuhnya untuk menahan serangan penyakit itu, ia menjadi korbannya. Tetapi, penyakit itu tidak akan dapat menguasai orang yang di dalam tubuhnya terdapat unsur-unsur ketahanan yang kuat. Ia akan tetap sehat walafiat meskipun telah banyak orang yang jatuh sakit atau meninggal karenanya. Bila ada orang yang terperosok masuk perangkap setan maka janganlah ia menyesali orang lain, yang salah dan lemah dalam hal ini adalah dirinya sendiri. Oleh sebab itu, setiap manusia harus membentengi dirinya dengan iman yang kuat dengan takwa dan selalu beramal saleh. Firman Allah: Tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku tidak dapat menolongmu, dan kamu pun tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu." Sungguh, orang yang zalim akan mendapat siksaan yang pedih. (Ibrahim/14: 22) Allah lalu menegaskan kepada Nabi Muhammad bahwa Dia mencatat segala perbuatan manusia, tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sebesar zarrah pun. Ia akan memperhitungkan perbuatan manusia dengan seadil-adilnya dan tidak ada seorang pun yang dirugikan dalam hal ini, bahkan Dia akan membalas perbuatan yang baik dengan pahala yang berlipat ganda.
Pada ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad supaya menantang kaum musyrik Mekah, kalau berhala-berhala dan sembahan mereka benar-benar mempunyai kekuasaan walaupun sedikit, cobalah mereka buktikan hal itu dengan memberikan contoh tentang apa yang telah diciptakan atau yang mereka miliki. Apakah berhala itu dapat memberikan pertolongan kepada mereka atau menolak bahaya yang mengancam mereka. Tentu saja mereka tidak dapat memberikan bukti-bukti seperti itu, karena tidak mungkin benda mati yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri akan dapat membuat sesuatu atau dapat menolong serta menolak kemudaratan dari mereka. Oleh sebab itu, Allah menegaskan bahwa berhala-berhala itu tidak memiliki kekuasaan sedikit pun (walau sebesar zarrah sekalipun) terhadap langit, bumi, dan apa yang terdapat dalam keduanya, dan tidak ada kemampuan sama sekali untuk menolong mereka. Bagaimanakah mereka sampai menyembahnya kalau mereka mempergunakan akal pikiran mereka. Dalam ayat lain, Allah menegaskan pula hal ini dengan firman-Nya: Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. (Fathir/35: 13) Mereka tidak memiliki apa pun secara sendiri atau secara berserikat dengan yang lain dan tidak ada suatu apa pun yang bekerja sama dengan mereka dalam menciptakan atau memiliki sesuatu. Hal ini adalah fakta yang kita lihat di dunia.
Di akhirat berhala itu tidak dapat menolong mereka dari kesulitan. Juga tidak mungkin memberi syafaat karena pada hari itu tidak ada seorang pun yang dapat memberi syafaat, kecuali dengan izin Allah. Apakah mungkin Allah akan mengizinkan berhala-berhala yang menjadi sebab bagi kesesatan hamba-Nya untuk memberi syafaat? Syafaat tidak akan diberikan Allah kecuali kepada para nabi, malaikat, dan hamba-Nya yang dianggap berhak untuk diberi syafaat. Firman Allah: Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. (al-Baqarah/2: 255) Dan betapa banyak malaikat di langit, syafaat (pertolongan) mereka sedikit pun tidak berguna kecuali apabila Allah telah mengizinkan (dan hanya) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Dia ridai. (an-Najm/53: 36) Pada hari itu, hamba-hamba Allah menunggu dengan perasaan gelisah dan tidak sabar, siapakah di antara mereka yang akan diizinkan-Nya untuk memberi syafaat dan yang akan mendapat syafaat. Ketika itu, mereka berdiam semuanya karena ketakutan telah hilang dari hati mereka dan Allah akan memberi ketetapan-Nya. Mereka menunggu sambil berharap-harap dan bertanya-tanya antara sesama mereka apa yang difirmankan Tuhan. Semua menjawab, "Yang difirmankan Allah ialah perkataan yang benar yaitu syafaat-Nya akan diberikan kepada siapa yang diridai-Nya karena Dia Mahatinggi dan Mahabesar." Pada waktu itu, sadarlah orang-orang kafir bahwa mereka tidak akan mendapat syafaat dan tahulah mereka nasib apa yang harus mereka alami.
Pada ayat ini, Allah dengan perantaraan Nabi Muhammad menanyakan kepada kaum musyrik, siapakah yang memberi mereka rezeki dari langit dan bumi dengan menurunkan hujan, dan dengan air hujan itu bumi menjadi subur dan menumbuhkan berbagai macam tumbuhan untuk menjadi makanan bagi mereka dan binatang ternak. Mereka tentu tidak dapat menjawabnya. Walaupun mereka ingin mengatakan Allah, jawaban yang sesuai dengan hati nurani mereka, tetapi mereka menjawabnya berhala-berhala, jawaban yang sebetulnya bertentangan dengan hati nurani mereka yang membenarkan seruan Nabi Muhammad. Oleh sebab itu, mereka terdiam, tidak dapat memberikan jawaban apa pun. Demikianlah Allah memerintahkan kepada Muhammad bahwa yang memberi rezeki baik dari langit maupun bumi hanyalah Allah. Pertanyaan semacam ini disebut pula pada ayat lain yaitu: Katakanlah (Muhammad), "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Katakanlah, "Allah." Katakanlah, "Pantaskah kamu mengambil pelindung-pelindung selain Allah, padahal mereka tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi dirinya sendiri?" (ar-Ra'd/13: 16) Allah lalu menyuruh Nabi Muhammad mengatakan kepada mereka setelah tidak dapat menjawab pertanyaan di atas, "Kami atau kamu pasti berada dalam petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata." Inilah suatu cara berdiskusi yang amat halus dan tajam. Nabi tidak mengatakan bahwa kaum musyrik itulah yang sesat dan dirinya yang benar, tetapi dia menyatakan salah satu di antara keduanya pasti ada yang mengikuti jalan yang benar dan ada yang mengikuti jalan yang sesat. Ucapan ini pasti menarik lawan untuk berpikir siapa sebenarnya yang mendapat petunjuk dan siapa yang sesat, dan menghindari cara-cara yang keras karena akan mendatangkan jawaban yang keras pula. Kalau Nabi saw mengatakan dengan tegas bahwa merekalah yang sesat, tentu mereka akan menjawab dengan tegas bahwa Nabilah yang sesat.
Pada ayat ini, Nabi Muhammad disuruh mengatakan kepada mereka bahwa masing-masing bertanggung jawab penuh atas segala perbuatannya. Kaum musyrik tidak bertanggung jawab atas perbuatan kaum Muslimin yang salah, demikian pula sebaliknya, kaum Muslimin pun tidak bertanggung jawab atas segala perbuatan kaum musyrik. Sebagian mufasir mengatakan bahwa orang-orang musyrik pernah menuduh Nabi saw dan orang-orang mukmin bahwa mereka telah berdosa besar karena murtad dan mengkhianati agama nenek moyang mereka. Sebagai jawaban atas tuduhan itu, dikemukakan bahwa kaum Muslimin memang bertanggung jawab atas segala dosa dan kesalahan mereka. Demikian pula kaum musyrikin bertanggung jawab pula sepenuhnya atas segala perbuatan mereka yang baik ataupun yang jahat. Pada ayat lain, Allah menyuruh Nabi mengucapkan kata-kata yang senada dengan ini, seperti firman-Nya: Dan jika mereka (tetap) mendustakanmu (Muhammad), maka katakanlah, "Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu tidak bertanggung jawab terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan." (Yunus/10: 41)
Kemudian Nabi diperintahkan untuk mengatakan kepada kaum musyrikin itu, "Allah akan mengumpulkan kita semua pada hari Kiamat dan di sanalah Dia akan memberi keputusan terhadap kita dan perbuatan kita dengan seadil-adilnya. Di sana akan jelas siapa di antara kita yang sesat dan siapa yang menempuh jalan yang lurus, siapa di antara kita yang salah dan siapa yang benar." Semua perbuatan hamba-Nya akan ditimbang dengan neraca keadilan. Perbuatan buruk akan dibalas dengan balasan yang setimpal dan perbuatan baik akan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda. Hal ini disebut pula dengan jelas pada ayat lain, yaitu: Dan pada hari (ketika) terjadi Kiamat, pada hari itu manusia terpecah-pecah (dalam kelompok). Maka adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka mereka di dalam taman (surga) bergembira. Dan adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami serta (mendustakan) pertemuan hari akhirat, maka mereka tetap berada di dalam azab (neraka). (ar-Rum/30: 14-16) Di sanalah nanti Allah memberikan keputusan, tidak ada yang dapat membantah karena semua keputusan itu berdasarkan fakta-fakta yang nyata yang tidak dapat disangkal lagi. Allah Maha Mengetahui kapan vonis itu akan dijatuhkan-Nya, tidak ada seorang hamba pun yang dapat mengetahui, karena Dialah yang Maha Pemberi Keputusan dan Maha Mengetahui.
Allah lalu memerintahkan kepada Nabi Muhammad supaya menanyakan kepada orang-orang musyrik itu, siapakah dan apakah sebenarnya berhala-berhala yang mereka persekutukan dengan Allah. Mereka diminta untuk menerangkan kepadanya siapa berhala-berhala itu, bagaimana sifat-sifatnya, nilai dan mutunya, serta kedudukannya. Mengapa mereka dijadikan sembahan, apakah memang dia berhak disembah? Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan kepada mereka itu sebagai tantangan dan pernyataan bahwa mereka tidak mempergunakan akal mereka karena menyembah sesuatu yang tidak ada nilainya, benda mati yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri. Sekali-kali tidak mungkin dan tidak masuk akal mempersekutukan benda mati dengan Allah Yang Mahaperkasa dan Maha Mengetahui.
Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh manusia. Ia bertugas sebagai pembawa berita gembira bagi orang yang mempercayai dan mengamalkan risalah yang dibawanya dan sekaligus pembawa peringatan kepada orang yang mengingkari atau menolak ajaran-ajarannya. Nabi Muhammad adalah nabi penutup, tidak ada lagi nabi dan rasul diutus Allah sesudahnya. Dengan demikian, pastilah risalah yang dibawanya itu berlaku untuk seluruh manusia sampai kiamat. Sebagai risalah yang terakhir, maka di dalamnya tercantum peraturan-peraturan dan syariat hukum-hukum yang layak dan baik untuk dijalankan di setiap tempat dan masa. Risalah yang dibawa Nabi Muhammad bersumber dari Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui. Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dan segala apa yang ada pada keduanya. Dialah yang mengatur segala apa yang ada pada keduanya. Dialah yang mengatur semuanya itu dengan peraturan yang amat teliti sehingga semuanya berjalan dengan baik dan harmonis. Allah yang demikian besar kekuasaan-Nya tidak mungkin akan menurunkan suatu risalah yang mencakup seluruh umat manusia kalau peraturan dan syariat itu tidak mencakup seluruh kepentingan manusia pada setiap masa. Dengan demikian, pastilah risalahnya itu risalah yang baik untuk diterapkan kepada siapa dan umat yang mana pun di dunia ini. Banyak ayat di dalam Al-Qur'an yang menegaskan bahwa Muhammad diutus kepada manusia seluruhnya. Mahasuci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia). (al-Furqan/25: 1) Dan firman-Nya: Katakanlah (Muhammad), "Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk."(al-A 'raf/7: 158) Hal ini tidak diketahui oleh semua orang bahkan kebanyakan manusia menolak dan menantangnya. Di antara penantang-penantang itu adalah kaum Muhammad sendiri yaitu orang-orang kafir Mekah. Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya. (Yusuf/12: 103)
Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa kaum musyrik menentang Nabi Muhammad sebagai pembawa berita gembira bagi orang mukmin dan pemberi peringatan bagi kaum yang ingkar. Muhammad menerangkan kepada mereka bahwa keadilan Allah bukan hanya berlaku di dunia saja, tetapi mencakup keadilan di akhirat. Semua perbuatan manusia akan dibalas dengan balasan yang setimpal. Mereka mengolok-olok ucapan Nabi saw dan mengatakan bahwa hari Kiamat tidak mungkin terjadi dan tidak mungkin akan terjadi. Mereka berkata kepadanya dengan nada mengejek, "Kalau benar kiamat yang dijanjikan Tuhanmu itu benar akan terjadi, maka terangkanlah kepada kami kapan akan terjadi." Bahkan pada ayat lain diterangkan bahwa mereka menantang Nabi Muhammad supaya kedatangan hari kiamat itu disegerakan saja, sebagaimana disebut dalam firman Allah: Orang-orang yang tidak percaya adanya hari kiamat meminta agar hari itu segera terjadi, dan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa kiamat itu adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang yang membantah tentang terjadinya kiamat itu benar-benar telah tersesat jauh. (asy-Syura/42: 18) Ejekan dan tantangan mereka itu menunjukkan ketidaktahuan mereka tentang tugas Nabi Muhammad sebagai rasul, dan mereka tidak mengetahui batas-batas tugasnya. Rasul itu hanya seorang manusia yang ditugaskan Allah menyampaikan risalah. Dia bukan orang yang berkuasa dan mempunyai ilmu seperti Tuhannya. Ilmu dan kekuasaannya terbatas pada apa yang diberikan Allah kepadanya. Kalau ditanyakan kepadanya tentang hal-hal yang gaib, dia tentu tidak akan dapat menjelaskannya kecuali bila Allah telah memberitahukan kepadanya. Kalau diminta kepadanya agar diturunkan azab atau disegerakan datangnya hari Kiamat, maka hal itu berada di luar kemampuannya.
Sebagai jawaban atas keingkaran dan tantangan kaum musyrik itu, Allah menyuruh Nabi Muhammad menegaskan kepada mereka bahwa hari kiamat itu pasti terjadi pada waktu yang telah ditentukan Allah. Bila waktunya sudah tiba, kiamat itu tidak dapat diundurkan atau dimajukan walau sesaat pun. Oleh sebab itu, mereka harus berhati-hati, selalu waspada, dan bersiap-siap dengan iman dan amal saleh. Jika waktu kiamat sudah datang, tidak ada kesempatan lagi bagi seseorang untuk bertobat dan dia akan menyesal kelak bila melihat azab yang disediakan bagi orang yang ingkar.
Pada ayat ini, Allah menerangkan bagaimana mendalamnya keingkaran orang-orang musyrik terhadap agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan agama samawi lainnya yang dibawa oleh para rasul sebelumnya. Mereka menyatakan tekad tidak akan beriman kepada Al-Qur'an dan kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para rasul-Nya. Bagi orang-orang yang bertekad seperti ini tidak ada suatu dalil atau bukti pun yang dapat mereka terima, walaupun bukti itu kuat, nyata, dan dapat diterima oleh akal yang sehat atau pikiran yang jernih. Hati mereka telah dipenuhi dengan fanatisme yang keras sehingga semua yang bertentangan dengan paham mereka adalah salah, sesat, dan sama sekali tidak dapat diterima. Pernah kaum musyrik Mekah bertanya kepada Ahli Kitab tentang bagaimana ciri-ciri dan sifat-sifat Muhammad saw dan apakah hal itu disebutkan dalam kitab mereka. Sebagian Ahli Kitab menerangkan ciri-ciri dan sifat-sifat Muhammad saw. Mereka juga mengatakan bahwa mungkin Muhammad saw itu memang seorang rasul utusan Tuhan. Bagi orang yang hatinya bersih dan tidak dikotori oleh kesombongan dan fanatik buta, jawaban ini akan menginsafkan mereka dan menjadikan mereka berpikir. Tetapi, jawaban itu membuat mereka menjadi marah dan menolak mentah-mentah keterangan para Ahli Kitab itu dan tidak mau memercayainya. Memang batin mereka telah ditutup untuk menerima kebenaran sebagaimana disebut dalam firman Allah: Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat. (al-Baqarah/2: 7) Oleh karena tidak ada bukti yang dapat menginsafkan mereka, dan yang patut dikemukakan kepada mereka ialah ancaman yang keras, maka pada ayat-ayat ini diceritakan bagaimana keadaan orang-orang kafir itu dan para pemimpin mereka di akhirat nanti ketika berdiri di hadapan Allah. Pada waktu itu, orang-orang kafir itu sadar bahwa mereka telah sesat. Mereka menoleh kepada pemimpin mereka dan berkata, "Kalau tidak karena tindakanmu terhadap kami di dunia, tentu kami tidak akan mengalami hal seperti ini. Kami tentu telah beriman kepada Muhammad saw dan termasuk hamba Allah yang diridai-Nya."
Ucapan dan tuduhan ini dijawab oleh para pemimpin yang telah menjerumuskan mereka karena hendak melepaskan diri dari tanggung jawab. Para pemimpin itu berkata, "Apakah kami pernah menghalangi kamu mengikuti petunjuk? Kami tidak pernah memaksa kamu supaya mengikuti kemauan kami dan mengikuti jalan yang kami tempuh. Kami tidak pernah menghalangi kamu mengikuti ajaran yang dibawa oleh rasul Allah. Hanya kamu sendirilah dengan kemauan kamu sendiri pula yang menolak ajaran itu, dan turut mendustakannya. Kalau kamu telah sesat disebabkan tindakan kamu, janganlah kami dibawa-bawa untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu itu. Kamu sebenarnya termasuk orang-orang sesat." Kalau jawaban para pemimpin itu diucapkan pada waktu mereka masih di dunia, para pengikutnya pasti akan diam, karena pengaruhnya yang besar terhadap mereka. Tetapi, lain halnya di akhirat. Kedudukan manusia di hadapan Allah semua sama, tidak ada bawahan dan pimpinan, dan tidak ada kaum feodal atau kaum jelata.
Oleh sebab itu, para pengikut itu tidak puas mendengar jawaban para pemimpinnya dan melanjutkan dakwaan bahwa para pemimpin itu selalu membujuk dan menipu mereka siang dan malam, serta memerintahkan supaya ingkar kepada Allah dan mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Tetapi, semuanya telah telanjur dan tidak ada waktu lagi untuk kembali kepada kebenaran atau untuk bertobat. Semuanya, baik para pemimpin maupun pengikutnya, telah mengetahui akan mendapat balasan yang setimpal atas ke-ingkaran dan kedurhakaan mereka. Mereka merasa sangat menyesal ketika melihat azab yang akan ditimpakan kepada mereka, tetapi penyesalan itu tidak berguna lagi. Mereka dimasukkan ke neraka dalam keadaan terbelenggu. Memang siksaan itulah yang layak ditimpakan karena sikap dan perbuatan mereka selama di dunia.
Pada ayat ini ditegaskan bahwa tidak ada seorang nabi pun yang dikirim Allah ke suatu negeri yang tidak mendapat perlawanan dari pemuka-pemuka kaumnya. Mereka biasanya adalah kaum elite yang menguasai kehidupan politik dan ekonomi negeri itu. Mereka sudah mapan dan hidup mewah, dan berfoya-foya. Dengan kedatangan nabi-nabi, mereka merasa kemapanan hidup mereka terusik oleh ajaran-ajaran yang dibawa para nabi itu. Agama tidak membenarkan yang berkuasa menzalimi yang lemah, sedangkan kemapanan mereka dipertahankan dengan jalan menekan golongan lemah. Agama meminta manusia agar mengindahkan kehalalan dan keharaman dalam mencari rezeki dan memanfaatkan kekayaan, sedangkan kekayaan mereka diperoleh dengan cara apa saja, legal atau ilegal, dan kekayaan itu mereka gunakan untuk berfoya-foya. Agama tidak membolehkan melanggar aturan-aturan agama, sedangkan kehidupan mereka tanpa mengindahkan norma-norma itu. Oleh karena itu, mereka menentang nabi-nabi dan dengan lantang menyatakan, "Kami menentang apa yang kalian ajarkan!" Ucapan itu menegaskan pula kesombongan mereka, dan selanjutnya mendorong mereka bertindak semena-mena (fusuq) di bumi ini. Bila manusia sudah berbuat semena-mena, maka itu menjadi alasan bagi Allah untuk memperlihatkan kekuasaan-Nya, yaitu memusnahkan mereka. Firman Allah: Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu). (al-Isra'/17:16)
Golongan berkuasa yang zalim, sombong, dan semena-mena itu membanggakan kekayaan dan keturunan mereka. Mereka berkata, "Kami kaya raya dan keturunan kami banyak, kami tidak akan terkena azab (tersentuh hukum)." Dengan kekayaan, mereka merasa dapat membeli apa saja. Dengan keturunan dan pendukung, mereka beranggapan bahwa kekuasaan mereka terhadap yang lemah dapat terus dipertahankan dari generasi ke generasi. Mereka juga merasa disayangi oleh Allah sehingga di akhirat nanti tidak akan dihukum karena dosa-dosa mereka. Tolok ukur yang mereka pakai adalah kesenangan hidup di dunia. Kesenangan hidup, menurut pandangan mereka, menunjukkan bahwa mereka disayangi, sedangkan kesengsaraan hidup menandakan mereka dibenci Allah. Semua anggapan mereka itu tidaklah benar. Pemberian harta yang melimpah dan anak-anak yang berhasil bagi orang kafir tidak merupakan petunjuk bahwa Allah menyayangi mereka, tetapi sebaliknya, sebagaimana dinyatakan ayat berikut: Apakah mereka mengira bahwa Kami memberikan harta dan anak-anak kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami segera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? (Tidak), tetapi mereka tidak menyadarinya. (al-Mu'minun/23: 55-56) Walaupun begitu, azab tidak segera dijatuhkan kepada orang-orang kafir di dunia ini karena Allah masih memberi penangguhan kepada mereka. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada mereka agar bertobat, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah: Dan kalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ada yang ditinggalkan-Nya (di bumi) dari makhluk yang melata sekalipun, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai waktu yang sudah di-tentukan. Maka apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun. (an-Nahl/16: 61) Dalam ayat lain diterangkan bahwa harta dan anak-anak menjadi ujian bagi manusia, apakah ia tetap beriman dan bersyukur ataukah ingkar. Allah berfirman: Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar. (at-Tagabun/64: 15) Sesungguhnya harta bagi orang kafir tidak akan bisa membuat mereka abadi di dunia, tetapi sebaliknya akan menyebabkan mereka dilemparkan ke dalam neraka, sebagaimana firman Allah: Dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. (al-Humazah/104: 3)
Pada ayat ini, Allah meminta Nabi Muhammad menegaskan kepada pemuka-pemuka kafir Mekah bahwa yang melapangkan rezeki seseorang dan membatasi rezeki adalah Allah. Hal itu untuk menolak pandangan orang kafir di atas bahwa keberuntungan hidup di dunia adalah tanda kesayangan Allah dan kesengsaraan adalah tanda kebencian-Nya. Allah melapangkan atau membatasi rezeki seseorang sesuai dengan kebijaksanaan-Nya. Allah melapangkan rezeki seseorang mungkin karena dipercayai-Nya sehingga mampu mengeluarkan sebagian kekayaannya untuk mereka yang berkekurangan, sebagaimana dinyatakan ayat: Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir, kecuali orang-orang yang melaksanakan salat, mereka yang tetap setia melaksanakan salatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta, (al-Ma'arij/70: 19-25) Bagi mereka yang kafir, harta yang melimpah dan keturunan yang banyak dan berhasil justru untuk dijadikan Allah sebagai alasan untuk menghukum mereka. Penyebabnya adalah karena cara memperoleh dan menggunakan kekayaan serta pendidikan keturunan itu tidak sesuai dengan ketentuan Allah, sebagaimana dinyatakan ayat: Maka janganlah harta dan anak-anak mereka membuatmu kagum. Sesungguhnya maksud Allah dengan itu adalah untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia dan kelak akan mati dalam keadaan kafir. (at-Taubah/9: 55) Sebaliknya, Allah pulalah yang membatasi rezeki seseorang. Bagi yang beriman berkurangnya harta benda, anggota keluarga, dan makanan adalah untuk menguji kesabaran mereka. Bila mereka sabar, Allah akan membahagiakan mereka di dunia dan di akhirat, sebagaimana firman-Nya: Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (al-Baqarah/2: 155) Bagi yang tidak kuat imannya, kesengsaraan hidup membuatnya tidak berhenti menyesali nasib, dan akhirnya membawanya kepada kekafiran: Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika ditimpa malapetaka, mereka berputus asa dan hilang harapannya. (Fushshilat/41: 49) Jelaslah bahwa baik kesenangan maupun kesusahan hidup adalah ujian dari Allah. Kesenangan hidup bukanlah tolok ukur bahwa Allah menyayangi, dan kesempitan hidup bukan pula tolok ukur bahwa Allah membenci. Bisa berarti sebaliknya, bahwa kesenangan hidup diberikan Allah sebagai ujian sehingga orang itu semakin terperosok dalam keingkaran. Kesempitan hidup adalah jalan untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat bila orang itu tabah menerimanya. Ketentuan itulah yang tidak diketahui atau tidak dipahami oleh banyak orang, termasuk oleh pemuka kaum kafir Mekah.
Pada ayat ini ditegaskan kepada pemuka kafir Mekah bahwa bukan harta benda dan keturunan yang dapat mendekatkan diri manusia kepada Allah dan memperoleh kasih sayang-Nya, tetapi iman dan amal saleh. Harta benda dan keturunan itu hanya bermanfaat bila menambah kuat iman dan memperbanyak amal. Oleh karena itu, harta benda harus diperoleh dengan benar dan dipergunakan dengan benar pula. Keturunan harus dididik dengan baik sehingga menjadi keturunan yang baik pula. Dengan demikian, sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh kasih sayang-Nya adalah harta yang diperoleh dan digunakan dengan benar, dan keturunan yang dididik dengan baik yang akan melestarikan dan melanjutkan iman dan amal salehnya. Dalam ayat lain, Allah memang meminta orang yang beriman agar mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan caranya adalah dengan amal saleh: Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung. (al-Ma'idah./5: 35) Hanya orang-orang yang beriman dan banyak amal salehnya yang akan diberi balasan pahala yang berlipat ganda oleh Allah. Dalam ayat-ayat lain disebutkan bahwa pelipatgandaan itu minimal sepuluh kali (al-An'am/6: 160), dan ada yang tujuh ratus kali lipat (al-Baqarah/2: 261). Mereka yang diberi surga itu merasa aman, yaitu bebas dari ancaman neraka. Lebih dari itu, mereka puas dan bahagia karena Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya. Allah berfirman: Allah berfirman, "Inilah saat orang yang benar memperoleh manfaat dari kebenarannya. Mereka memperoleh surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Itulah kemenangan yang agung." (al-Ma'idah./5: 119)
Selanjutnya Allah menjelaskan tentang orang-orang yang tidak beriman. Mereka itu berusaha melemahkan ayat-ayat Allah. Yang dimaksud adalah bahwa mereka selalu berusaha menggagalkan misi Islam sehingga manusia tidak mengenal, meyakini, dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam dengan baik. Mereka itu akan dimasukkan ke dalam neraka dan diazab dengan dahsyat, sebagaimana dinyatakan dalam ayat lain: (yaitu) mereka yang menghalangi dari jalan Allah dan menghendaki agar jalan itu bengkok. Dan mereka itulah orang yang tidak percaya adanya hari akhirat. Mereka tidak mampu menghalangi (siksaan Allah) di bumi, dan tidak akan ada bagi mereka penolong selain Allah. Azab itu dilipatgandakan kepada mereka. Mereka tidak mampu mendengar (kebenaran) dan tidak dapat melihat(nya). (Hud/11: 19-20)
Dalam ayat ini ditegaskan sekali lagi bahwa Allah-lah yang melapangkan rezeki atau membatasinya. Berbeda dengan ayat 36, dalam ayat ini ditegaskan bahwa yang dilapangkan rezekinya atau dibatasi-Nya adalah rezeki hamba-hamba-Nya. Berarti bahwa seorang hamba Allah akan menerima ketentuan rezekinya apakah dilapangkan atau dibatasi oleh Allah. Dengan demikian ayat ini membantah sekali lagi bahwa kelapangan rezeki itu adalah tanda Allah sayang dan keterbatasannya menandakan Allah benci. Seorang hamba Allah akan sabar bila rezekinya terbatas. Seorang hamba Allah, bila rezekinya lebih akan memperhatikan orang lain yang kekurangan. Ia tidak akan termasuk pendusta agama atau hari kemudian, sebagaimana dinyatakan ayat berikut: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. (al-Ma'un/107: 1-3) Membantu orang lain, berdasarkan ayat ini, justru akan mengekalkan kekayaan itu, bukan menghabiskannya. Membantu orang lain tidak akan membuat kita miskin, bahkan sebaliknya karena bantuan itu berarti memberdayakan orang banyak. Keberdayaan orang banyak akan membuahkan kemakmuran, sebaliknya eksploitasi masyarakat akan membuat masyarakat itu melarat. Rasulullah menginformasikan bahwa orang yang membantu orang lain didoakan oleh malaikat pertambahan rezekinya, dan orang yang kikir didoakan oleh malaikat kehilangan harta bendanya: Pada setiap pagi ada dua malaikat yang turun kepada hamba Allah, yang satu berdoa, "Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang berinfak." Dan yang satu lagi berdoa pula, "Ya Allah, musnahkanlah harta orang yang tidak mau berinfak." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa pada hari Kiamat nanti semua manusia dikumpulkan di hadapan Allah untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Pada saat itu, orang-orang kafir yang menyembah selain Allah akan dipertemukan dengan sembahan-sembahan mereka di dunia. Kepada yang disembah, Allah bertanya apakah mereka dulu pernah meminta manusia untuk menyembahnya. Di antara yang ditanya itu adalah malaikat, karena sewaktu di dunia ada manusia yang menyembah mereka. Manusia ada yang memandang para malaikat itu sebagai anak-anak perempuan Allah, yang karena sifat keibuannya, akan selalu menyayangi anak-anaknya sekalipun bersalah. Karena itulah mereka menyembahnya. Allah berfirman: Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat hamba-hamba (Allah) Yang Maha Pengasih itu sebagai jenis perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan (malaikat-malaikat itu)? Kelak akan dituliskan kesaksian mereka dan akan dimintakan pertanggungjawaban. Dan mereka berkata, "Sekiranya (Allah) Yang Maha Pengasih menghendaki, tentulah kami tidak me-nyembah mereka (malaikat)." Mereka tidak mempunyai ilmu sedikit pun tentang itu. Tidak lain mereka hanyalah menduga-duga belaka. (az-Zukhruf/43: 19-20) Malaikat dengan para penyembahnya itu dipertemukan bukan karena Allah tidak tahu peristiwa yang sebenarnya, tetapi untuk memperlihatkan sendiri kepada penyembah-penyembah itu bahwa mereka salah.
Para malaikat itu menjawab bahwa mereka tidak pernah meminta demikian, bahkan mereka menyucikan Allah dari adanya sembahan-sembahan selain-Nya. Mereka sendiri mempertuhankan Allah dan memohon perlindungan dari-Nya, sehingga bagaimana mungkin mereka meminta manusia untuk menyembahnya. Mereka menjelaskan bahwa yang selalu menyesatkan manusia adalah jin atau setan. Dengan demikian, manusia sesungguhnya keliru ketika menyangka bahwa mereka menyembah malaikat, karena yang mereka sembah adalah jin atau setan. Sebagian besar manusia yang menyembah jin atau setan itu benar-benar percaya bahwa jin atau setan itulah yang menentukan kehidupan manusia sehingga mempertuhankannya. Di dalam ayat lain diterangkan bahwa di antara yang ditanya Allah apakah ia pernah meminta manusia untuk menyembahnya adalah Nabi Isa a.s. Beliau pun mengingkarinya seraya menegaskan bahwa ia justru meminta mereka untuk menyembah Allah, sebagaimana diungkapkan ayat berikut: Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, "Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?" (Isa) menjawab, "Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib." Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (yaitu), "Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu," dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di tengah-tengah mereka. Maka setelah Engkau mewafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkaulah Yang Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. (al-Ma'idah./5: 116-117)
Pada hari Mahsyar itu Allah menyatakan bahwa baik yang menyembah selain Allah maupun yang disembah tidak akan bisa berbuat apa-apa, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan yang lain. Orang-orang kafir yang menyembah selain Allah itu tidak akan memperoleh pertolongan dari yang mereka sembah, karena yang disembah itu memang tidak mampu berbuat apa-apa. Orang yang menyembah itu juga tidak akan bisa menyalahkan yang disembah, karena yang disembah itu tidak pernah meminta mereka menyembahnya. Dalam Al-Qur'an dinyatakan bahwa siapa pun tidak akan bisa menolong siapa pun, termasuk keluarga atau teman dekat, sebagaimana firman Allah: Pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya. ('Abasa/80: 34-37) Juga firman-Nya: Dan tidak ada seorang teman karib pun menanyakan temannya. (al-Ma'arij/70: 10) Mereka akan diseret dan dijebloskan ke dalam neraka dan tambah dihinakan lagi dengan kata-kata, "Rasakan azab neraka yang dulu kalian tidak percayai!" Kata-kata itu berarti bahwa mereka disalahkan karena tidak percaya adanya neraka pada waktu di dunia, yang akan membuat mereka lebih tersiksa. Kata-kata itu juga berarti bahwa azab neraka itu adalah dahsyat. Demikianlah balasan bagi orang-orang yang tidak mengindahkan ajakan Rasulullah saw. Penyampaian peristiwa itu di dalam Al-Qur'an bertujuan agar para pemimpin kafir Mekah, dan siapa saja sesudahnya, untuk beriman sehingga peristiwa itu nanti tidak menimpa mereka.
Pada ayat ini dijelaskan dua tuduhan lebih lanjut pemuka kaum kafir Mekah terhadap Islam. Pertama, menuduh Nabi Muhammad hanyalah seorang manusia biasa yang menyampaikan ayat-ayat Al-Qur'an kepada mereka dengan maksud menghalangi mereka menjalankan agama syirik yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Maksudnya, Nabi Muhammad saw hanya manusia biasa, bukan malaikat, dan tidak memiliki keistimewaan berupa kekayaan, dan sebagainya. Tujuan Nabi Muhammad hanyalah menjauhkan mereka dari agama nenek moyang mereka. Dengan demikian, mereka memandang agama nenek moyang mereka itu lebih baik daripada agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. Kedua, mereka menuduh Al-Qur'an sebagai suatu kebohongan yang dibuat-buat. Al-Qur'an itu hanyalah buatan Muhammad saw, bukan wahyu dari Allah swt, dan isinya tidak benar. Di sisi lain, mereka melihat kenyataan bahwa banyak manusia yang tertarik pada Al-Qur'an. Mereka sendiri pun ketika membaca atau dibacakan ayat-ayat Al-Qur'an juga merasa tertarik. Ketika melihat kandungan Al-Qur'an, mereka yakin bahwa itu tidak mungkin buatan Muhammad karena ia tidak belajar kepada siapa pun dan tidak bisa pula tulis baca. Mereka menjadi sadar bahwa tuduhan mereka terhadap Al-Qur'an itu salah. Kenyataan itu menghendaki mereka untuk mencari alasan lain. Akhirnya, mereka menuduh Al-Qur'an adalah sihir, dan karena pengaruhnya yang luar biasa, mereka menganggap sihirnya itu luar biasa hebatnya. Begitulah sifat orang kafir, ketika mereka tidak mampu lagi membantah kebenaran Al-Qur'an, mereka mencercanya dan mencari-cari alasan lain yang tak masuk akal, sebagaimana Allah berfirman: Dan apabila mereka melihat suatu tanda (kebesaran) Allah, mereka memperolok-olokkan. Dan mereka berkata, "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata. (ash-shaffat/37: 14-15) Firman-Nya juga: Dan jika mereka (orang-orang musyrik) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, "(Ini adalah) sihir yang terus-menerus." (al-Qamar/54: 2)
Allah membantah tuduhan kaum kafir Mekah itu dengan dua alasan. Pertama, agama syirik dari nenek moyang mereka itu tidaklah berdasar suatu kitab suci dari Allah; dan kedua, agama itu tidak diajarkan oleh nabi-Nya. Agama yang benar haruslah mempunyai kitab suci sebagai landasan ajaran, karena pikiran manusia tidak terjamin kebenarannya. Allah berfirman: Atau apakah pernah Kami berikan sebuah kitab kepada mereka sebelumnya, lalu mereka berpegang (pada kitab itu)? (az-Zukhruf/43: 21) Di samping kitab suci, agama harus mempunyai seorang nabi yang diutus Allah untuk menerima dan mengajarkan isi kitab suci itu. Allah berfirman: Atau pernahkah Kami menurunkan kepada mereka keterangan, yang menjelaskan (membenarkan) apa yang (selalu) mereka persekutukan dengan Tuhan? (ar-Rum/30: 35) Agama syirik nenek moyang kaum kafir Mekah itu tidak mempunyai dasar kitab suci dan tidak diajarkan seorang nabi dari Allah. Oleh karena itu, agama tersebut salah, dan mereka tidak patut mengikuti agama yang salah itu. Agama yang benar adalah Islam karena berdasarkan wahyu dari Allah yaitu Al-Qur'an dan disampaikan oleh seorang nabi yaitu Muhammad saw. Mereka seyogyanya menerima agama yang dibawa Nabi Muhammad tersebut.
Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa umat-umat terdahulu, seperti kaum Nabi Nuh, kaum 'Ad, kaum Samud, dan lain-lain yang karena kekafiran mereka telah dimusnahkan Allah dan tinggal hanya puing-puing atau nama-nama. Mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan menganggap rasul-rasul-Nya bohong, padahal mereka lebih perkasa dan lebih hebat kemampuan dan kebudayaan mereka. Kafir Mekah tidak sampai berkekuatan sepersepuluh dari umat-umat itu, lalu apakah mereka akan membangkang dan menyombongkan diri pula? Tidak takutkah mereka terhadap murka Allah, mengingat umat-umat terdahulu yang lebih perkasa saja sudah dimusnahkan Allah? Seharusnya mereka mengambil pelajaran dari sejarah masa lampau itu, karena mereka mengenal betul daerah-daerah bekas umat-umat terdahulu itu, sebab mereka melewatinya siang atau malam dalam perjalanan dagang mereka pada musim panas atau musim dingin, sebagaimana firman Allah: Dan sesungguhnya kamu (penduduk Mekah) benar-benar akan melalui (bekas-bekas) mereka pada waktu pagi, dan pada waktu malam. Maka mengapa kamu tidak mengerti? (ash-shaffat/37: 137-138)
Pada ayat ini, Allah meminta Nabi Muhammad agar mengajak kaum kafir untuk melakukan satu hal saja, yaitu benar-benar berupaya mendekatkan diri kepada Allah untuk mencari kebenaran. Mendekatkan diri untuk mencari kebenaran dapat dilakukan sendiri-sendiri atau bersama dengan orang lain supaya dapat bertukar pikiran. Setelah itu, mereka diminta untuk merenungkan kebenaran ajaran-ajaran dalam Al-Qur'an, secara tenang, objektif, dan tulus tanpa dipengaruhi hawa nafsu atau kedengkian. Setelah mereka renungkan secara objektif, masih jugakah mereka akan menuduh bahwa yang menyampaikan kebenaran itu, yaitu Nabi Muhammad, tidak benar? Bukankah ajaran Al-Qur'an itu amat benar? Bila benar, pembawa ajaran itu juga benar. Seharusnya mereka sampai kepada kesimpulan bahwa beliau sejatinya adalah seorang yang tulus. Ia hanya ingin mengingatkan dan memperingatkan manusia agar tidak sesat di dunia dan merugi nanti di akhirat. Beliau hanya ingin agar manusia beriman dan menjadi manusia yang baik, agar di dunia bahagia dan di akhirat terhindar dari neraka. Oleh karena itu, mereka seharusnya berterima kasih kepadanya, dan tidak menuduhnya yang bukan-bukan. Fungsi beliau sebagai pemberi peringatan ini juga disampaikan beliau dalam sebuah hadis: Sesungguhnya aku ini pemberi peringatan bagimu sekalian sebelum menghadapi azab yang keras. (Riwayat al-Bukhari dari Ibnu 'Abbas)
Nabi Muhammad selanjutnya diminta oleh Allah untuk menegaskan kepada kaum kafir bahwa beliau tidak mengharapkan pamrih apa-apa dari pekerjaannya menyampaikan dakwah. Kalaupun ada pamrihnya, maka keinginannya hanyalah agar mereka beriman. Dengan beriman, maka keuntungannya akan kembali kepada mereka juga, tidak kepadanya. Ia sendiri hanya mengharapkan pahala dari Allah atas pekerjaannya, bukan keuntungan duniawi. Pahala itu ia harapkan diterimanya nanti di akhirat, tidak di dunia sekarang ini. Lalu apa lagi alasan mereka tidak menerima seruannya? Bila mereka tidak juga mau beriman, maka mereka perlu mengetahui bahwa Allah menyaksikan segala sesuatu sehingga tidak ada yang luput dari pengetahuan-Nya, baik yang nyata, seperti perbuatan-perbuatan jahat, maupun yang gaib, seperti kekafiran. Oleh karena itu, bagi yang beriman dan berbuat baik akan dibalasi-Nya dengan surga, dan yang kafir dan berbuat jahat akan diganjari-Nya dengan neraka.
Selanjutnya Nabi Muhammad diminta oleh Allah menegaskan kepada kaum kafir bahwa Allah selalu melontarkan kebenaran, yaitu menanamkan wahyu-Nya, ke dalam hati para rasul-Nya. Hal itu juga sebagaimana difirmankan-Nya dalam ayat lain: (Dialah) Yang Mahatinggi derajat-Nya, yang memiliki Arsy, yang menurunkan wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, agar memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari Kiamat). (al-Mu'min/40: 15) Rasul-rasul itu adalah orang-orang yang dipilih Allah. Ia Maha Mengetahui siapa yang pantas untuk dipilih-Nya. Dengan demikian, manusia tidak berwenang mempersoalkannya, sebagaimana difirmankan-Nya: Dan apabila datang suatu ayat kepada mereka, mereka berkata, "Kami tidak akan percaya (beriman) sebelum diberikan kepada kami seperti apa yang diberikan kepada rasul-rasul Allah." Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan azab yang keras karena tipu daya yang mereka lakukan. (al-An'am/6: 124) Karena wahyu itu dari Allah dan yang menerimanya adalah orang-orang yang terpilih, maka rasul-rasul itu pasti pula benar. Begitu juga ajaran-ajaran yang disampaikannya, sehingga manusia tidak selayaknya membantahnya.
Allah selanjutnya meminta Nabi Muhammad menegaskan kepada kaum kafir itu bahwa kebenaran telah datang dan kebatilan tidak akan kembali. Maksud kebenaran di sini adalah Islam, sedangkan kebatilan adalah kekafiran. Kebenaran apabila sudah datang maka kebatilan itu akan dihancurkannya sampai lumat, sebagaimana firman Allah: Sebenarnya Kami melemparkan yang hak (kebenaran) kepada yang batil (tidak benar) lalu yang hak itu menghancurkannya, maka seketika itu (yang batil) lenyap. Dan celaka kamu karena kamu menyifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak pantas bagi-Nya) (al-Anbiya'/21: 18) Dengan demikian kebatilan akan sirna bila datang kebenaran, dan kebenaran itu akan menang Firman Allah: Dan katakanlah, "Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap." Sungguh, yang batil itu pasti lenyap. (al-Isra'/17: 81) Kemenangan kebenaran akan membuat kebatilan tidak akan muncul lagi, baik dalam bentuk baru atau bentuk semula. Kembali dalam bentuk baru yaitu matinya kebatilan yang lama digantikan kebatilan lainnya. Kembali dalam bentuk semula, yaitu hidupnya kembali kebatilan yang sudah mati itu. Contoh kemenangan kebenaran itu adalah penguasaan kota Mekah dimana Nabi Muhammad memasuki Masjidil Haram dan menghancurleburkan berhala-berhala yang ditempatkan kaum kafir Mekah di sekeliling dan di dalam Ka'bah. Sebuah hadis menginformasikan hal itu: Ketika Rasulullah memasuki Masjidil Haram pada hari penaklukan Mekah dan menemukan banyak berhala terpancang di sekeliling Ka'bah, beliau menusuk satu berhala di antara berhala-berhala itu dengan ujung panahnya dan membaca, "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap, sesungguhnya yang batil itu sesuatu yang pasti lenyap," dan seterusnya membaca ayat 49 ini. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim) Setelah pengislaman kota Mekah, suku-suku di seluruh Jazirah Arab menyatakan keislaman mereka satu demi satu. Kemudian Islam terus berkembang ke seluruh dunia, dan akan terus berjaya sampai hari kiamat. Dengan demikian, kemenangan kebenaran dan kehancuran kebatilan hanya terwujud dengan perjuangan, sebagaimana Nabi Muhammad, para sahabat, dan para pemimpin sesudah mereka berjuang. Di akhirat nanti, Islam itu pasti benar dan kekafiran itu pasti salah.
Terakhir, Allah memerintahkan Nabi saw menyampaikan kepada kaum kafir bahwa seandainya ia salah, maka kesalahan itu dari dirinya sendiri. Tetapi bila ia benar, maka kebenaran itu diperolehnya dari Allah. Ayat ini memperlihatkan tanggung jawab yang besar dari Nabi Muhammad. Beliau bertanggung jawab atas seluruh isi dakwah yang beliau sampaikan. Bila ia salah dalam ajaran-ajaran yang disampaikannya, maka ia akan mempertanggungjawabkan sendiri kesalahan itu, tidak akan membawa-bawa umatnya. Tetapi tidak mungkin apa yang beliau sampaikan itu salah, karena semuanya dari Allah, tidak ada yang beliau tambah-tambah atau kurangi. Oleh karena itu, tanggung jawab beliau itu adalah untuk menunjukkan bahwa yang beliau sampaikan itu sangat benar. Dengan demikian, orang-orang kafir itu tidak perlu meragukannya dan seyogyanya beriman. Bila manusia beriman, maka Allah mendengarnya. Bila mereka menyembah-Nya, Ia mengetahui dan akan menerimanya. Bila hamba-Nya berdoa, maka doanya itu akan dikabulkan-Nya. Hal itu karena Ia Maha Mendengar, Ia juga sangat dekat dengan manusia. Bagaimana dekatnya Allah dengan manusia sehingga Ia mendengar bisikan hatinya dalam bentuk iman atau kafir dan mengabulkan doa orang yang berdoa, dilukiskan ayat berikut: Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Qaf/50: 16) Dalam ayat lain Allah berfirman: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran. (al-Baqarah/2:186)
Pada ayat ini dijelaskan bahwa andaikata Rasulullah menyaksikan bagaimana orang-orang kafir itu nanti ketakutan di depan Allah, maka beliau akan menyaksikan peristiwa yang hebat sekali. Pada waktu itu, orang-orang kafir itu dihadapkan kepada siksa Allah. Tempat melarikan diri tidak ada, begitu juga kemungkinan adanya pertolongan, atau tempat untuk berlindung. Oleh karena itu, gemparlah mereka dalam ketakutan yang luar biasa. Pada waktu itulah mereka dibekuk dengan mudah tanpa berkutik karena sudah terpojok di Padang Mahsyar yang menyesakkan.
Pada waktu itulah mereka bertobat dengan mengikrarkan iman mereka kepada Allah, para rasul-Nya, dan Al-Qur'an. Mereka mengikrarkan iman yang tulus sekali karena semua bukti yang tadinya mereka ragukan telah nyata dan telah terbukti. Ikrar iman seperti itu dilukiskan dalam ayat lain: Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata), "Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan kebajikan. Sungguh, kami adalah orang-orang yang yakin." (as-Sajdah/32: 12) Mengikrarkan iman untuk bertobat pada waktu itu tidak mungkin lagi mencapai maksud yang diharapkan, karena mereka sudah berada di tempat yang sangat jauh yaitu akhirat. Di tempat yang sangat jauh seperti itu tidak mungkin lagi mencari keselamatan. Tempat mencari keselamatan dengan beriman dan beramal saleh adalah di dunia, tetapi masa itu sudah berlalu dan mereka tidak mungkin lagi dikembalikan ke sana. Oleh karena itu, tobat dan ikrar iman mereka itu tidak berguna dan tidak mungkin diterima.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa mereka tidak mungkin lagi mencari keselamatan di tempat yang jauh itu karena semasa hidup di dunia mereka ingkar sekali. Mereka tidak mau mengimani Allah, para rasul-Nya, Al-Qur'an, dan hari kemudian. Sebab mereka tidak mau beriman adalah karena mereka melontarkan dugaan-dugaan yang tidak beralasan sama sekali. Mereka menyangka yang lain dari Allah sebagai Tuhan, menuduh Nabi Muhammad saw. penyair, dukun, penyihir, gila, dan sebagainya, menyatakan Al-Qur'an dongeng, mimpi, atau sihir, dan menyangka bohong adanya hari kemudian beserta surga dan neraka. Semua itu mereka nyatakan tanpa dasar pengetahuan, tetapi hanya berdasarkan dugaan. Dugaan itu diibaratkan orang yang melempar sesuatu yang tidak jelas secara serampangan dari tempat yang jauh. Ia tidak tahu apakah lemparan itu mengenai sasaran atau tidak. Dalam al-Kahf/18: 22 tindakan itu dilukiskan dengan ungkapan: rajman bil-gaib, yaitu membidik sesuatu yang tidak jelas secara serampangan atau menerka-nerka sesuatu tanpa dasar sama sekali.
Pada ayat ini dijelaskan bahwa antara orang itu dengan harapannya untuk bertobat dan terlepas dari siksa terganjal total, tidak mungkin terjadi sama sekali, seakan-akan di antara keduanya telah terbangun tembok tebal yang besar. Dambaan itu sama halnya dengan apa yang diharapkan umat-umat sebelum mereka. Umat-umat itu semenjak awal selalu membangkang dan baru beriman ketika bencana sebagai hukuman sudah di depan mata. Tentu saja tobat dan iman pada waktu sudah terpaksa seperti itu tidak diterima, sebagaimana dinyatakan dalam ayat lain: Maka ketika mereka melihat azab Kami, mereka berkata, "Kami hanya beriman kepada Allah saja dan kami ingkar kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah." Maka iman mereka ketika mereka telah melihat azab Kami tidak berguna lagi bagi mereka. Itulah ketentuan Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan ketika itu rugilah orang-orang kafir. (al-Mu'min/40: 84-85) Mereka tidak beriman di dunia karena selalu sangsi mengenai kebenaran Al-Qur'an dan ragu untuk menerima kebenarannya. Padahal, Al-Qur'an tidak perlu diragukan lagi oleh manusia, karena merupakan wahyu Allah, disampaikan oleh Jibril, diterima Nabi Muhammad, dan isinya benar. Keraguan hanya akan menghasilkan kekafiran, dan kekafiran hanya akan membuahkan kesengsaraan di akhirat.